Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 6:
Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah [[bencana alam]], antara lain berupa peningkatan permukaan air laut, [[banjir]], [[tanah longsor]], [[kekeringan]], dan [[badai]]. Sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap.<ref name=":2" /> Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kekuasaan, politik, dan sosial yang tidak setara yang seringkali memposisikan mereka sekadar sebagai objek kebijakan dan implementasinya.<ref name=":1" /> Perempuan tidak mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.<ref name=":2" /> Sehingga, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang ada selama ini.<ref>{{Cite web|last=UNDP|date=2012|title=Overview of linkages between gender and climate change|url=https://www.undp.org/publications/gender-and-climate-change|website=Gender and Climate Change|access-date=2021-06-01}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Rusmadi|first=Rusmadi|date=2017-07-06|title=Pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia|url=https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/1470|journal=Sawwa: Jurnal Studi Gender|volume=12|issue=1|pages=91–110|issn=2581-1215}}</ref>
Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim.<ref>{{Cite journal|last=Terry|first=Geraldine|date=2009-03-01|title=No climate justice without gender justice: an overview of the issues|url=https://doi.org/10.1080/13552070802696839|journal=Gender & Development|volume=17|issue=1|pages=5–18|doi=10.1080/13552070802696839|issn=1355-2074}}</ref><ref>{{Cite book|last=Buckingham|first=Susan|last2=Masson|first2=Virginie Le|date=2017-05-08|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=UiQlDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=climate+change+and+gender&ots=45E6J3d7YQ&sig=hssfaeFoQ40I9jwoxZEamQQAV6o&redir_esc=y#v=onepage&q=climate%20change%20and%20gender&f=false|title=Understanding Climate Change through Gender Relations|publisher=Taylor & Francis|isbn=978-1-317-34061-4|language=en}}</ref> Selain itu, kesadaran mengenai peran dan kontribusi perempuan dalam mitigasi perubahan iklim juga diperlukan dalam menyusun kebijakan adaptasinya. Organisasi internasional, seperti [[PBB]], dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. [[Persetujuan Paris]] menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.<ref>{{Cite web|last=UN Women|date=2021|title=Climate change and the environment|url=https://www.unwomen.org/en/how-we-work/intergovernmental-support/climate-change-and-the-environment|website=UN Women|language=en|access-date=2021-06-03}}</ref> Di [[Indonesia]], Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, misalnya, telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.<ref>{{Cite web|last=Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak|date=2015|title=Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender|url=https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/32720-adaptasi-perubahan-iklim-yang-responsif-gender-.pdf|website=Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak|access-date=2021-06-02}}</ref>
Perubahan iklim mungkin tidak hanya memengaruhi perempuan dan laki-laki, tapi juga sistem biner yang lain. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa jadi memperburuk kondisi masyarakat [[gender non-biner]] di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, belum banyak studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner.<ref>{{Cite web|last=The Lancet|date=Februari 2020|title=Climate change and gender-based health disparities|url=https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanplh/PIIS2542-5196(20)30001-2.pdf|website=The Lancet|access-date=2021-06-02}}</ref> Isu gender dalam perubahan iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang juga turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, seperti usia, kelas sosial, status perkawinan, dan [[Kelompok etnis|kelompok etnik]].<ref name=":9">{{Cite web|last=ASSAR|date=2018|title=Gender is one of many social factors influencing responses to climate change: an ASSAR cross-regional insight|url=http://www.assar.uct.ac.za/sites/default/files/image_tool/images/138/Legacy_chapters/ASSARs%20work%20on%20gender%20and%20social%20differentiation.pdf|website=ASSAR|language=en|access-date=2021-06-02}}</ref>
