Masyarakat adat Ngata Toro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k clean up, replaced: atau pun → ataupun
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 3 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
Baris 6:
''Mpone'' disebut sebagai tokoh utama yang merintis cikal bakal terbentuknya komunitas masyarakat adat Ngata Toro. ''Mpone'' adalah kepala rombongan yang mengungsi dari Malino, perkampungan asal mereka yang lokasinya berada sekitar 40&nbsp;km ke arah barat daya dari Desa Toro saat ini. Perpindahan rombongan itu sendiri terjadi karena sebelumnya perkampungan asal mereka (Malino) diserang oleh makhluk halus (''bunian)''. Akibat serangan makhluk halus tersebut, hampir seluruh penduduk Maliho musnah dan hanya menyisakan beberapa keluarga saja yang berhasil menyelamatkan diri. Setelah beberapa lama berpindah-pindah mencari tempat hidup baru, penduduk Maliho yang dipimpin oleh ''Mpone'' itu akhirnya menetap di Toro. Mereka kemudian dianggap sebagai generasi pertama di Desa Toro yang selanjutnya juga disebut sebagai penduduk asli Toro<ref>{{Cite web|url=http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hutan-untuk-masa-depan-pengelolaan-hutan-adat-di-tengah-arus-perubahan-dunia|title=Hutan untuk Masa Depan - Pengelolaan Hutan Adat di Tengah Arus Perubahan Dunia {{!}} Down to Earth|website=www.downtoearth-indonesia.org|language=id|access-date=2017-10-25}}</ref>.
 
Namun demikian, kegiatan pembukaan lahan hutan dan penataan pemukiman yang lebih sistematis baru berlangsung ketika masa kepemimpinan ''Menanca'' (''Balawo''). Pembukaan [[lahan]] hutan untuk pemukiman tersebut dilakukan karena jumlah penduduk yang ada di Desa Toro menjadi semakin meningkat. Peningkatan itu sendiri terjadi karena banyaknya pendatang yang berasal dari Rampi, sebuah daerah yang kini termasuk wilayah [[Kabupaten Luwu]], [[Sulawesi Selatan]]. Para pendatang tersebut oleh ''Balawo'' diberikan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kemudian hidup menetap menjadi penduduk asli Toro melalui hubungan perkawinan<ref>{{Cite web|url=http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat|title=Melestrikan Lore Lindu Bersama Masyarakat|last=Administrator|website=lorelindu.info|language=en-gb|access-date=2017-10-25|archive-date=2017-10-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20171016122007/http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat|dead-url=yes}}</ref>.
 
Pada masa pra-[[Kolonialisme]], komunitas masyarakat adat Ngata Toro yang berdiam di Desa Toro menjadi sebuah komunitas politik otonom. Mereka memiliki harta kekayaan sendiri dan memiliki wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sementara itu, [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] yang berkuasa saat itu tidak menjadikan Desa Toro sebagai perhatian karena letaknya yang jauh di pedalaman. [[Kerajaan Islam di Indonesia|Kerajaan Islam]] banyak berfokus pada hubungan [[perdagangan]] di daerah pesisir dengan perhatian. Selain itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro juga banyak membangun kerjasama dengan desa-desa di sekitarnya. Mereka membentuk sebuah [[federasi]] yang ''fleksibel'' dimana setiap desa memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kehidupan desanya. Hubungan kerjasama dan federasi tersbeut lebih dibentuk untuk memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan dalam menghadapi perang antarsuku, hubungan ekonomi, [[kekerabatan]], dan solidaritas.<ref name=":2" /> Semenjak saat itu, komunitas masyarakat adat Ngata Toro perlahan-lahan bertransformasi menjadi kelompok masyarakat lokal yang mampu menjangkau berbagai lini kehidupan paling vital, seperti keagamaan, pemerintahan, transformasi tata lahan, dan perubahan-perubahan sosial lainnya.
Baris 28:
 
== Aturan Adat dan Sumber Daya Alam ==
Sejak tahun 1993, [[masyarakat adat]] Ngata Toro telah menggencarkan berbagai prakarsa untuk menegaskan identitas budaya mereka. Prakarsa itu meliputi aturan adat, lembaga adat, dan penggalian serta upaya transformasi [[tradisi]] dalam rangka pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas yang lestari dan membawa manfaat bagi seluruh anggota komunitas. Semua tindakan kolektif ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu: menjaga keberlanjutan ekosistem hutan tropis di sekeliling komunitas ini—yang kini telah ditetapkan sebagai [[Taman Nasional Lore Lindu]]—melalui pranata sosial-budaya dan kepemimpinan lokal; memperoleh manfaat optimal dari perlindungan [[Ekosistem]] [[Hutan tropis]] dalam rangka menjamin keberlanjutan komunitas dan seluruh struktur sosial politiknya dan aktivitas ekonomi lokal yang bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam setempat; menjamin keadilan antar generasi dalam akses, kontrol, dan pemanfaatan atas sumber daya alam setempat.<ref>Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). 2008. Melestarikan Lore Lindu bersama Masyarakat. Lihat di http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20171016122007/http://lorelindu.info/index.php/component/content/article/47-home/76-melestrikan-lore-lindu-bersama-masyarakat |date=2017-10-16 }}</ref>
 
