Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 2:
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskusi mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.
==
Filsafat yang dikenal dengan istilah filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia perennis'') ini adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama, yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat ini juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu, tertinggi, dan universal.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
Secara etimologis, penggunaan istilah "perenialis" berasal dari kata bahasa Latin, ''perennis'', yang berarti kekal, selama-lamanya, abadi. Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai “''Imago Dei''” (pandangan Kristen), ''Dharma'' (dalam tradisi Hindu dan Budha) atau ''Tao'' dalam pandangan Konfusianisme.
Filsafat perenial berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua agama yang muncul dari Yang Satu, pada prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena pluralisme agama secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini juga menelusuri akar-akar kesadaran religoisitas seseorang atau sekelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman (Komaruddin Hidayat dan Muhamad W. Nafis, 2003: 39-40).
Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial. Namun, secara holistik, perenialisme tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan Realitas Absolut.
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah paradigma tertutup tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara pelbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian pada dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus yang diilhami oleh Yang Kudus.
Apakah ratio manusia yang terbatas dapat memahami Realitas Absolut yang tidak terbatas? Dapatkah dalam keterpecahannya manusia memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang perbedaan pandangan yang bisa menimbulkan percecokan? Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apapun tidak pernah mencapai finalitas atau kesempurnaan.
Radikalisasi agama seringkali disebabkan oleh fanatisme agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik. Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam ideologi tertentu yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap pelbagai perubahan sosial yang terjadi.
Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari Realitas Absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan yang imanen sekaligun transenden dengan Wujud Tertinggi sekaligus dengan sesama manusia.
Dalam keterbatasan ratio, manusia hanya mampu memahami hakikat Tuhan tanpa bisa mendefinisikan eksistensiNya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari Realitas Absolut. Akan tetapi, menurut kaum perenialis, manusia memiliki dalam dirinya suatu kerinduan yang tetap eksis untuk terus menerus mengarahkan diri pada Tuhan. Makhluk rasional memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi (emanasi).Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Allah sendiri.
Dalam kaitan dengan pengalaman beragama, kultur unik doktrin metafisis dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas real yang dihadapi oleh manusia. Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Allah untuk membenarkan tindakan anarkis yang dilakukan.
Selain itu, ada kecurigaan dari para pemikir lainnya bahwa konsepsi perenialis sering bisa secara sengaja dipakai untuk mengembangkan sebuah inklusivisme yang sepihak (Emanuel Wora, 2006: 136). Akan tetapi, penulis mengamini peran filsafat perenialis yang membawa arah baru bagi perkembangan pengalaman keagamaan jika setiap orang meyadari diri sebagai subjek yang imanen sekaligus yang transenden sehingga radikalisme agama dalam bentuk apapun dapat dihindari.
Setiap orang beragama mesti memiliki cara pandang agama secara kontekstual yang bersifat adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial tanpa merelatifkan nilai-nilai luhur agama yang dianut. Psikologi primordialini menuntut tugas dan tanggung jawab dari manusia untuk mengakui manusia lain sebagai tuntutan etis yang mesti ada dalam setiap manusia.
Pengetahuan filsafat ini merekonstruksi seluruh eksistensi yang ada di alam semesta dengan realitas absolut.<ref>{{Cite web|last=Nurchaliza|first=Angelina|date=19 April 2021|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://kabardamai.id/perenialisme-agama-agama-2/|website=Kabar Damai|access-date=5 Juli 2021}}</ref> Hal ini dikarenakan kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta pada dasarnya bersumber dari realitas ilahi. Sejak era [[Plotinos|Plotinus]], dalam bukunya berjudul ''The Six Eneals'', realisasi pengetahuan dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui ''soul/spirit'' (intelek), yang "jalannya" pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai bersumber dari Tuhan. Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik yang dikenal dengan berbagai konsep.
|