Campylobacter: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Mengosongkan sebagian besar isi VisualEditor-alih
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 84:
Pencemaran lingkungan oleh kotoran hewan domestik dan hewan liar menghadirkan jalur alternatif paparan infeksi manusia, misalnya, tanah, pasir pantai, limbah, air tanah, dan air minum. Manusia juga dapat terpapar kotoran hewan yang terkontaminasi di lingkungan melalui kegiatan di luar ruangan seperti berkemah, berjalan, dan piknik. Campylobacters termofilik C. jejuni, C. coli, C. laris, dan C. upsaliensis lebih terkait dengan penyakit gastrointestinal manusia.
 
Anak mempunyai resiko paling besar baik di negara berkembang maupun negara maju. Namun, telah dinyatakan bahwa Campylobacter adalah hiperendemik di negara berkembang, di mana sanitasi yang buruk dan kontak manusia yang dekat dengan hewan merupakan penyebab umum. Spesies Campylobacter dapat bertahan hidup pada produk unggas eceran segar dan beku dan dapat dengan mudah masuk ke dalam kontak dengan manusia, meskipun peran paparan non-makanan lainnya dalam epidemiologi campylobakteriosis sporadis masih belum diketahui. Diperkirakan bahwa penanganan, persiapan, dan konsumsi daging ayam pedaging dapat secara langsung menyebabkan 20 hingga 30% kasus campylobakteriosis pada manusia. Campylobacter sp. juga telah ditemukan untuk membentuk biofilm (kumpulan sel mikroba yang berhubungan dengan permukaan dan tertutup dalam matriks terutama bahan polisakarida), yang ditemukan dalam persediaan air dan sistem pipa fasilitas peternakan dan pabrik pengolahan hewan. Bentuk pertumbuhan ini dapat memberikan perlindungan bagi mikroorganisme dari tekanan lingkungan dan agen antimikroba yang digunakan dalam sanitasi fasilitas peternakan dan pabrik pengolahan hewan, yang memungkinkan kelangsungan hidup. <ref>Santos Garcia and Norma L. Heredia. 2013. “Guide to Foodborne Pathogens”. Wiley Blacwell. [Ebook]</ref>
 
'''f.      Penyakit yang Disebabkan oleh Campylobacter'''
Baris 92:
Salah satu spesies dari Campylobacter adalah C. jejuni yang memiliki dosis infektif antara 500 dan 10.000 organisme dan gejala mulai berkembang setelah masa inkubasi selama 2-4 hari. Masa inkubasi bisa terjadi sangat singkat yaitu 24-72 jam dan bisa diperpanjang hingga 10 hari. Setengah dari pasien, diare didahului oleh periode demam dengan malaise, mialgia, sakit perut, dan demam. Darah segar mungkin muncul di tinja pada hari ketiga. Selain itu, nyeri perut yang parah dapat menyerupai peritonitis akut. Terkadang beberapa pasien, terutama remaja atau dewasa mengidap peritonitis dari apendisitis akut, tetapi pada kebanyakan pasien, terjadi peradangan pada beberapa bagian ileum dan jejunum.
 
Bakteri ini telah diidentifikasi sebagai faktor risiko penting untuk perkembangan penyakit radang usus. Bakteremia terdeteksi pada kurang dari 1% pasien, dan paling sering terjadi pada pasien yang sistem kekebalannya sangat terganggu. Beberapa pasien mengalami eritema nodosum atau poliartralgia (yaitu, artritis reaktif). Infeksi ekstra-usus, termasuk meningitis, osteomielitis, dan sepsis neonatorum, jarang terjadi. Infeksi Campylobacter juga dikaitkan dengan komplikasi pasca infeksi, termasuk sindrom Reiter dan sindrom Guillain-Barré (yang merupakan polineuropati akut yang mempengaruhi sistem saraf perifer, di mana gejala yang paling khas adalah kelumpuhan asendens yang dimulai pada kaki dan tangan dan bermigrasi ke arah batang tubuh, dan dalam beberapa kasus perubahan sensasi atau nyeri serta disfungsi sistem saraf otonom diamati). <ref>Anni Kusuma Ningsih. 2010. “Beberapa Bakteri Patogenik Penyebab Foodborne Diseasen pada Bahan Pangan Asal Ternak”. Wartazoa. 20(3) : 103-111.</ref>
 
'''g.     Cemaran Campylobacter pada Makanan'''
Baris 98:
Kejadian infeksi Campylobacter sp. pada manusia biasanya disebabkan karena memakan makanan yang terkontaminasi. Penularan infeksi dapat terjadi karena penderita campylobacteriosis menyiapkan makanan sehingga menyebabkan kontaminasi pada makanan. Sumber kontaminasi yang utama adalah karena mengonsumsi daging ayam, susu, dan kontak dengan hewan peliharaan. Mengonsumsi daging ayam yang tidak dimasak sempurna merupakan penyebab utama kejadian campylobacteriosis.
 
