Victor Ido: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
||
Baris 17:
== Pengarang drama ==
Prestasi penting lainya adalah cara Ido menggunakan budaya pribumi,yaitu epos dan tembang jawa sebagai inspirasi untuk banyak drama yang ditulisnya.Drama populer yang telah dipentaskan di berbagai kesempatan di teater kolonial.Sampai hari ini drama yang ditulis oleh Ido masih dipentaskan di Indonesia<ref>Hatley, Barbara ''Indonesian post-colonial theatre'' (Inside Indonesia, Jakarta, 1 August 2011).[http://www.insideindonesia.org/stories/indonesian-post-colonial-theatre-13031437] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110828132954/http://www.insideindonesia.org/stories/indonesian-post-colonial-theatre-13031437 |date=2011-08-28 }}</ref><blockquote style="">"....sebuah gambaran menarik tentang teater yang beragam secara etnis yang dipentaskan di Batavia dan proses-proses kebangkitan, reinterpretasi dan penghapusan kegiatan-kegiatan ini di masa yang lebih baru. Contoh yang dikutip adalah drama bahasa Belanda Karinda Adinda oleh dramawan Eurasia Victor Ido yang dipentaskan di Batavia pada tahun 1913 dan dipresentasikan kembali dalam terjemahan bahasa Indonesia pada tahun 1993. Pertunjukan selanjutnya terjadi di sebuah festival peringatan di Gedung Kesenian Jakarta, teater Shouwburg Weltevreden yang diperbaharui di mana drama itu pertama kali dimainkan.
Namun, dalam versi tahun 1993, (...) kecaman keras terhadap feodalisme pribumi dan otoritas patriarkal, yang diilhami oleh nilai-nilai yang diturunkan dari Eropa, dibungkam agar sesuai dengan kondisi Orde Baru pasca-kolonial Indonesia.
Acara ini memperingati Ido sebagai seorang penulis drama Belanda daripada seorang dramawan Eurasia, karena dalam pemahaman nasionalis, kita-dan-mereka tentang sejarah Indonesia (teater), kontribusi substansial dari drama-drama Eurasia dan Cina, dramawan dan pemain sebagian besar diabaikan."<ref>Quote: ''"In Ido’s original work the Dutch-educated son and daughter of a Javanese district head denounce their father’s feudalism, espousing European ideals of equality in keeping with mixed-race, anti-colonial nationalism. The daughter, Karina Adinda, an independent-minded young woman inspired by the example of Kartini, defiantly stabs herself in order to join her murdered Dutch lover and avoid the marriage arranged for her by her father. In the 1993 version, however, the daughter’s suicide is avoided by the sudden appearance of her Dutch beloved, miraculously rescued from death. The play ends with a tableau where the son invokes nobility of ideas and deeds and asks for moral guidance from God."'' Hatley, Barbara ''Indonesian post-colonial theatre'' (Inside Indonesia, Jakarta, 01 August 2011).[http://www.insideindonesia.org/stories/indonesian-post-colonial-theatre-13031437] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110828132954/http://www.insideindonesia.org/stories/indonesian-post-colonial-theatre-13031437 |date=2011-08-28 }}</ref></blockquote>Berkenaan dengan kritiknya, Ido pernah berkata: "''Anak-anak, anjing, dan drama tidak boleh disukai semua orang.Semua orang tidak memiliki karakter yang sama''."
== Karya ==
|