Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 11:
 
== Substansi ==
Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apa pun tidak pernah mencapai final atau kesempurnaan.{{sfnp|Armstrong|2019||p=27–29|ps=}} Radikalisasi agama di sisi lain seringkali disebabkan oleh [[fanatisme]] agama yang sempit dan terdistorsi oleh legalisme agama yang antagonistik.{{sfnp|Engineer|1999|287–288|p=|ps=}} Ketertindasan yang dialami manusia mendistorsi peran agama yang terperangkap dalam [[ideologi]] tertentu, yang hendak membahasakan universalitas agama dalam bahasa agamaku, ''agama saya''.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}}
 
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku, serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari realitas absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan imanen sekaligus transenden, dengan wujud tertinggi di antara sesama manusia.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40|ps=}}
 
Dalam keterbatasan rasio, manusia hanya mampu memahami hakikat [[Tuhan]] tanpa bisa mendefinisikan eksistensi-Nya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari realitas absolut.{{sfnp|Davies|2012|1–3|p=|ps=}} Namun, menurutMenurut kaum perenialis, manusia memiliki suatu kerinduan dalam dirinya yang tetap eksis untuk terus-menerus mengarahkan diri kepada Tuhan.{{sfnp|Darwin|2015||p=36|ps=}} Manusia adalah makhluk rasional yang memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi ([[emanasi]]). Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Tuhan sendiri.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40–41|ps=}}
 
Dalam kaitannya dengan pengalaman beragama, doktrin metafisika dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas riil yang dihadapi oleh manusia.{{sfnp|Davies|2012|303–304|p=|ps=}} Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Tuhan untuk membenarkan tindakan [[anarkis]] yang dilakukan. Selain itu, ada kecurigaan dari para pemikir lainnya bahwa konsepsi perenialis sering secara sengaja dipakai untuk mengembangkan sebuah [[inklusivisme]] yang sepihak. Namun, filsafat ini sebenarnya berperan membawa arah baru bagi perkembangan pengalaman keagamaan jika setiap orang meyadari diri sebagai subjek yang imanen maupun transenden, sehingga radikalisme agama dalam bentuk apa pun dapat dihindari.{{sfnp|Wora|2006||p=136|ps=}}
 
Setiap orang beragama seharusnya memiliki cara pandang agama secara kontekstual yang bersifat adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial, tanpa merelatifkan nilai-nilai luhur agama yang dianut. Psikologi primordial ini menuntut tugas dan tanggung jawab dari manusia untuk mengakui manusia lain sebagai tuntutan etis yang mesti ada dalam setiap manusia.{{sfnp|Wora|2006||p=136–137|ps=}}
Baris 31:
Dengan demikian, hakikat dari agama perenial adalah "mengikatkan manusia dengan Tuhannya". Kata ini sebenarnya biasa dan kerap didengar, tetapi menjadi verbal karena tidak adanya kesadaran perenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah demi kebajikannya sendiri. ''Religion'' berasal dari kata ''religio'', yang berarti ''to bind with God''. Istilah ini hakikatnya mengatasi aspek institusional dari agama, termasuk komunitas, sistem simbol, dan ritus pengalaman religius yang kini telah menjadi arti sempit dari agama itu sendiri.{{sfnp|Rachman|2001||p=88|ps=}}
 
Berdasarkan pemahaman tersebut, memungkinkan manusia untuk mencapai "kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang digunakan Schuon adalah ''the transcendent unity of religion''. Namun, yang harus dipahami pula adalah kesatuan agama-agama ini hanya berada dalam level “esoterik” (bahasa yang digunakan oleh [[Huston Smith]]), “esensial” (istilah yang digunakan oleh Baghavas Das), dan “transenden” (istilah yang digunakan oleh Schuon dan [[Sayyed Hossein Nashr]]). Faktor inilah yang menyebabkan kesatuan agama-agama tidak terjalin dalam ranah eksoterisme (lahiriah). Hal ini kerap disalahpahami oleh kalangan atau kelompok yang selalu mengkritik konsep pluralisme agama yang dipahaminya sebagai kesamaan atau penyamaan agama-agama, termasuk dalam hal ajaran, syariat, atau ritualnya.{{sfnp|Engineer|1999|201–203|p=|ps=}} Jadi, yang menandakan adanya kesatuan agama-agama itu "hanya" dalam level esensi atau subtansi ajaran, bukan dalam level tata cara ibadah, syariat, atau [[minhaj]] dalam berteologi.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=72|ps=}}
 
Apabila esoterisme adalah cahaya, setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna (sebagai agama-agama) dan berbagai “daya terang” – ada yang sangat terang, terang biasa, dan redup samar. Hal ini adalah perumusan doktrin metafisikanya, tetapi adanya aneka warna cahaya beserta “daya terangnya” tidaklah penting dari sudut pandang filsafat perenial. Ada dua alasan yang menyebabkannya, sebagaimana dikemukakan Rachman.{{sfnp|Rachman|2001||p=88–89|ps=}}