Teologi pembebasan dalam Islam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
[[Teologi pembebasan]] dimulai dengan melihat kehidupan [[manusia]] di dunia dan akhirat. Teologi ini tidak menginginkan status ''quo'' yang melindungi golongan kaya ketika berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan ''establishment'' (anti kemapanan), baik kemapanan [[agama]] maupun [[politik]]. Teologi pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata [[ideologi]] yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Selain itu, teologi pembebasan juga tidak hanya mengakui satu konsep [[metafisika]] tentang [[takdir]] dalam rentang sejarah
== Konsep ==
Sebagian masyarakat memiliki pemahaman bahwa teologi tidak memberikan kebebasan kepada manusia serta bersifat spasio-temporal, padahal dalam pengertian metafisika dan di luar proses sejarah, teologi memberikan ruang yang bebas kepada manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika pembicaraan dalam teologi penuh dengan ketidakjelasan metafika dan masalah-masalah yang abstrak. Karakteristik teologi seperti ini telah memperkuat kemapanan dan mengakibatkan para teolog berpihak kepada status ''quo''. Orang-orang sampai beranggapan jika teologi semakin tidak jelas secara metafisika, cenderung akan semakin memperkuat status ''quo''. Sejauh ini, sejarah perkembangan teologi justru menguatkan anggapan tersebut.
Apabila agama masih ingin mendapat tempat di hati kelompok yang tertindas dan lemah – pemeluknya sebagian besar berasal dari kelompok ini – perlu dikembangkan teologi pembebasan. [[Karl Marx]] mengatakan agama itu candu bagi masyarakat
Doktrin politik
Dalam kutipan tersebut, Engels menggambarkan bahwa teologi Munzer lebih modern daripada teologi kaum komunis. Engels juga mengatakan bahwa khotbah-khotbah yang disampaikan Munzer menunjukkan sifat militan dan revolusioner (ibid, 113). Sehingga menurut Engels, agama mempunyai sifat potensi untuk dikembangkan menjadi kekuatan yang revolusioner dan militan.▼
▲
Semasa nabi masih hidup dan beberapa dekade sesudahnya, Islam menjadi kekuatan yang revolusioner. Para sejarawan membuktikan bahwa nabi sebagai utusan Allah menggulirkan tantangan yang membahayakan saudagar-saudagar kaya di Mekah. Saudagar-saudagar ini berasal dari suku yang berkuasa di Mekah, yaitu suku Quraisy. Mereka menyombongkan diri dan mabuk dengan kekuasaan. Mereka melanggar norma-norma kesukuan dan betul-betul tidak menghargai fakir miskin. Orang-orang miskin dan tertindas di Mekah inilah, termasuk para budak, yang pertama-tama mengikuti Nabi Muhammad SAW ketika beliau mulai menyebarkan ajaran suci Islam. Nabi sendiri seorang yatim piatu dan berasal dari keluarga miskin tetapi terhormat dari suku Quraisy.
|