Spesies Campylobacter umumnya hidup pada saluran pencernaan hewan berdarah panas seperti unggas, sapi, babi, domba dan burung unta, serta hewan peliharaan termasuk kucing dan anjing. Bakteri ini juga dapat ditemukan dalam kerang. Selain itu, faktor risiko lainnya, termasuk kontaminasi silang selama persiapan makanan siap saji seperti sayuran, serta kontak langsung dengan feses dari hewan yang terinfeksi, termasuk hewan peliharaan.<ref>Dewi A.A.S, dkk. 2014. “Prevalensi Cemaran Mikroba dan Residu Antibiotika pada Pangan Asal Hewan (PAH) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada Tahun 2013”. Buletin Veteriner, Bbvet Denpasar. 26 (84).</ref>
 
Sebagai kebiasaan umum pada saluran pencernaan hewan berdarah panas, Campylobacter dapat mencemari makanan dengan cara yang berbeda. Campylobacter mengkontaminasi daging ketika karkas (misalnya, unggas dan daging sapi) bersentuhan dengan isi pengujian selama pemotongan.
 
Resiko tertinggi cemaran dari campylobater terjadi pada ayam dan unggas lainnya (terutama daging setengah matang dan daging di restoran), namun ternyata campylobacter ini bisa ditemukan pada produk olahan susu. Susu dapat terkontaminasi dengan Campylobacter sebagai akibat dari pencemaran feses di peternakan. <ref>Titiek F. Djafar, dll. 2007. “Cemaran Mikroba Pada produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya”. Jurnal Litbang Pertanian. 26(2) : 67-75.</ref>
 
Sebagian besar kasus Campylobacter yang disebabkan oleh susu atau keju telah biasanya terjadi pada  susu mentah, keju segar atau lunak yang tidak melewati proses pasteurisasi, karena Campylobacter tidak dapat bertahan hidup dengan pasteurisasi yang tepat. Produk susu yang diproses secara menyeluruh (misalnya, keju keras dan susu bubuk) menimbulkan ancaman terbatas karena resistensi Campylobacter yang rendah terhadap kondisi penurunan pH dan aktivitas air. Telur tampaknya tidak menjadi sumber penting Campylobacter, meskipun sering terjadi pada unggas. Permukaan telur yang kering tidak mendukung kelangsungan hidup Campylobacter, dan telur telah terbukti menunjukkan sifat bakterisida.<ref>Andriani, dkk. 2013. “Kajian Risiko Campylobacter sp. Pada Daging Panggang”. Jurnal Kedokteran Hewan.7(1) : 56-60.</ref>
 
'''h.     Deteksi Campylobacter'''
 
Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi atau menghitung Campylobacter. Metode Most Probable Number (MPN) (menggunakan media pengayaan yang berbeda seperti Bolton atau buffered peptone water dan inkubasi dalam kondisi mikroaerofilik) sangat berguna untuk sampel dengan sedikit sel dan memungkinkan estimasi jumlah bakteri yang ada dalam sampel. Metode untuk mendeteksi Campylobacter spp. awalnya dikembangkan untuk spesimen klinis. Inkubasi diperlukan untuk isolasi Campylobacter dalam sampel di mana jumlah organisme diharapkan menjadi rendah, seperti dari sampel makanan dan lingkungan, dan ini tidak diperlukan untuk sampel feses. Berbagai macam media selektif dan prosedur untuk isolasi campylobacter telah dikembangkan; namun, tidak ada media tunggal yang cukup untuk mengisolasi semua Campylobacter spp. Media selektif yang paling sering dilaporkan untuk isolasi Campylobacter dari makanan dan feses. <ref>Ihab Habib, dkk. 2019. “Eleven Campylobacter Spesies”. ASM Press Washington DC. 263-287.</ref>
</ref> <ref>Andriani, dkk. 2013. “Kajian Risiko Campylobacter sp. Pada Daging Panggang”. Jurnal Kedokteran Hewan.7(1) : 56-60.</ref> <ref>Titiek F. Djafar, dll. 2007. “Cemaran Mikroba Pada produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya”. Jurnal Litbang Pertanian. 26(2) : 67-75.</ref> <ref>Dewi A.A.S, dkk. 2014. “Prevalensi Cemaran Mikroba dan Residu Antibiotika pada Pangan Asal Hewan (PAH) di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada Tahun 2013”. Buletin Veteriner, Bbvet Denpasar. 26 (84).</ref> <ref>Anni Kusuma Ningsih. 2010. “Beberapa Bakteri Patogenik Penyebab Foodborne Diseasen pada Bahan Pangan Asal Ternak”. Wartazoa. 20(3) : 103-111.</ref> <ref>Santos Garcia and Norma L. Heredia. 2013. “Guide to Foodborne Pathogens”. Wiley Blacwell. [Ebook]</ref>
 
== Catatan kaki ==