Manusia 6.000.000 Dollar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan 114.4.79.213 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Mochamad farhan
Pranala luar: Perbaikan kesalahan ketik, Perbaikan tata bahasa, Penambahan pranala, perbaikan
Tag: Dikembalikan Menghilangkan kategori Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
Baris 45:
* [[Jaja Mihardja]] Sebagai Badrun
 
'''kritikan'''
== Pranala luar ==
* {{id icon}} [http://www.youtube.com/view_play_list?p=787958183A5D1B03 Manusia 6 juta dollar - YouTube Playlist]
{{Film Warkop}}
{{Film-indo-stub}}
 
Film Warkop satu ini terasa membosankan karena muatan komedinya yang tak bisa mengimbangi konsep canggih (high-concept) dari bionic seharga 6.000.000 dollar tersebut. Yang terlihat di layar adalah lawakan yang biasanya diolah Warkop (celaan dan humor fisik atau slapstick) tumpah dan dituturkan dengan lambat, seperti efek slow-motion Steve Austin atau Dono ketika beraksi memamerkan kekuatan bionic miliknya. Bahkan kadar komedi itu sampai menutupi keistimewaan dari kekuatan super Dono, yang karakternya di film ini sebenarnya tampak dimaksudkan untuk menjadi komikal.
[[Kategori:Film Indonesia tahun 1981]]
 
[[Kategori:Film fiksi ilmiah Indonesia]]
Memang, dalam filmnya yang lain, Warkop kerap melemparkan lawakan ke sana-sini tanpa ingin diikat oleh satu tema atau wacana. Lawakan-lawakan itu disebar tanpa punya satu benang merah yang jelas dengan cerita. Tak utuh, yang penting lucu. Efeknya, plot pun selalu dikorbankan. Begitu pula yang terjadi dalam Manusia 6.000.000 Dollar. Hanya saja kali ini Ali Shahab dan Warkop tampak kadung terbebani dengan kisah fiksi-ilmiah The Six Million Dollar Man. Hasilnya: komedi yang lemah dibandingkan film Warkop lainnya akibat penuturan humor yang bertele-tele, ritme lambat, dan karakter komikal yang gagal.
 
Selama tumbuh-kembangnya, Warkop DKI dapat tenar di masyarakat karena dibesarkan di panggung. Dan sebagai pelawak panggung, mereka mempunyai ciri-ciri khas yang kemudian berkembang lagi ketika melawak di film: materi humor cerdas yang disampaikan lewat celaan, slapstick (humor fisik) dan komedi situasi, serta mampu menyambungkannya dengan kondisi atau masalah sosial. Sedangkan yang muncul dalam grup pelawak sekarang, mulai dari Extravaganza sampai Opera Van Java, hanyalah menjual celaan dan slapstick belaka.
 
 
Keadaan Sosial
 
Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Ali Shahab dan Warkop tetap berusaha menyentil keadaan sosial dengan subtil dan bijak. Salah satunya, yaitu saat justru kelompok detektif ini yang dipilih oleh Don Showbiz untuk menyelamatkan Rita. Padahal di sepanjang film tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa kelompok detektif ini terafiliasi dengan kepolisian. Terlepas dari ancaman komplotan penculik maupun kehadiran Dono yang punya kekuatan super dalam kelompok detektif itu, muncul pertanyaan mengapa Don Showbiz tak langsung meminta bantuan kepada polisi? Toh, polisi mempunyai kesatuan reserse sendiri. Bagian cerita ini bisa saja dimaknai tentang lemahnya tingkat kepercayaan kepada aparat keamanan yang resmi.
 
Sindiran halus sekaligus jenaka dari Ali Shahab dan Warkop bukan cuma itu. Pada sebuah adegan di ujung film, dengan masih bernada bijak, Kasino menolak menerima uang sebagai tanda terima kasih dari Don Showbiz. Ia malah menyarankan uang itu disumbangkan kepada Tuyul (bocah yang membantu mengungkap kasus penculikan Rita) dan adik-adiknya yang berjumlah belasan untuk biaya sekolah. Ada sampiran tentang persoalan kemiskinan di sini. Masalah sosial ini memang selalu hidup di setiap zaman Indonesia.
 
Kemiskinan jadi isu yang menarik pada tahun 1981, tahun film ini diproduksi, karena kota Jakarta memang sedang terbelah. Di satu sisi, ada wajah kota yang sangat modern dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Di sisi yang bersebelahan langsung dengan kemodernan itu, ada wajah kampung yang masyarakatnya masih harus pinjam uang dari tetangganya demi menanak sebakul nasi. Kondisi kehidupan kota yang ironis tersebut sempat digambarkan dengan baik oleh Sjuman Djaya dalam Si Doel Anak Modern (1976).
 