Masyarakat adat Ngata Taro juga mengembangkan konsep pengelolaan dan pemanfaatan [[sumber daya alam]] berbasis [[kearifan lokal]] di lingkungan mereka. Dalam hal kepemilikan tanah, mereka tidak serta merta memperolehnya melalui perampasan atau mengambil tanah orang lain tanpa izin, melainkan melalui suatu transaksi dan mempunyai keabsahan yang kuat menurut hukum adat mereka.<ref name=":2" /> Masyarakat adat Ngata Toro membagi hak kepemilikan atas [[Sumber daya alam]] dalam dua kategori, yakni hak kepemilikan bersama (''katumpuia hangkani'') dan hak pemilikan individu (''katumpuia hadua''). Kedua komponen hak kepemilikan tersebut adalah aturan adat yang sangat dipatuhi oleh masyarakat adat Ngata Toro. Selain itu, secara turun-temurun, [[masyarakat adat]] Ngata Toro sudah dibekali dengan aturan yang dinamakan ''Mopahilolonga Katuvua'' (mengurus alam secara arif). Menurut aturan tersebut, di bumi persada ada tiga unsur kehidupan yang mempunyai hubungan timbal balik, tumbuh dan berkembang biak serta saling menghidupi, yaitu [[manusia]] (''tauna''), [[hewan]] (''pinatuvua''), [[tumbuhan]] (''tinuda''). Pandangan tersebut juga memuat aturan-aturan yang harus diperhatikan dalam membuka lahan baru, diantaranya keadaan tempat yang direncanakan dibuka, apakah penjaga [[hutan]] itu memberikan lahan itu untuk dibuka atau tidak, saling menghimbau satu dengan yang lain agar senantiasa memperhatikan hulu [[sungai]] dan kemiringan yang terjal (''Taolo''), adat dan budaya tidak membenarkan menebang [[kayu]] sembarangan untuk dijadikan ramuan rumah utamanya di hulu air atau di kemiringan yang terjal, terlebih lagi kalau kayu yang di tebang diperjualbelikan di tempat lain.<ref name=":3">Rachman, Imran. “Model Pengelolaan Sumber Daya Hutan pada Pembangunan Kawasan Penyangga Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah”. (Disertasi S3 Ilmu Kehutanan Universitas Gadjah Mada: 2013)</ref>
Baris 46:
Untuk menjembatani kearifan lokal masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pemerintah menciptakan program KKM (Kesepakatan Konservasi Masyarakat) atau ''Community Conservation Agreement''. KKM menjadi alat untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pelimpahan wewenang pengelolaan [[sumber daya alam]] dari pemerintah kepada masyarakat. KKM juga berfungsi untuk membagi tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di antara para pihak, menjamin diakuinya hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan membuktikan bahwa kedua belah pihak saling mengakui dan menghormati kehadiran masing-masing. Melalui KKM, proses di mana para pihak yang berkepentingan dapat bertemu untuk saling mengenal, saling menyampaikan aspirasi dan saling menyesuaikan, termasuk dalam hal meredam konflik di lapangan dan membawanya ke meja perundingan. Dalam bahasa sederhana, KKM dapat menjadi sarana untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak –pemerintah dan masyarakat lokal– sehingga mampu menciptakan hubungan yang harmonis untuk mengoptimalkan upaya konservasi kawasan.
 
Kendati keberadaan KKM sangat penting, tidak semua kawasan [[Konservasi]] di Indonesia, termasuk taman nasional, menerapkan konsep KKM. Kearifan lokal masyarakat juga tidak jarang diabaikan atau justru sengaja diabaikan oleh pemerintah. Alhasil, masih banyak ditemukan sejumlah konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal terkait pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Departemen Kehutanan (2007), di hampir seluruh taman nasional di Indonesia yang berjumlah 50-an lembaga, selalu melekat di dalamnya konflik. Beberapa contoh konflik di kawasan konservasi (c.q. taman nasional) yang berlarut-larut terjadi di kawasan [[Taman Nasional Ujung Kulon]] [[Banten]], [[Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung]] [[Sulawesi Selatan]], [[Taman Nasional Bukit Duabelas]] [[Jambi]], [[Taman Nasional Gunung Halimun Salak]] [[Jawa Barat]], dan kawasan taman nasional lainnya. Konflik-konflik tersebut sangat meresahkan sebab mengganggu upaya-upaya konservasi yang digagas oleh pemerintah. Untuk meredamnya, pemerintah harus lebih memperhatikan keberadaan masyarakat lokal berikut kearifan lokal yang mereka miliki. Pun masyarakat lokal, harus turut memperhatikan upaya-upaya konservasi kawasan yang diinisiasi oleh pemerintah.<ref name=":4">Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dilihat melalui http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20170329101210/http://www.rareplanet.org/sites/rareplanet.org/files/PNACM597.pdf |date=2017-03-29 }}</ref>
 
== Referensi ==