Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
revisi
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
revisi
Baris 46:
 
=== Hak-hak Janin dalam Fikih Klasik ===
Janin merupakan salah satu tahap awal kehidupan manusia sebelum ia lahir dan menjadi [[subjek hukum]]. [[Al-Qur'an|Alquran]] telah menjelaskan bahwa manusia pertama-tama diciptakan dari tanah liat.<ref>{{Cite web|title=Sūrat al-Ḥijr (Aya 26 to 38)|url=http://dx.doi.org/10.1163/1875-3922_eqc_a340|website=Qurʾān Concordance|access-date=2021-07-07}}</ref> Setelah itu pada penciptaan selanjutnya anak manusia diciptakan secara bertahap. Tahap-tahap penciptaan tersebut meliputi tahap ''annuṭfah'', kemudian ''‘alaqah'', kemudian ''al-muḍgah'', hingga berbentuk lebih sempurna sebagai calon bayi yang lalu berkembang menjadi “makhluk lain” (''khalqan ākhar''), yaitu makhluk manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan ''insaniyah''.<ref>{{Cite journal|last=Alwi|first=Zulfahmi|date=2013-12-15|title=ABORTUS DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|journal=HUNAFA: Jurnal Studia Islamika|volume=10|issue=2|pages=293|doi=10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|issn=2355-7710}}</ref> Tahap-tahap perkembangan ini juga disebutkan oleh al-Ghazali.<ref>{{Cite journal|last=Alwi HS|first=Muhammad|last2=Hamid|first2=Nur|date=2020-01-30|title=Relasi Kelisanan Al-Qur’an dan Pancasila Dalam Upaya Menjaga dan Mengembangkan Identitas Islam Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.21580/ihya.21.1.4833|journal=International Journal Ihya' 'Ulum al-Din|volume=21|issue=1|pages=17–38|doi=10.21580/ihya.21.1.4833|issn=2580-5983}}</ref> Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) janin berarti bakal bayi (masih dalam kandungan), atau embrio setelah melebihi umur dua bulan.<ref>{{Cite book|last=Nasional.|first=Indonesia. Departemen Pendidikan|date=2008|url=http://worldcat.org/oclc/311800219|title=Kamus besar bahasa Indonesia.|publisher=Departemen Pendidikan Nasional|isbn=978-979-22-3841-9|oclc=311800219}}</ref> Janin dalam bahasa Arab berasal dari kata ''janīn'' (jamak: ''ajinnah'') secara harfiah berarti “yang terselubung atau tertutup”. Alquran menyebut janīn sebagai makhluk yang dilahirkan di dalam tubuh wanita,<ref>{{Cite journal|last=Ulya|first=Nurun Najmatul|date=2020-12-25|title=Kajian terhadap Interpretasi Nicolai Sinai dalam An Interpretation of Sura>h al-Najm (QS.53)|url=http://dx.doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|journal=Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits|volume=14|issue=2|pages=179–204|doi=10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|issn=2714-7916}}</ref> terlepas dari tahap perkembangannya. Dalam bahasa Inggris, janin disebut ''[[Janin|fetus]]'' yang artinya [[vertebrata]] yang belum lahir atau belum menetas khususnya setelah mencapai struktur dasar dari jenisnya.<ref>{{Cite web|title=Definition of FETUS|url=https://www.merriam-webster.com/dictionary/fetus|website=www.merriam-webster.com|language=en|access-date=2021-07-07}}</ref> Berdasarkan [[Ilmu Kedokteran|ilmu kedokteran]], janin telah terbentuk pada usia kehamilan delapan minggu. Pada usia ini barulah janin menunjukkan tanda vital manusia secara lengkap.<ref>{{Cite journal|date=1984-05|title=Intervention and reflection: Basic issues medical ethics2nd ed. By Ronald Munson. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1983. xvii + 589 pages. $23.95, hardcover|url=http://dx.doi.org/10.1016/0091-2182(84)90223-4|journal=Journal of Nurse-Midwifery|volume=29|issue=3|pages=223–226|doi=10.1016/0091-2182(84)90223-4|issn=0091-2182}}</ref> Sebelum berbentuk janin seutuhnya terlebih dahulu ia menjadi [[zigot]], [[blastokista]], dan [[Embrio|embrio.]] <ref>{{Cite journal|last=Heizer|first=Ruth B.