Dalam ingatan dan catatan sejarah, Jakarta, terutama penduduk kalangan menengah atasnya, memang sedang menikmati kemakmuran berkat ledakan ekonomi yang berlangsung pada medio dekade 1970 hingga tahun 1980-an. Arus modal asing mulai menderas saat itu, apalagi kemudian diikuti oleh imbas positif dari kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian dalam negeri akibat akibat Perang Teluk pada tahun 1980-an. Lewat ludesnya tiket konser Rita Aduhai Merdu Banget, Manusia 6.000.000 Dollar juga tampak ingin menggambarkan kesejahteraan ekonomi dan euforia dari para penduduk kelas menengah di Jakarta. Kondisi ini sesungguhnya sekarang juga terjadi di kota-kota besar Indonesia, ketika tiket-tiket konser musisi asing laku dibeli masyarakat kelas menengah kita.
 
Pada akhirnya, akibat kemajuan ekonomi pada akhir dekade 1970-an dan 1980-an, pembangunan di Jakarta pun semakin pesat. Sayangnya, kemiskinan juga terus menghinggapi masyarakat yang tak mampu bersaing dan beradaptasi dengan perubahan zaman tersebut. Beriringan dengan langgengnya kemiskinan di kota besar yang modern, maka akan terus muncul juga tindak kejahatannya. Manusia 6.000.000 Dollar pun menampilkan kriminalitas tersebut dalam adegan-adegan di awal film dengan cara yang hiperbolis, tapi sekaligus juga sadar tentang isu kelas dan prasangka terhadap etnis tertentu. Ali Shahab menunjukkannya lewat dua adegan tindak kejahatan di awal film. Kedua korbannya adalah penduduk etnis Cina.
 
 
 
 
Home Karya
MANUSIA 6.000.000 DOLLAR: SEBATAS PARODI DAN TRANSLASI JUDUL
ANGGA RULIANTO·27 MARET 2012
KARYA
RETROSPEKSI
6 MINS READ5787 VIEWS
manusia-6.000.000-dollar-1981_highlight
 
Uang berjumlah enam juta dollar akan terus terbilang mahal di Indonesia, apalagi jika dikonversikan dengan kurs terbaru. Namun pada tahun 1981, sutradara-penulis skenario Ali Shahab dan Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) sudah berani mengubah jumlah uang segitu besar menjadi banyolan-banyolan lewat remake kisah serial televisi legendaris The Six Million Dollar Man. Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Warkop tak terlalu peduli dengan kekuatan super dari organ tangan dan kaki bionic (biology electronic) yang mahal dan berdesain rumit tersebut. Mereka lebih bersemangat untuk bercanda ria seperti yang selama ini mereka lakukan.
 
Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Ali Shahab dan Warkop sebenarnya hanya menerjemahkan mentah-mentah dari judul serial yang populer di dekade 1970-an ini. Tidak mengherankan apabila terasa ada niatan ambisius untuk menerapkan ulang elemen-elemen yang unggul dari The Six Million Dollar Man pada masanya, seperti kisah spionase, aksi kekuatan super, efek spesial, slow-motion, sampai musik latar yang sama.
 
Ambisius sendiri adalah kata yang terlalu berat untuk disematkan kepada Warkop. Pembuat film ini pun menyadari bahwa kisah bergenre fiksi-ilmiah dalam The Six Million Dollar Man bukanlah area bermain-main yang cocok bagi Warkop. Makanya humor dengan materi lokal gaya Warkop DKI disebar sepanjang film untuk dipadu-padankan dengan elemen-elemen unggul tadi. Ada kalanya berhasil, tapi sayang lebih sering gagalnya.
 
Panggung untuk Dono
 
Padu-padan materi humor lokal dengan elemen-elemen unggul yang berhasil di film ini terdapat pada awal kisah, ketika Dono ditimpa kecelakaan hebat yang membuat kaki dan tangannya diamputasi lalu diganti dengan organ bionic. Jika astronot Steve Austin akhirnya menjadi manusia 6.000.000 dollar versi asli karena mengalami kecelakaan pesawat, maka latar belakang peristiwa tersebut terlalu canggih untuk diterapkan kepada Dono—yang dalam film-film Warkop sebelumnya kerap dicela berwajah serupa bemo oleh Kasino dan Indro.
 
