Nirwan Dewanto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 8 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8
Baris 21:
Nirwan dilahirkan di [[Surabaya]], [[Jawa Timur]], pada tanggal [[28]] [[September]] [[1961]]. Saat masih di [[SMA]] dia sudah menulis [[puisi]]; karya-karyanya diterbitkan di majalah antara lain ''Kuncung'' dan ''[[Kartini (majalah)|Kartini]]''. Nirwan kuliah di [[Institut Teknologi Bandung]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]], dari tahun [[1980]] sampai 1987. Setelah meraih gelar [[Sarjana]] [[Geologi]], kemudian dia berpindah ke [[Jakarta]].{{sfn|Eneste|2001|p=165}}{{sfn|Kompas 2012, Nirwan Dewanto}}
 
Pada tahun [[1991]] Nirwan menjadi pembicara di Konferensi Budaya Nasional. Dia kemudian lebih dikenal untuk banyak membicarakan soal budaya.{{sfn|Kompas 2012, Nirwan Dewanto}} Nirwan pernah menjadi satu redaktur majalah sastra ''Horison'' periode tahun 1990-an'','' saat susunan dewan redaksi diketuai oleh sastrawan [[Goenawan Mohamad]]. Nirwan menjadi redaktur majalah ''Kalam'' saat diluncurkan pada bulan [[Februari]] [[1994]], bersama [[sastrawan]] [[Goenawan Mohamad]].{{sfn|Tempo 1994, Jurnal Angker}} Pada tahun [[1996]] Nirwan menerbitkan koleksi [[esai]] yang diberi judul ''Senjakala Kebudayaan''.{{sfn|Eneste|2001|p=165}} Dua dekade sejak dikemukakan, kelemahan ''Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991'' dibongkar oleh Putri Karyani, blogger [[Kompasiana]], yang menolak premis [[Pascamodernisme|pascamodernis]] Nirwan mengenai posisi sains dalam kebudayaan.<ref><!-- Pernyataan-pernyataan tersebut seakan-akan ilmu sains di-Judge negatif disini. Apakah kita tidak menyadari bahwa sebenarnya ilmu budaya sendiri adalah dasar dari segala ilmu? Budaya – termasuk bahasa – sangat memilikiperan penting dalam hal ini. Bayangkan, tanpa adanya bahasa, bagaimana kita bisa mengolah berbagai macam ilmu pengetahuan? Tentu tanpa adanya bahasa, kita menjadi bisu dan buta. Jadi, mengapa sains di-judge seperti itu? Tiada yang menekan maupun ditekan dalam hal ini. Justru harusnya hal semacam ini dapat melebarkan peran budaya, sehingga bisa menjadi ilmu sains yang berbudaya. Setiap cabang ilmu pengetahuan saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain, dan tentunya memiliki peran tersendiri dalam kehidupan manusia, bahkan dalam hal terkecil sekalipun. Jadi, sebaiknya kita bisa mengambil sisi positif dari itu semua. -->[http://www.kompasiana.com/putrii Putri Karyani] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140929024352/http://www.kompasiana.com/putrii |date=2014-09-29 }}, Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Budaya: Memberi Tanggapan atas Tulisan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, [http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/26/tugas-mata-kuliah-pengantar-ilmu-budaya-memberi-tanggapan-atas-tulisan-nirwan-dewanto-%E2%80%9Ckebudayaan-indonesia-pandangan-1991%E2%80%9D-490352.html edukasi.kompasiana.com]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}, 26 Desember 2012</ref>
 
[[Berkas:Nirwan BWCF2019.jpg|jmpl|ka|Nirwan Dewanto dalam [[BWCF]] 2019]]