Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 29:
Apabila filsafat ini disebut dengan ''perennial religion'' berarti terdapat hakikat yang sama dalam setiap agama – dalam istilah [[sufi]] diistilahkan dengan ''religion of the heart'', meskipun terbungkus dalam wadah yang berbeda. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan [[Ramakrishna|Sri Ramakrishna]], seorang filsuf [[India]] pada abad ke-19. Dia mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, berbagai waktu, dan berbagai negeri. Semua ajaran merupakan jalan. Sesungguhnya seseorang akan mencapai Tuhan, jika dia mengikuti jalan mana pun, asalkan dengan pengabdian yang sepenuhnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=71|ps=}}
 
Dengan demikian, hakikat dari agama perenial adalah "mengikatkan manusia dengan Tuhannya".{{sfnp|Kuswanjono|2006||p=18|ps=}} Kata ini sebenarnya biasa dan kerap didengar, tetapi menjadi verbal karena tidak adanya kesadaran perenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah demi kebajikannya sendiri.{{sfnp|Pals||2011|p=234–235|ps=}} ''Religion'' berasal dari kata ''religio'', yang berarti ''to bind with God''. Istilah ini hakikatnya mengatasi aspek institusional dari agama, termasuk komunitas, sistem simbol, dan ritus pengalaman religius yang kini telah menjadi arti sempit dari agama itu sendiri.{{sfnp|Rachman|2001||p=88|ps=}}
 
Berdasarkan pemahaman tersebut, memungkinkan manusia untuk mencapai "kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang digunakan Schuon adalah ''the transcendent unity of religion''. Namun, yang harus dipahami pula adalah kesatuan agama-agama ini hanya berada dalam level “esoterik” (bahasa yang digunakan oleh [[Huston Smith]]), “esensial” (istilah yang digunakan oleh Baghavas Das), dan “transenden” (istilah yang digunakan oleh Schuon dan [[Sayyed Hossein Nashr]]). Faktor inilah yang menyebabkan kesatuan agama-agama tidak terjalin dalam ranah eksoterisme (lahiriah). Hal ini kerap disalahpahami oleh kalangan atau kelompok yang selalu mengkritik konsep pluralisme agama yang dipahaminya sebagai kesamaan atau penyamaan agama-agama, termasuk dalam hal ajaran, syariat, atau ritualnya.{{sfnp|Engineer|1999||p=201–203|ps=}} Jadi, yang menandakan adanya kesatuan agama-agama itu "hanya" dalam level esensi atau subtansi ajaran, bukan dalam level tata cara ibadah, syariat, atau [[minhaj]] dalam berteologi.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=72|ps=}}