Walhasil, demi komedi di film ini, Dono pun lagi-lagi harus sial. Ia dihantam puluhan bemo sewaktu sedang mengejar pencopet. Menonton adegan tersebut memang tak sampai membuat tawa terbahak-bahak. Namun karena unsur humor yang terkandung di adegan ini ditorehkan dengan cara yang agak subtil, bolehlah adegan ini dibilang jenaka dan cerdas.
 
Selanjutnya tentu sudah bisa ditebak. Dono direparasi atas permintaan Kasino, pimpinan kelompok detektif. Bagi sang bos, Dono adalah anggota tim yang paling berharga. Absennya Dono akan membuat tim detektif pincang dan sulit menangkap bandit-bandit di ibukota. Dalam ansambel detektif ini, strata Dono memang ditaruh di paling atas, istimewa, dan punya jalan pikiran paling tokcer. Sebutannya saja Spion 6.000.000. Bandingkan dengan Indro yang disebut Spion 6.000 dan Dorman (Dorman Borisman) menjadi Spion 600.
 
Sayangnya Ali Shahab cukup pelit memberikan aksi-aksi komedi yang membuktikan keistimewaan Dono dalam memberantas tindak kejahatan, kecuali berkali-kali menampilkan Dono mampu membuka botol minuman dengan giginya. Penonton malah disodori kekonyolan-kekonyolan Kasino dan Dorman yang sering tak becus dalam bertugas. Itu pun dengan cara tutur dan banyolan yang menyia-nyiakan durasi.
 
Si manusia 6.000.000 dollar dari Indonesia mulai betul-betul unjuk gigi ketika biduan cantik yang sedang naik daun, Rita Aduhai Merdu Banget (Eva Arnaz), diculik menjelang konser tunggalnya. Komplotan penculik pun melarang Don Showbiz (A. Hamid Arief) menghubungi polisi. Produser dan promotor konser Rita ini kontan kalang kabut. Ia lalu meminta tolong Kasino untuk menerjunkan tim detektifnya. Lagi-lagi dengan penuturan yang bertele-tele, tim detektif ini akhirnya berhasil membekuk komplotan penculik.
 
Tak Berimbang
 
Film Warkop satu ini terasa membosankan karena muatan komedinya yang tak bisa mengimbangi konsep canggih (high-concept) dari bionic seharga 6.000.000 dollar tersebut. Yang terlihat di layar adalah lawakan yang biasanya diolah Warkop (celaan dan humor fisik atau slapstick) tumpah dan dituturkan dengan lambat, seperti efek slow-motion Steve Austin atau Dono ketika beraksi memamerkan kekuatan bionic miliknya. Bahkan kadar komedi itu sampai menutupi keistimewaan dari kekuatan super Dono, yang karakternya di film ini sebenarnya tampak dimaksudkan untuk menjadi komikal.
 
Memang, dalam filmnya yang lain, Warkop kerap melemparkan lawakan ke sana-sini tanpa ingin diikat oleh satu tema atau wacana. Lawakan-lawakan itu disebar tanpa punya satu benang merah yang jelas dengan cerita. Tak utuh, yang penting lucu. Efeknya, plot pun selalu dikorbankan. Begitu pula yang terjadi dalam Manusia 6.000.000 Dollar. Hanya saja kali ini Ali Shahab dan Warkop tampak kadung terbebani dengan kisah fiksi-ilmiah The Six Million Dollar Man. Hasilnya: komedi yang lemah dibandingkan film Warkop lainnya akibat penuturan humor yang bertele-tele, ritme lambat, dan karakter komikal yang gagal.
 
Selama tumbuh-kembangnya, Warkop DKI dapat tenar di masyarakat karena dibesarkan di panggung. Dan sebagai pelawak panggung, mereka mempunyai ciri-ciri khas yang kemudian berkembang lagi ketika melawak di film: materi humor cerdas yang disampaikan lewat celaan, slapstick (humor fisik) dan komedi situasi, serta mampu menyambungkannya dengan kondisi atau masalah sosial. Sedangkan yang muncul dalam grup pelawak sekarang, mulai dari Extravaganza sampai Opera Van Java, hanyalah menjual celaan dan slapstick belaka.
 
Keadaan Sosial
 
Dalam Manusia 6.000.000 Dollar, Ali Shahab dan Warkop tetap berusaha menyentil keadaan sosial dengan subtil dan bijak. Salah satunya, yaitu saat justru kelompok detektif ini yang dipilih oleh Don Showbiz untuk menyelamatkan Rita. Padahal di sepanjang film tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa kelompok detektif ini terafiliasi dengan kepolisian. Terlepas dari ancaman komplotan penculik maupun kehadiran Dono yang punya kekuatan super dalam kelompok detektif itu, muncul pertanyaan mengapa Don Showbiz tak langsung meminta bantuan kepada polisi? Toh, polisi mempunyai kesatuan reserse sendiri. Bagian cerita ini bisa saja dimaknai tentang lemahnya tingkat kepercayaan kepada aparat keamanan yang resmi.
 
