Gugatan atas peran agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 5:
“Bisakah kita hidup tanpa agama?” Pertanyaan “lancang” ini keluar dari mulut [[Andre Comte Sponville|André Comte Sponville]] dalam pembukaan karyanya berjudul ''The Little Book of Atheist Spirituality''. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 14 bahasa di 14 negara. Buku ini di Indonesia sendiri diterbitkan oleh Penerbit Alvabet dengan judul ''Spiritualitas Tanpa Tuhan''.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=107|ps=}}
 
Sponville lahir di [[Paris]], [[Prancis]] pada Maret 1952. Dia dikenal sebagai pemikir [[ateisme]], tetapi mendukung nilai-nilai [[spiritualisme]]. Profesor Filsafat Sorbone yang dulunya penganut [[Katolik]] ini menyatakan bahwa ketidakpercayaan kepada Tuhan tidak menghalangi manusia memiliki roh, tidak pula harus menggunakannya. Roh manusia terlalu penting untuk hanya diserahkan kepada para [[pendeta]], [[mullah]], atau para spiritualis lainnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}}{{sfnp|Sujarwa|2001||p=45|ps=}}
 
“Tidak percaya Tuhan bukan alasan mengamputasi bagian dari kemanusiaan kita – terutama bukan bagian yang itu! Melepaskan agama bukan berarti melupakan sinyalemen ditinggalkannya kehidupan spiritualitas seseorang,” tandas Sponville.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108|ps=}}
Baris 12:
 
[[Berkas:Official Presidential portrait of Thomas Jefferson (by Rembrandt Peale, 1800)(cropped).jpg|al=|jmpl|234x234px|Thomas Jefferson meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109}}).]]
Sponville juga berkeyakinan bahwa manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, tetapi tidak bisa tanpa komune, ketaatan, atau cinta. Lebih lanjut, dia menyatakan jika manusia tidak bisa hidup tanpa spiritualitas. Spiritualitas sebenarnya dapat dipisahkan dari konsep agama dan Tuhan.{{sfnp|Pals|2011||p=107|ps=}} Hal itu tidak mereduksi hakikat kehidupan spiritual sebenarnya.{{sfnp|Davies|2012||p=46|ps=}} Namun demikian, mereka yang kritis kepada agama, bahkan mengklaim ateis, tidak perlu menolak nilai-nilai dan tradisi-tradisi kuno [[Islam]], [[Kekristenan|Kristen]], dan [[Agama Yahudi|Yahudi]]. Agama-agama ini merupakan salah satu bagian dari warisan manusia. Dengan nilai-nilainya, seseorang dapat mempertanyakan siginifikasinya bagi kebutuhan manusia dan [[alam semesta]] yang berhubungan satu dengan lainnya.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108|ps=}}
 
Pandangan Sponville ini dikenal dengan paham [[deisme]]. Deisme berasal dari kata ''deus'' ([[bahasa Latin]] yang berarti "Tuhan"). Menurut paham ini, Tuhan berada jauh dari luar alam, sedangkan ''organized religions'' (agama-agama formal) dinilai hanya menyempitkan universalitas ajaran Tuhan.{{sfnp|Armstrong|2019||p=461|ps=}} Menurut logika deisme, bentuk formal agama yang lebih berfungsi sebagai tembok-tembok pemisah, harus dirobohkan untuk menyelamatkan keluhuran dan universalitas ajaran Tuhan. Salah satu hal yang perlu dilestarikan hanya dimensi etis agama. Dengan demikian, ajaran tersebut berlaku bagi siapa saja dan kapan saja.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=108–109|ps=}}
 
Tokoh lain yang dikenal sebagai inisiator gerakan ini adalah [[Thomas Jefferson]] dan [[Albert Einstein]]. Jefferson secara tegas beriman kepada Tuhan (deisme), kepada keesaan Tuhan ([[unitarianisme]]), dan kepada kebenaran universal ([[universalisme]]). Namun, dia merasa tidak perlu mengikat diri kepada salah satu agama formal. Dia meramalkan bahwa pahamnya kelak menjadi agama seluruh umat manusia. Selain itu, dia meyakini bahwa deisme akan menggeser agama-agama formal yang ada pada dua ratus tahun lagi.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109|ps=}}
 
Deisme muncul sebagai gugatan terhadap peran lembaga agama. Dalam dunia yang semakin sekuler, agama dianggap tidak lagi sanggup mengisi kekosongan dan kebutuhan spiritual umat.{{sfnp|Fromm|2011||p=18–19|ps=}} Sebaliknya, agama justru dianggap membawa perpecahan, pemicu konflik, kekerasan, dan pertumpahan darah.{{sfnp|Armstrong|2011||p=350–351|ps=}} Masalah-masalah mendasar manusia masa kini, seperti kesehatan, perumahan, kehidupan berbangsa, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, perdamaian, dan sebagainya dianggap lebih bisa diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi. Keduanya berkembang otonom dan tidak lagi memerlukan bantuan lembaga agama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=109|ps=}}
 
== Kritik ==