Suku Badui: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
GaUz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
GaUz (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Wilayah'''
Wilayah Baduy secara geografis terletak pada 6°27’27” – 6°30’0” Lintang Utara dan 108°3’9” – 106°4’55” Bujur Timur (Permana, 2001). Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat, dan andosol. Sedangkan curah hujan adalah 4000 mm/tahun, dan suhu rata-rata 20°C (Garna, 1993).
 
Wilayah Baduy secara geografis terletak pada 6°27’27” – 6°30’0” Lintang Utara dan 108°3’9” – 106°4’55” Bujur Timur (Permana, 2001). Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Jenis tanah adalah latosol coklat, aluvial coklat, dan andosol. Sedangkan curah hujan adalah 4000 mm/tahun, dan suhu rata-rata 20°C (Garna, 1993).
Nama Baduy adalah nama yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin di Arab yang juga merupakan masyarakat yang suka berpindah. Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut, sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebutkan diri sebagai ‘Urang Kanekes’ atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperi ‘Urang Cibeo’ (Garna, 1993).
 
'''Penamaan Baduy'''
Bahasa yang mereka gunakan tergolong ke dalam Bahasa Sunda dengan subdialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
 
Nama Baduy adalah nama yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti [[Belanda]] yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin di Arab yang juga merupakan masyarakat yang suka berpindah. Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai Cibaduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut, sedangkan mereka sendiri lebih suka menyebutkan diri sebagai ‘Urang Kanekes’ atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperi ‘Urang Cibeo’ (Garna, 1993).
 
'''Bahasa'''
 
Bahasa yang mereka gunakan tergolong ke dalam [[Bahasa Sunda]] dengan subdialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Baduy tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, agama, dan ceritera nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
 
'''Asal usul Orang baduy'''
 
Apabila kita menanyakan mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
 
Pendapat mengenai asal-usul orang Baduy tersebut adalah berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai [[Kerajaan Pajajaran]], pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
 
'''Kepercayaan'''
 
Kepercayaan masyarakat Baduy yang disebut sebagai [[Sunda Wiwitan]] berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang ([[animisme]]) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh [[agama Budha]], [[Hindu]], dan [[Islam]]. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Baduy (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh Baduy tersebut adalah konsep ‘tanpa perubahan apapun’, atau perubahan sesedikit mungkin. Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladang adalah sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Baduy seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan merekapun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar menawar.
 
Objek religi terpenting bagi Masyarakat Baduy adalah [[Arca Domas]], yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Baduy mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setiap tahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi Masyarakat Baduy itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
 
'''Kelompok-kelompok dalam Masyarakat Baduy'''
 
Masyarakat Baduy secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah yang dikenal sebagai [[Baduy Dalam]], yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di 3 kampung (Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik). Sedangkan kelompok masyarakat panamping adalah yang dikenal sebagai [[Baduy Luar]] yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kadu Ketuk, Kadu Kolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka Baduy Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirah Dayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
 
'''Sistem Pemerintahan'''
Masyarakat Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Baduy yang tertinggi, yaitu Puun. Struktur pemerintahan secara adat Baduy adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
 
Masyarakat Baduy mengenal 2 sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat Baduy. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Baduy yang tertinggi, yaitu Puun. Struktur pemerintahan secara adat Baduy adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
 
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah Puun yang ada di 3 kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun temurun, walaupun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
 
Baris 27 ⟶ 41:
 
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan oleh Jaro. Di Baduy ada 4 macam jaro, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka ini ada 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Baduy dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
 
'''Mata pencaharian'''
 
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama Masyarakat Baduy adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
 
 
'''Interaksi Masyarakat Baduy dengan Masyarakat Luar'''
 
Baris 42 ⟶ 57:
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
 
 
''' DAFTAR RUJUKAN'''
 
Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.