Sitanggang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Taromboparna (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Taromboparna (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 7:
Secara turun temurun nenek moyang marga Sitanggang mulai dari Raja Isumbaon hingga ke Raja Sitempang IV (Sitanggang Bau) adalah penguasa di Pangururan yang dahulu dikenal Tano Sumba atau Tanah Raja Isumbaon. Yang kemudian pada jaman kolonial Belanda, untuk memecah dominasi marga Sitanggang utamanya atas Onan Tiga Urat atau Pasar (pusat perdangan awal Pangururan), maka Pangururan dibagi menjadi 3 kerajaan adat (bius) yaitu Bius Sitanggang, Bius Simbolon dan Bius Naibaho<ref>{{Cite book|last=Sitanggang|first=Marcius Albert|date=1997|title=Mengenal Leluhur Raja Sitanggang Serta Keturunannya|location=Jakarta|publisher=Lembaga Pusat Pengkajian Batakologi Yayasan LPB3|url-status=live}}</ref>. Dan selanjutnya, bius Pangururan dipecah atau dimekarkan lagi oleh Belanda dengan bius-bius yang baru seperti Tanjung Bunga (bius marga Nadeak), Buhit (bius marga Sitanggang), Rianiate (bius marga Sitanggang dan marga Simbolon), Sabungan Nihuta (marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Simalango), Ronggur Nihuta (bius marga Sitanggang, marga Simbolon dan marga Naibaho)<ref>{{Cite book|last=Hutagalung|first=W.M.|date=1991|title=Pustaha Batak|publisher=Tulus Jaya|url-status=live}}</ref>.
 
Nama Raja Sitempang merupakan julukan yang begitu populer di daerah Pangururan, awalnya gelar Raja Sitempang merupakan sebutan untuk Raja Natanggang, dikarenakan keadaan fisik Raja Natanggang yang cacat atau pincang<ref name=":0" />. Namun setelah ayahnya Tuan Sorbadijulu si Raja Naiambaton membawanya ke puncak dolok (gunung) Pusuk Buhit, untuk didoakan dengan harapan Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Kuasa versi Batak jaman dahulu) dapat menolong dan memberikan kesembuhan kepada anaknya Raja Natanggang. Raja Naiambaton pun mendudukkan anaknya di bawah pohon Utte (Jeruk Purut) yang tumbuh tepat di tengah puncak dolok Pusuk Buhit. Raja Naiambaton pun memulai ritual doanya, sebagaimana kebiasaan dari nenek moyangnya, mulai dari Raja Batak ke Raja Isumbaon hingga ke ayahnya Tuan Sorimangaraja, selalu memanjatkan doa dan permohonan di puncak gunung Pusuk Buhit, gunung yang dianggap suci oleh keluarganya secara turun-temurun. Dimana kakek buyutnya Raja Batak, di puncak gunung yang sakral itu, menerima dua pustaha (surat agung) dari Mulajadi Nabolon untuk diwariskan kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon, dimana si sulung Guru Tatea Bulan mendapatkan Pustaha Laklak. Adapun pun Pustaha Tumbaga menjadi milik dari Raja Isumbaon, yang berisikan tentang hukum dan pemerintahan (kerajaan)<ref name=":1">{{Cite book|last=Tampubolon|first=Raja Patik|date=1964|title=Pustaha Tumbaga Holin|location=Jakarta|publisher=Dian Utama|url-status=live}}</ref>. Begitu pula dengan sepupu dari ayahnya Tuan Sorimangaraja yang bernama Raja Uti, cucu sulung dari Raja Batak atau paman paman sulung dari Raja Naiambaton sendiri dari ibu, di gunung itu pula mendapatkan pertolongan dan keajaiban dari Mulajadi Nabolon, hingga Raja Uti yang sebelumnya lahir dengan tubuh tidak memiliki tangan dan tidak memiliki kaki. Namun setelah diantarkan oleh ibunya siboru Baso Nabolon ke Pusuk Buhit, Raja Uti pun telah menjadi manusia yang begitu sakti dengan tubuh yang sempurna, hingga Raja Uti dianggap sebagai orang Batak yang paling sakti dan paling dekat dengan Mulajadi Nabolon<ref name=":1" />.
 
Bersambung...