Kerajaan Badung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 13 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
Baris 57:
[[Berkas:1906 Puputan monument in Denpasar.jpg|jmpl|kiri|210px|Monumen Puputan Badung di kota [[Denpasar]].]]
 
Pada tahun [[1826]], [[Belanda]] diizinkan Raja I Gusti Made Ngurah untuk mendirikan stasiunnya di [[Kuta]],<ref name="badung3">{{Cite web |url=http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/2/Sejarah |title=Sejarah Kabupaten Badung |access-date=2015-08-17 |archive-date=2015-09-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150923181500/http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/2/Sejarah |dead-url=yes }}</ref>, sebagai balasan atas kerjasama itu raja mendapatkan hadiah yang sangat indah. Seorang pedagang berkebangsaan [[Denmark]] bernama [[Mads Johansen Lange]] yang datang ke [[Bali]] pada usia 18 tahun memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Hindia Belanda dan Badung serta kerajaan-kerajaan lain di Bali. Mulai saat itu, Mads Lange yang lahir tahun [[1806]], dapat meningkatkan hubungan baik dengan raja-raja di Bali. Pada tahun [[1856]] Mads Lange sakit dan mohon pensiun serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ia tumpangi akan berangkat, dan akhirnya ia dimakamkan di Kuta.
 
Pada tahun [[1904]], sebuah kapal dagang berbendera Belanda milik seorang [[Tionghoa]] dari [[Banjarmasin]] bernama "Sri Komala" kandas di [[Pantai Sanur]].<ref name="badung2">{{cite web |url=http://www.koranrenon.com/gara-gara-sri-komala-terdampar-di-sanur.htm |title=Refleksi Puputan Badung (1): Gara-gara Sri Komala Terdampar di Sanur |access-date=2015-08-19 |archive-date=2016-03-04 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160304131015/http://www.koranrenon.com/gara-gara-sri-komala-terdampar-di-sanur.htm |dead-url=yes }}</ref>. Pemilik kapal dan pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal serta menuntut kepada raja-raja Badung atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan [[Intervensi Belanda di Bali (1906)|ekspedisi militernya]] ke Bali pada tanggal [[20 September]] [[1906]]. Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri segera mendarat dan menyerang Kerajaan Badung.<ref name="badung3">[http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/2/Sejarah Sejarah Kabupaten Badung]</ref><ref name="badung2">{{cite web |url=http://www.koranrenon.com/gara-gara-sri-komala-terdampar-di-sanur.htm | title=Refleksi Puputan Badung (1): Gara-gara Sri Komala Terdampar di Sanur }}</ref>.
 
Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota [[Denpasar]]. Belanda mencapai pintu gerbang kota tanpa mendapatkan perlawanan berarti, namun tiba-tiba mereka disambut oleh sekelompok orang berpakaian serba putih, siap melakukan "''[[puputan|perang puputan]]''" (mati berperang sampai titik darah terakhir).<ref name="badung2">{{cite web |url=http://www.koranrenon.com/gara-gara-sri-komala-terdampar-di-sanur.htm | title=Refleksi Puputan Badung (1): Gara-gara Sri Komala Terdampar di Sanur }}</ref>. Dipimpin oleh Raja I Gusti Ngurah Made Agung dan para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-laki serta perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena dalam ajaran [[Hindu]], bahwa tujuan kesatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke surga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan.<ref name="badung3">[http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/2/Sejarah Sejarah Kabupaten Badung]</ref>.
Dikabarkan bahwa sebelum terjadi puputan, putra mahkota dari I Gusti Ngurah Made Agung bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di [[Seminyak|Desa Seminyak]], [[Kuta]].<ref name="badung6">[http://puriagungdenpasar.com/sejarah-2/sejarah/ Sejarah Singkat Puri Agung Denpasar]</ref>. Pada tanggal [[17 Januari]] [[1907]], I Gusti Alit Ngurah pun ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke [[Mataram]], [[Lombok]], oleh pemerintah Hindia Belanda.
 
Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal [[1 Oktober]] [[1917]], atas desakan para tokoh masyarakat di [[Lombok]] seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah [[Hindia Belanda]] ke Denpasar, selain itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.<ref name="badung6">[http://puriagungdenpasar.com/sejarah-2/sejarah/ Sejarah Singkat Puri Agung Denpasar]</ref>.
 
=== Masa Pendudukan Belanda ===
[[Berkas:Paruman Agung 1938.jpg|jmpl|ka|270px|Para raja Bali saat dilantik di [[Pura Besakih]] pada [[30 Juni]] [[1938]]. Cokorda Alit Ngurah sebagai Raja Badung VII berdiri di ujung kiri.]]
 
Pada tahun [[1929]], setelah pembangunan kembali Puri Agung Denpasar yang hancur saat [[puputan]], I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh [[Hindia Belanda]] sebagai ''Regent'' Badung dengan gelar Cokorda Alit Ngurah.<ref name="badung6">[http://puriagungdenpasar.com/sejarah-2/sejarah/ Sejarah Singkat Puri Agung Denpasar]</ref>. Pemerintah [[Hindia Belanda]] mulai menerapkan sistem pemerintahan yang baru yaitu ''Zelfbestuur'' (pemerintahan [[swapraja]]) guna dapat mempermudah mengatur daerah jajahan yang demikian luasnya pada tanggal [[1 Juli]] [[1938]], dan sistem ini diterapkan secara serentak di seluruh daerah [[Bali]] yang dibagi menjadi 8 ''landschapen'', yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Pada setiap ''landschapen'' diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan ''Zelbestuurder'' (Raja).
 
Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk ''Zelbestuur Badung'' kekuasaan dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (''abhiseka'') dia dilakukan serentak dengan 8 raja-raja lainnya di [[Pura Besakih]], [[Kerajaan Karangasem|Karangasem]] pada tanggal [[30 Juni]] [[1938]]. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron.<ref name="badung6">[http://puriagungdenpasar.com/sejarah-2/sejarah/ Sejarah Singkat Puri Agung Denpasar]</ref>. Para penguasa swapraja-swapraja (''Zelfbestuur'') tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.
 
=== Masa Pendudukan Jepang ===
Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] mendarat di [[Pantai Sanur]] pada tanggal [[18 Februari|18]] dan [[19 Februari]] [[1942]]. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota [[Denpasar]] dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (''Rikugun''). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke [[Bali]], Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi ''Sutyo Renmei''.<ref name="karangasem5">[http://e-kuta.com/blog/berita-bali/sejarah-kabupaten-karangasem-dan-kota-amlapura.htm Sejarah Bali]</ref>.
 
=== Masa Kemerdekaan Indonesia ===
Pada tahun [[1945]] setelah [[Kekaisaran Jepang|Jepang]] menyerah dan kemerdekaan [[Republik Indonesia]], [[Bali]] menjadi bagian dari Pemerintah [[Negara Indonesia Timur]]. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam [[Republik Indonesia]] pada tanggal [[17 Agustus]] [[1950]]. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di [[Denpasar]] dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan [[Oktober]] [[1950]], pemerintahan Swapraja Badung berbentuk Dewan Pemerintahan Badung yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.
 
Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal [[1 Desember]] [[1958]], daerah-daerah swapraja di [[Bali]] diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat [[kabupaten]], termasuk Badung. [[Denpasar]] menjadi ibu kota dari pemerintah daerah [[Kabupaten Badung]], selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi [[Provinsi Bali]] yang semula berkedudukan di [[Singaraja]].<ref>Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur</ref>.
 
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi [[kota administratif]], dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal [[15 Januari]] [[1992]], berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi [[kotamadya]], yang kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal [[27 Februari]] [[1992]].<ref name="badung3">[http://www.badungkab.go.id/index.php/profil/2/Sejarah Sejarah Kabupaten Badung]</ref>.
 
== Daftar Raja-Raja Badung ==