Baris 16:
[[Berkas:Medical examination, pregnant women.jpg|jmpl|Pemeriksaan wanita hamil di Brazil]]Perubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan gender dalam bidang kesehatan yang telah lama ada.<ref name=":3" /> Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan, antara lain berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara yang buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi [[penyakit tular vektor]], penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan.<ref name=":3" /> Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.<ref name=":3" /> Asia, terutama [[Asia tenggara]] dan [[Asia Selatan]], diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak [[pemanasan global]] dan perubahan iklim di antara bagian bumi yang lain.<ref>{{Cite web|last=Choudhury|first=Saheli Roy|date=2020-08-17|title=Southeast Asia faces more severe effects of climate change than the rest of the world, McKinsey says|url=https://www.cnbc.com/2020/08/17/southeast-asia-faces-more-severe-impacts-of-climate-change-mckinsey-says.html|website=CNBC|language=en|access-date=2021-06-02}}</ref> Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi mengancam kesehatan para pekerja di luar ruangan di negara-negara Asia Tenggara pada 2050.<ref name=":13">{{Cite journal|last=Kjellstrom|first=Tord|last2=Lemke|first2=Bruno|last3=Otto|first3=Matthias|date=2013|title=Mapping Occupational Heat Exposure and Effects in South-East Asia: Ongoing Time Trends 1980–2011 and Future Estimates to 2050|url=https://www.jstage.jst.go.jp/article/indhealth/51/1/51_2012-0174/_article|journal=Industrial Health|volume=51|issue=1|pages=56–67|doi=10.2486/indhealth.2012-0174}}</ref> Salah satu risiko kesehatan yang muncul adalah [[pitam panas]].<ref name=":13" />
Perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap paparan panas berlebihan.<ref name=":3" /> Panas yang ekstrem dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain berupa kelahiran prematur, cacat bawaan, [[tekanan darah tinggi]] (hipertensi gestasional), dan [[pre-eklampsia]].<ref name=":3" /> Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sorensen|first=Cecilia|last2=Murray|first2=Virginia|last3=Lemery|first3=Jay|last4=Balbus|first4=John|date=2018-07-10|title=Climate change and women's health: Impacts and policy directions|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6038986/|journal=PLoS Medicine|volume=15|issue=7|doi=10.1371/journal.pmed.1002603|issn=1549-1277|pmc=6038986|pmid=29990343}}</ref
=== Bidang pertanian dan ketahanan pangan ===
Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap [[pertanian]] dan [[ketahanan pangan]]. Perempuan perdesaan, dalam hal ini, merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Berdasarkan hasil studi UNDAW dan [[UNESCO]], petani wanita di Asia Selatan lebih cenderung menanam tanaman pangan, sedangkan petani pria lebih memilih tanaman komersial.<ref name=":16">{{Cite web|last=Chatterjee|first=Somiha|date=2021-03-01|title=Why Gender Matters: Climate Change and Agriculture in India|url=https://lib.icimod.org/record/35157/files/HimalDoc2021_Gender-Agriculture-and-Climate_IB.pdf|website=ICIMOD|access-date=2021-06-10}}</ref> Perubahan iklim berdampak pada risiko menurunnya produksi pangan di kawasan tersebut pada 2050, seperti beras (menurun 14%), gandum (49%), dan jagung (9%).<ref name=":16" /> Wanita juga bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.<ref name=":4">{{Cite web|last=FAO|date=2012|title=Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide|url=http://www.fao.org/3/md280e/md280e.pdf|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref> Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan [[ternak]] dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.<ref name=":4" /> Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berat.<ref>{{Cite web|last=FAO|title=Gender-differentiated impacts of climate change|url=http://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c6-gender/chapter-c6-1/en/|website=FAO|access-date=2021-06-02}}</ref>
Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen.<ref name=":4" /> Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, pasokan benih,<ref name=":15">{{Cite journal|last=Hariharan|first=Vinod K.|last2=Mittal|first2=Surabhi|last3=Rai|first3=Munmun|last4=Agarwal|first4=Tripti|last5=Kalvaniya|first5=Kailash C.|last6=Stirling|first6=Clare M.|last7=Jat|first7=M. L.|date=2020-01-01|title=Does climate-smart village approach influence gender equality in farming households? A case of two contrasting ecologies in India|url=https://doi.org/10.1007/s10584-018-2321-0|journal=Climatic Change|language=en|volume=158|issue=1|pages=77–90|doi=10.1007/s10584-018-2321-0|issn=1573-1480}}</ref> peralatan pertanian, [[pupuk]], tenaga buruh tani, dan dukungan penyuluhan.<ref name=":4" /> Laki-laki juga lebih mudah mengakses pinjaman usaha dan layanan pasar.<ref name=":15" /> Tanpa dukungan finansial yang memadai, perempuan rentan kehilangan aset saat terjadi kekeringan, banjir, dan bencana alam lainnya.<ref name=":16" /> Menurut [[Organisasi Pangan dan Pertanian|FAO]], kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses pada sumber daya.<ref name=":4" />
Baris 27:
=== Bidang energi ===
[[Kemiskinan energi]] menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Para ilmuwan meyakini bahwa masalah akses ke energi adalah masalah interseksional.<ref name=":6">{{Cite journal|last=Johnson|first=Oliver W.|last2=Han|first2=Jenny Yi-Chen|last3=Knight|first3=Anne-Louise|last4=Mortensen|first4=Sofie|last5=Aung|first5=May Thazin|last6=Boyland|first6=Michael|last7=Resurreccióne|first7=Bernadette P.|date=2020-12-01|title=Intersectionality and energy transitions: A review of gender, social equity and low-carbon energy|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214629620303492|journal=Energy Research & Social Science|language=en|volume=70|pages=101774|doi=10.1016/j.erss.2020.101774|issn=2214-6296}}</ref> Di perdesaan [[Asia]] dan [[Afrika]], perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan energi untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, terutama energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.<ref name=":2" /><ref>{{Cite journal|last=Antwi|first=Sarpong Hammond|date=2020-06-25|title=The trade-off between gender, energy and climate change in Africa: the case of Niger Republic|url=https://doi.org/10.1007/s10708-020-10246-9|journal=GeoJournal|language=en|doi=10.1007/s10708-020-10246-9|issn=1572-9893}}</ref> Akibat perubahan iklim, [[keanekaragaman hayati]] terancam dan manusia pun kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber energi tersebut.<ref name=":2" />
Transisi dari energi [[bahan bakar fosil]] ke energi yang lebih rendah [[karbon]] juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut sejumlah studi, perempuan berpotensi menjadi objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender saat mengenalkan energi terbarukan di masyarakat [[negara berkembang]].<ref name=":6" />
Baris 34:
Pandangan seseorang atau kelompok mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain [[Ras manusia|ras]], [[kelompok etnik]], status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender.<ref name=":14" /> Terkadang juga ditambah dengan pandangan dan orientasi politik. Faktor-faktor tersebut secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kelompok dalam mempertimbangkan solusinya.<ref name=":14">{{Cite web|last=Pearson|first=Adam R.|last2=Ballew|first2=Matthew T.|date=2017-04-26|title=Race, Class, Gender and Climate Change Communication|url=https://oxfordre.com/climatescience/view/10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|website=Oxford Research Encyclopedia of Climate Science|language=en|doi=10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412|access-date=2021-06-05|last3=Naiman|first3=Sarah|last4=Schuldt|first4=Jonathon P.}}</ref>
Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Hasil penelitian di [[Amerika Serikat]] menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.<ref name=":7">{{Cite web|last=Ballew|first=Matthew|last2=Marlon|first2=Jennifer|date=2019-11-20|title=Gender Differences in Public Understanding of Climate Change|url=https://climatecommunication.yale.edu/publications/gender-differences-in-public-understanding-of-climate-change/|website=Yale program on climate change communication|access-date=2021-06-05|last3=Leiserowitz|first3=Anthony|last4=Maibach|first4=Edward}}</ref> Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, mereka sedikit lebih ragu tentang apakah mayoritas ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim tengah terjadi saat ini.<ref name=":7" /> Dalam studi lain di negara yang sama, perempuan ditemukan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang perubahan iklim daripada laki-laki. Namun, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cenderung menganggap remeh