|date=1983-12|title=Book Review: Birth and Death: Bioethical Decision-Making|url=http://dx.doi.org/10.1177/003463738308000414|journal=Review & Expositor|volume=80|issue=4|pages=609–610|doi=10.1177/003463738308000414|issn=0034-6373}}</ref> Berdasarkan [[perspektif]] hukum Islam, janin dilihat sebagai tahapan awal sebuah kehidupan manusia. Namun demikian, apakah janin yang ada dalam kandungan sudah bisa dikategorikan sebagai manusia, dengan segala hak yang melekat padanya, atau ia belum bisa dikatakan sebagai manusia sehingga hak-haknya juga tidak bisa disamakan dengan manusia yang telah lahir ke dunia. Berkaitan dengan hal ini, ada banyak pendapat di kalangan [[fukaha]]. Imam [[Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i|asySyafi’i]], misalnya, memahami istilah janin sebagai sebuah simbol dari tahap akhir dari sebuah proses pembuahan sperma terhadap sel telur yang berujung pada lahirnya seorang anak kecil atau bayi dari kandungan ibunya. Sementara an-Nuwairi menyebutkan bahwa janin baru bisa disebut janin jika sudah ditiupkan ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para juris Islam pada umumnya menyatakan bahwa proses kehidupan manusia sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, yakni bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan.<ref>{{Cite web|last=Dewa|first=Ananda Dharmawan Kustia|date=2020-09-12|title=Pandangan Hukum dan Kesehatan Terhadap Aborsi dan Euthanasia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/cws2x|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Perlindungan hak-hak janin secara perspektif hukum Islam dapat diwujudkan dengan memanfaatkan asas dan kaidah fikih untuk merumuskan substansi hukum dan kemudian mentransformasikannya menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Peran hukum Islam secara materi untuk mengatur dan mengikat sejatinya ada pada berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam [[hukum pidana]], hukum keluarga, maupun hukum keperdataan lainnya.<ref>{{Cite web|last=gumanti|first=Adinda Febrian|date=2020-03-24|title=Tata peraturan perundang-undangan yang pernah ada di indonesia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/tdj8n|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan istilah khusus untuk pengertian perlindungan atas hak anak. Istilah yang mendekati adalah ''haḍānah,'' yang berarti memelihara dan mendidik anak. Selain ''haḍānah'', terdapat istilah ''al-wilāyat'' yang memiliki makna perwalian. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ''al-wilāyat'' dapat bermakna perwalian atas diri (''wilāyat ‘ala an-nafs'') dan perwalian atas harta ''(wilāyat ‘ala al-māl''). Perwalian atas diri yakni perwalian atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan mental, termasuk ''haḍānah'' di dalamnya. Sedangkan perwalian harta merupakan perwalian dalam hal pengelolaan harta benda, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, dan hutang-piutang.<ref>{{Cite journal|date=1998|title=The Concept Of Custody In Islamic Law|url=http://dx.doi.org/10.1163/026805598125826076|journal=Arab Law Quarterly|volume=13|issue=2|pages=155–177|doi=10.1163/026805598125826076|issn=0268-0556}}</ref> Secara sederhana, perbedaan antara ''haḍānah'' dan ''wilāyat'' layaknya perbedaan antara ''physical custody'' dan ''legal custody'' yang di beberapa negara bagian [[Amerika (disambiguasi)|Amerika]].<ref>{{Cite journal|last=Ibrahim|first=Ahmed Fekry|date=2015-12-14|title=The Best Interests of the Child in Pre-modern Islamic Juristic Discourse and Practice|url=http://dx.doi.org/10.5131/ajcl.2015.0026|journal=American Journal of Comparative Law|volume=63|issue=4|pages=859–891|doi=10.5131/ajcl.2015.0026|issn=0002-919X}}</ref>