Keadilan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Islam pada]] awalnya lebih dari sekedarsekadar gerakan relijius,religius Islamdan juga merupakan gerakan ekonomi. IslamAgama ini dengan kitankitab sucinya, [[Al-Qur'an|Al-Quran]], sangat menentang [[struktur sosial]] yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Kota Mekah[[Makkah]] waktu itu sebagai tempat asal mula Islam, dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia. Dari Mekah,Islam lantas Islam menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama [[Agama Yahudi|Yahudi]], namuntetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat [[muslim]] untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep [[ritual]], tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.
 
Pemerintahan Islam sepeninggal [[Muhammad]] bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah ''empty shell'' (kerangka yang kosong). [[Kekhalifahan Umayyah]] dan [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi [[takwa]] menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap [[saleh]] adalah mereka yang mengajarkan [[salat]], membayar [[zakat]], dan menunaikan [[haji]]. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.
Bagi orang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan, “kata Al-Qur’an. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orang-orang yang beriman ! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah tasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada taqwa.”
 
Selama [[Kekhalifahan Utsmaniyah]], khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi kepada segelintir orang. Seiring hal itu, Islam mulai kehilangan semangat karena para pemimpinnya terlena oleh kemakmuran. Melihat hal ini, seorang sahabat nabi bernama [[Abu Dzar Al-Ghifari]], memprotes kebijakan tersebut. Protesnya yang didasarkan kepada ayat Al-Qur’an secara tegas mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Ayat ini dikenal dengan ''ayah-e-kanz'' (ayat tentang penumpukan harta), yaitu Al-Qur'an [[Surah At-Taubah]] ayat ke-34–35.
Kita lihat bahwa Allah menyuruh berbuat adil dan kebaikan, juga disebutkan bahwa orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun pada musuhnya, dan agar tetap memegang keadilan, serta lebih dari itu Al-Qur’an menyatakan bahwa keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Al-Qur’an menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari taqwa. Dengan kata lain, taqwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritualistik, namun juga secara integral terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi. Sangat disayangkan bahwa pemerintahan Islam sepeninggal Nabi, yakni pemerintah dinastik, mwenghancurkan struktur sosial yang adil yang sangat ditekankan dalam Islam dan kemudian segera membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, namun sekarang yang tinggal hanyalah sebuah kerangka yang kosong (empty shell).
 
== Norma ==
Pemerintahan Umayyah dan Abbasiah yang menindas benar-benar mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi taqwa menjadi sekedar konsep ritualistik. Orang yang dianggap sholeh adalah mereka yang mengajarkan sholat, membayar zakat dan menunaikan haji, namun kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosio-politik dan sosio-ekonomi. Dalam sejarah Islam, berkuasanya pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan proses yang disuarakan dengan keras, dan prosesnya itu didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya keadilan. Selama kekhalifahan Utsman, khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi pada segelintir orang, dan seiring dengan itu Islam mulai kehilangan semangat, karena para pemimpinnya terlelap oleh kemakmuran. Melihat hal ini, seorang sahabat Nabi yang sangat jujur dan terhormat, Abu Dharr, memprotes kebijakan Utsman tersebut. Protesnya yang didasarkan pada ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Ayat ini dikenal dengan ayah-e-kanz (ayat tentang penumpukan harta). Disebutkan, “Dan orang yang menimbun emas dan perak dan tiada menafkahkannya di jalan Allah, beritahulah mereka tentang siksaan yang pedih menyakitkan. Pada hari itu, emas dan perak mereka dipanaskan dalam api neraka, dibakar dengan dahi-dahi mereka, sisi-sisi dan punggungnya. Dikatakan pada mereka, “Inilah harta yang kamu timbun bagi dirimu. Maka rasakan olehmu harta yang kamu simpan itu.”
Bagi orang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran Islam yang sangat pokok. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat Islam untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. “Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan, “kata Al-Qur’an. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orang-orang yang beriman ! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah tasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada taqwa.”
 
Tulisan ini tidak bertujuan mengkaji ulang secara lengkap nilai-nilai ideal Islam dan kehidupan umatnya, karena yang kita butuhkan adalah memancarkan kembali cahaya keadilan dalam Islam. Dengan demikian tersibaklah makna Islam yang sebenarnya, yakni sebagaimana awal mula kemunculannya. Selanjutnya, di sini juga akan dipaparkan secara singkat bagaimana struktur kehidupan modern yang menindas dan bagaimana teologi Islam dapat menyediakan semangat liberatif untuk mengentaskan harkat kemanusiaan dari struktur tersebut.
 
Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah ‘adl dan qist. Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna ‘distribusi, angsuran, jarak yang merata’, dan juga ‘keadilan, kejujuran dan kewajaran’. Taqassata, slah satu kata turunannya, juga bermakna ‘distribusi yang merata bagi masyarakat’. Dan qista, kata turunan lainnya, berarti ;keseimbangan berat’. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna ‘distribusi yang merata’, termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.