Serangan Umum 1 Maret 1949: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 354:
"... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."
Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan [[BBC]], serta melampirkan sejumlah kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah dikenal. Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin kepada Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian serangan, memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk menyampaikan teks siaran ke pemancar radio AURI di Playen; singkatnya, juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto, kini dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru. Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut adalah operasi militer di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai pemrakarsa serangan, dan Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah menulis surat kepada Presiden [[Abdurrahman Wahid]] untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini." demikian [[Budi Hartono]].
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya.
Baris 363:
Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang. Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.
Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di [[Jawa Barat]], [[Jawa Timur]], [[Sumatera]], [[Kalimantan]], [[Sulawesi]], dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana dituturkan dalam buku [[Setiadi Kartohadikusumo]]:"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya, sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA [[Tugu]] dan di [[Imogiri]]."
Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story tersebut.
|