Pengguna:Altair Netraphim/Bookmark5: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 6:
Secara umum, ''ginonjing'' adalah [[emansipasi]] dan [[modernisme]] yang dilakukan oleh Kartini agar dia memberikan ritmenya sendiri kepada sesuatu yang secara universal disebut dengan zaman baru, zaman modern, dan zaman emansipasi. Namun, penanaman ini tidak dapat ditafsirkan seolah-olah pengalaman hidup Kartini (dengan ide-idenya) sepenuhnya datang dari dalam, tanpa pengaruh asing. Hal tersebut tidaklah mungkin.<ref name=":02">{{Cite book|last=Sunardi|first=St.|date=2012|title=Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika|location=Yogyakarta|publisher=Jalasutra|isbn=978-602-8252-73-7|pages=53–68|url-status=live}}</ref> Berdasarkan idiom-idom yang dipakai, dapat diketahui asalnya pengaruh-pengaruh tersebut. [[Joost Coté]] sudah membahasnya di dalam buku berjudul ''Aku Mau... Nasionalisme dan Feminisme'' serta ''Surat-Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar''. Penamaan itu hanya ingin menunjukkan seorang Kartini menelaah ide-ide emansipasi dari sahabat-sahabatnya yang berada di [[Eropa]] sesuai dengan situasi sesungguhnya.<ref>{{Cite book|last=Kartini|date=2005|title=On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899–1903|location=Melbourne|publisher=Monash Asia Institute|isbn=978-187-6924-35-5|pages=2|url-status=live}}</ref>
Gending ''Ginonjing'' ''–'' yang disebut dalam suratnya tertanggal [[13 Januari]] [[1900]] ''–'' dipakai Kartini untuk mengungkapkan ''"''hubungannya" dengan zaman baru dan juga isi zaman baru itu sendiri. Pengalaman tersebut sarat dengan ketidakpastian ''–'' bukan ketidakpastian yang harus dihindari, tetapi ketidakpastian yang harus menjadi risiko. Obsesinya kepada zaman modern sudah tidak bisa ditawar lagi, tetapi pada waktu yang sama dia melihat ketidakpastian nasib masa depan zaman baru itu.<ref>{{Cite book|last=Suyono|first=Seno Joko|date=2020|title=Mengenang Anne Frank|location=Jakarta|publisher=Tempo Publishing|isbn=978-623-2625-82-2|pages=110–111|url-status=live}}</ref>
Gamelan kaca yang ada di pendopo itu bisa bercerita padamu lebih banyak daripadaku. Mereka melagukan lagu kesayangan kami. Bukan sebuah lagu, juga bukan sebuah melodi, hanya suara-suara dan getaran-getaran lembut, berpadu dan mengalir begitu saja, tapi di saat yang sama terdengar begitu menenteramkan sukma, mengalir begitu syahdunya! Tidak, tidak, itu bukan semacam suara dari kaca, tembaga atau kayu; itu adalah suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap dan sangat jarang tertawa bahagia. Dan jiwaku terbang terbawa bersama desiran suara-suara itu, suara gamelan, ke langit biru, melewati awan tipis, menerpa sinar gemintang bunyi gong bergaung keras membawaku ke lembah gulita, ke jurang yang dalam, melewati belantara yang tak terjamah manusia dan jiwa gemetar ketakutan, kesakitan dan perih !
|