Banyak diantara orang Karo yang tidak ingin dirinya disebut sebagai bagian dari [[Suku Batak|Batak]]. Mereka berpendapat bahwa dari asal usul nenek moyang orang Karo saja sudah berbeda dari suku Batak, selain itu budaya dan bahasa Karo juga diyakini berbeda dari Batak. Embel-embel "Batak" diyakini mereka merupakan stereotip yang dimunculkan pada masa kolonial [[Belanda]], dimana suku bangsa non-[[Melayu]] yang ada di pesisir dikategorikan sebagai suku Batak yang bermukim di dataran tinggi/pegunungan.<ref>{{Cite web |url=https://sorasirulo.com/2017/11/23/pernyataan-karo-bukan-batak-di-kota-medan/ |title=Salinan arsip |access-date=2018-08-22 |archive-date=2018-08-22 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180822213845/https://sorasirulo.com/2017/11/23/pernyataan-karo-bukan-batak-di-kota-medan/ |dead-url=yes }}</ref>
Pernyataan tersebut memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, terutama di masyarakat [[Suku Batak]]. Walaupun Karo berdiri sebagai suku sendiri tetapi suku Karo serumpun dengan suku Batak yaitu dengan suku Batak Simalungun, Suku Batak Toba, khususnya suku Batak Pakpak. Karena dari segi budaya, bahasa, bahkan marga-marga beberapa ada yang mirip bahkan sama atau ada sebagian marga yang se-trah atau ada kaitannya/hubungan dengan marga Batak, hal ini bisa dilihat karena mereka juga memiliki wilayah geografis yang berdekatan. Bahkan aksara Batak juga sangat mempengaruhi Karo, orang Karo sendiri menggunakan surat Batak sebagai aksaranya karena sudah terpengaruh sejak lama dan berkembang disana. Huruf Batak awal mulanya berkembang di wilayah Tapanuli bagian selatan lebih tepatnya wilayah Angkola & Mandailing lalu kemudian menyebar ke Toba-Samosir lalu menyebar ke wilayah Simalungun dan wilayah Pakpak-Dairi 2 suku Batak ini (Batak Simalungun & Batak Dairi) menjadi penerima terakhir. Karena wilayah keduanya yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan wilayah suku Karo maka menyebar juga ke wilayah Karo. Dan akhirnya Karo menjadi suku penerima terakhir surat Batak setelah suku-suku Batak itu tersendiri, di Tanah Karo sendiri penyebutan aksara Batak disebut Surat Si Siwa-siwa/Surat Aru/Haru setelah munculnya kerajaan Karo yakni kerajaan Haru/Aru. Karena pengaruh Karo saat itu juga kuat pada wilayah sekitarnya seperti seni musik Batak Simalungun yang mirip seperti seni musik Karo serta suku Pakpak juga terpengaruh sedikit oleh budaya Karo bahkan bahasa dan marganya juga, mereka beberapa saling berkaitan. Pada dasarnya bahasa Batak Pakpak tak jauh beda pada bahasa Batak umumnya / lainnya seperti Batak Toba dan Batak Simalungun, tetapi bahasa Batak Pakpak memiliki beberapa kemiripan serta persamaan dengan bahasa Karo. Bahasa Karo juga punya sedikit kemiripan / persamaan dengan bahasa Batak (khususnya Simalungun) bahkan ada marga-marga yang berkaitan. Batak Simalungun juga terpengaruh sedikit bahasa Karo. Jadi ada beberapa kosakata/bahasa yang sama atau mirip, tak heran karena secara geografis juga mereka berdekatan dan berbatasan sama seperti wilayah orang Batak Pakpak/Dairi yang dekat dengan wilayah Karo, Wilayah Singkil di Aceh bahkan wilayah Batak pada umumnya yaitu daerah Tapanuli serta sekitaran Tapanuli dan sekitaran [[Danau Toba]]. Tak sampai situ saja, bahkan suku [[Melayu Deli]] ada sedikit kosakata yang sama/mirip dengan bahasa Karo. Ada juga dari mereka yang merupakan keturunan dari Karo, karena kesultanan Deli sendiri beberapa Datuk pendirinya adalah orang Karo yang sudah masuk Islam dan sudah menjadi bangsawan Melayu maka diberi gelar Datuk. Itulah karena pengaruh Karo sangatlah luas dan berpengaruh kerajaan Haru wilayah kekuasaannya juga sampai ke Riau, kerajaan Haru juga merupakan kerajaan terbesar di [[Sumatra Utara]] pada masa itu. [[Kota Medan]] juga didirikan oleh bangsawan Karo yakni [[Guru Patimpus Sembiring Pelawi]]. Orang Karo juga menjadi penduduk asli kota Medan juga, setelah orang Melayu/Suku Melayu Deli karena didirikan oleh orang bersuku Karo.