Sindiran halus sekaligus jenaka dari Ali Shahab dan Warkop bukan cuma itu. Pada sebuah adegan di ujung film, dengan masih bernada bijak, Kasino menolak menerima uang sebagai tanda terima kasih dari Don Showbiz. Ia malah menyarankan uang itu disumbangkan kepada Tuyul (bocah yang membantu mengungkap kasus penculikan Rita) dan adik-adiknya yang berjumlah belasan untuk biaya sekolah. Ada sampiran tentang persoalan kemiskinan di sini. Masalah sosial ini memang selalu hidup di setiap zaman Indonesia.
 
Kemiskinan jadi isu yang menarik pada tahun 1981, tahun film ini diproduksi, karena kota Jakarta memang sedang terbelah. Di satu sisi, ada wajah kota yang sangat modern dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Di sisi yang bersebelahan langsung dengan kemodernan itu, ada wajah kampung yang masyarakatnya masih harus pinjam uang dari tetangganya demi menanak sebakul nasi. Kondisi kehidupan kota yang ironis tersebut sempat digambarkan dengan baik oleh Sjuman Djaya dalam Si Doel Anak Modern (1976).
 
Dalam ingatan dan catatan sejarah, Jakarta, terutama penduduk kalangan menengah atasnya, memang sedang menikmati kemakmuran berkat ledakan ekonomi yang berlangsung pada medio dekade 1970 hingga tahun 1980-an. Arus modal asing mulai menderas saat itu, apalagi kemudian diikuti oleh imbas positif dari kenaikan harga minyak dunia bagi perekonomian dalam negeri akibat akibat Perang Teluk pada tahun 1980-an. Lewat ludesnya tiket konser Rita Aduhai Merdu Banget, Manusia 6.000.000 Dollar juga tampak ingin menggambarkan kesejahteraan ekonomi dan euforia dari para penduduk kelas menengah di Jakarta. Kondisi ini sesungguhnya sekarang juga terjadi di kota-kota besar Indonesia, ketika tiket-tiket konser musisi asing laku dibeli masyarakat kelas menengah kita.
 
Pada akhirnya, akibat kemajuan ekonomi pada akhir dekade 1970-an dan 1980-an, pembangunan di Jakarta pun semakin pesat. Sayangnya, kemiskinan juga terus menghinggapi masyarakat yang tak mampu bersaing dan beradaptasi dengan perubahan zaman tersebut. Beriringan dengan langgengnya kemiskinan di kota besar yang modern, maka akan terus muncul juga tindak kejahatannya. Manusia 6.000.000 Dollar pun menampilkan kriminalitas tersebut dalam adegan-adegan di awal film dengan cara yang hiperbolis, tapi sekaligus juga sadar tentang isu kelas dan prasangka terhadap etnis tertentu. Ali Shahab menunjukkannya lewat dua adegan tindak kejahatan di awal film. Kedua korbannya adalah penduduk etnis Cina.
 
Parodi
 
Ali Shahab dan Warkop DKI memang tak sekadar membanyol di film remake ini. Mereka juga telah menciptakan parodi yang sesuai dengan semangat zamannya. Di dalam parodi selalu memuat sindiran, plesetan, atau lelucon, dan memiliki tema percakapan yang bersifat otokritik maupun kritik dengan penuh canda untuk menertawakan diri sendiri. Parodi juga bisa dipandang sebagai laku yang subversif maupun konservatif. Kritikus sastra Linda Hutcheon bilang bahwa walaupun seringkali parodi memiliki implikasi ideologis dan sosial, tapi parodi juga tidak dituntut untuk mengusung masalah moral dan sosial serta bertujuan amelioratif (bersifat memperbaiki). Itulah sebabnya Indro dan Dorman akhirnya malah kecele akibat ditipu habis-habisan oleh penjual film dan buku porno di film ini.
 
Manusia 6.000.000 Dollar jelas tidak sampai pada level yang subversif, sehingga tak sampai menimbulkan implikasi ideologis maupun sosial. Parodi yang disuguhkan Ali Shahab dan Warkop DKI lewat lawakan cela-mencela maupun slapstick itu pada dasarnya untuk menertawakan diri sendiri dengan tujuan agar kita yang menonton ikut introspeksi. Dalam hal ini, meskipun dengan tutur lawakan yang bertele-tele, Warkop memang masih jagonya. Sampai sekarang, kita belum menemukan penerus mereka.