== Perbedaan gender tentang pendekatan kebijakan perubahan iklim ==
Baris 43:
== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==
Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya.<ref name=":1" /> Kajian [[interseksionalitas]] sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensional. Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.<ref name=":1" /> Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.<ref>{{Cite book|last=Pelling|first=Mark|date=2010-10-18|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=g6Z9AgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&ots=t7Wo4bPMWs&sig=z8J7J0UyKzXKAhiRcfFm-3GbURY&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Adaptation to Climate Change: From Resilience to Transformation|publisher=Routledge|isbn=978-1-134-02202-1|language=en}}</ref><ref name=":9" /> Laki-laki dan perempuan bukan merupakan kategori yang homogen.<ref name=":9" /><ref name=":4" /> Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, [[kasta]], usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama, dan lokasi geografis.<ref name=":4" /><ref>{{Cite journal|last=Djoudi|first=H.|last2=Brockhaus|first2=M.|date=2011-06-01|title=Is adaptation to climate change gender neutral? Lessons from communities dependent on livestock and forests in northern Mali|url=https://www.ingentaconnect.com/content/cfa/ifr/2011/00000013/00000002/art00002|journal=International Forestry Review|volume=13|issue=2|pages=123–135|doi=10.1505/146554811797406606}}</ref> Sehingga, menurut sejumlah pakar, tidak tepat jika memandang perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim<ref name=":1" /> dan laki-laki memikul beban yang lebih ringan
== Studi kasus di sejumlah negara ==
Baris 50:
[[Pengarusutamaan gender]] telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini.<ref name=":10" /> Namun, terkait isu perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki.<ref name=":10">{{Cite book|last=Murdiyarso|first=Daniel|last2=Herawati|first2=Hety|date=2005-01-01|url=https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=TTjpGjXXAegC&oi=fnd&pg=PA176&dq=climate+change+and+gender+indonesia&ots=RmsF8NSrVv&sig=_Oxa2nL7XRkVQUxdoz0Zg1Vtfx8&redir_esc=y#v=onepage&q=climate%20change%20and%20gender%20indonesia&f=false|title=Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods|publisher=CIFOR|isbn=978-979-3361-73-4|language=en}}</ref> "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".<ref name=":10" /> Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.<ref name=":11">{{Cite web|last=Atmadja|first=Stibniati|last2=Lestari|first2=Hiasinta|date=2020-12-01|title=Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia|url=https://www.cifor.org/publications/pdf_files/infobrief/7871-infobrief.pdf|website=CIFOR|access-date=2021-06-09|last3=Djoudi|first3=Houria|last4=Liswanti|first4=Nining|last5=Tamara|first5=Ade}}</ref>
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh [[Center for International Forestry Research|CIFOR]] terhadap [[mekanisme pendanaan iklim]], ditemukan adanya kesenjangan pemahaman antara level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.<ref name=":11" /> Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan, yaitu [[Dana Desa]], Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup ''(''BPDLH). Peneliti juga menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu ataupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.<ref name=":11" /> Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk dalam isu perubahan iklim.<ref name=":10" /> Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam [[Indeks Pembangunan Gender]] (IPG) 2020.<ref>{{Cite web|last=RI|first=Setjen DPR|title=Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan|url=http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/32200|website=www.dpr.go.id|language=id|access-date=2021-06-08}}</ref>
Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.<ref name=":10" />
Baris 57:
[[Indeks Pembangunan Manusia]] 2020 menempatkan India di posisi ke-131 dari 189 negara dengan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.<ref>{{Cite web|last=Krishnan|first=Revathi|date=2020-12-17|title=India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality|url=https://theprint.in/india/india-slips-two-spots-to-131-on-human-development-index-2020-ranks-low-on-gender-equality/568742/|website=ThePrint|language=en-US|access-date=2021-06-08}}</ref> Menurut [[Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNDP]], kesenjangan gender dalam perubahan iklim di India diperparah oleh norma-norma sosial, stigma, mobilitas terbatas, angka buta huruf yang tinggi, sumber daya finansial yang rendah, pembatasan hak, serta pengabaian terhadap aspirasi perempuan dalam penyusunan kebijakan perubahan iklim.<ref name=":16" /> Salah satu kelompok perempuan paling rentan adalah mereka yang hidup di daerah kering dan semi-kering di India. Akibat beban kerja berlebih, perempuan di kawasan tersebut banyak yang tidak dapat mengakses pendidikan.<ref name=":17" /> Kondisi ini semakin parah dengan munculnya dampak-dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan keterbatasan air bersih untuk kepentingan memasak, air minum, sanitasi, dan kepentingan produktif lainnya.<ref name=":17" />
Avantika Singh, akademisi ilmu politik di [[Universitas Delhi]], mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi.<ref name=":12">{{Cite journal|last=Singh|first=Avantika|date=2020-06-01|title=Introspecting Gender Concerns in National Action Plan for Climate Change of India|url=https://doi.org/10.1177/0019556120922833|journal=Indian Journal of Public Administration|language=en|volume=66|issue=2|pages=179–190|doi=10.1177/0019556120922833|issn=0019-5561}}</ref> Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari anggota dewan yang didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim
=== Tiongkok ===
Menurut sejumlah peneliti, kebijakan perubahan iklim dan gender di Tiongkok telah mengalami perkembangan cukup baik selama sepuluh tahun terakhir, meski mungkin masih ditemui kelemahan dan cenderung terfragmentasi.<ref name=":18">{{Cite journal|last=Zhou|first=Yuan|last2=Sun|first2=Xiaoyan|date=2020-01-01|title=Toward gender sensitivity: women and climate change policies in China|url=https://doi.org/10.1080/14616742.2019.1687001|journal=International Feminist Journal of Politics|volume=22|issue=1|pages=127–149|doi=10.1080/14616742.2019.1687001|issn=1461-6742}}</ref> Sebelumnya, mereka dikritik karena menunjukkan komitmen yang lemah terhadap pengurangan emisi dan penanganan perubahan iklim.<ref name=":18" />
Dari beberapa hasil studi didapati bahwa laki-laki Tiongkok lebih menunjukkan kepedulian lebih terhadap isu perubahan iklim dibandingkan perempuannya.<ref name=":18" /><ref name=":19">{{Cite journal|last=Shields|first=Todd|last2=Zeng|first2=Ka|date=2012|title=The Reverse Environmental Gender Gap in China: Evidence from "The China Survey"|url=https://www.jstor.org/stable/42864056|journal=Social Science Quarterly|volume=93|issue=1|pages=1–20|issn=0038-4941}}</ref> Salah satu contohnya adalah studi di sebuah desa di provinsi [[Ningxia]]. Partisipan laki-laki lebih mampu menjelaskan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan, seperti adanya perubahan [[suhu]] dan [[kelembapan]] yang sifatnya musiman.<ref name=":18" /> Sedangkan responden perempuan merespon pertanyaan dengan jawaban yang kurang jelas dan tidak spesifik. Dari sini, terlihat adanya kesenjangan pengetahuan mengenai perubahan iklim di antara kedua gender. Kesenjangan gender dalam pengetahuan lingkungan ini, menurut ilmuwan, akan terus bertahan kecuali perkembangan ekonomi di Cina diarahkan untuk menjamin akses perempuan ke pendidikan dan ekonomi yang lebih baik.<ref name=":19" />
Berbeda dengan negara-negara yang lain, pembahasan mengenai aspek gender dalam perubahan iklim di Cina lebih cenderung terlihat dalam kebijakan mengenai kesetaraan gender daripada kebijakan perubahan iklim.<ref name=":18" />
== Daftar rujukan ==
|