Niat jahat genosida: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
Baris 55:
## Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimannya tidak sah; dan
## Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah.
#Kriminalisasi : Sejalur dengan Statuta ICTY dan ICTR, bukan saja pelaku genosida an sich yang diancam pidana, melainkan juga tindakan lain yang terkait dengan genosida. Secara lengkap, orang yang diancam pidana karena melakukan genosida meliputi : setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun bersamasama, atau yang menyuruhlakukan (Artikel 25 3 a Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong, atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 3 b Statuta Roma 1998), setiap orang yang menolong, membantu, dan menyediakan sarana sehingga terjadi genosida atau percobaan genosida (Artikel 25 3 c Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara mendorong perbuatan melibatkan genosida, atau dengan mengetahui tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 3 d Statuta Roma 1998), setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 3 e Statuta Roma 1998), setiap orang yang melakukan percobaan genosida.
#Pidana : Seperti ketentuan di dalam Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 juga secara implisit mengesampingkan kemungkinan dijatuhkannya pidana mati bagi pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan jurisdiksi ICC. Pasal 77 Statuta Roma secara tegas menyatakan sebagai bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan pelaku genosida dan kejahatan lain dalam ICC yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Dalam Pengaturan Hukum Nasional Indonesia yakni UndangUndang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pasal 7 menyebutkan, Kejahatan Genosida adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Berdasarkan pasal tersebut juga telah dijelaskan unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan kejahatan genosida.
 
== Teori Mengenai Kejahatan Genosida ==
Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam Hukum Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran ham berat dimana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi negaranya dari kejahatan tersebut :
 
# Teori Hak Asasi Manusia (HAM) : Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut Satjipto Raharjo mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.<ref>{{Cite journal|last=Sujatmoko|first=Andrey|date=2016-10-20|title=Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional|url=http://dx.doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a6|journal=PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)|volume=3|issue=2|doi=10.22304/pjih.v3n2.a6|issn=2460-1543}}</ref> Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
# Teori Tanggungjawab Negara : Hukum Internasional mengenai tanggungjawab Negara merupakan hukum internasional yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional.<ref>{{Cite journal|last=Priyatno|first=Dwidja|last2=Aridhayandi|first2=M. Rendi|date=2018-06-07|title=Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014|url=http://dx.doi.org/10.35194/jhmj.v2i2.36|journal=Jurnal Hukum Mimbar Justitia|volume=2|issue=2|pages=881|doi=10.35194/jhmj.v2i2.36|issn=2580-0906}}</ref> Tanggungjawab Negara mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara yang ada di luar teritorial negaranya.<ref>{{Cite journal|last=Sefriani|first=Sefriani|date=2011|title=KETAATAN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTI FILSAFAT HUKUM|url=http://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss3.art6|journal=JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM|volume=18|issue=3|pages=405–427|doi=10.20885/iustum.vol18.iss3.art6|issn=0854-8498}}</ref> Secara universal, tanggungjawab negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan sautu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing.<ref>{{Cite journal|last=Nugraha|first=Satria|date=2019-06-19|title=Tanggung Jawab Negara dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional Studi Kasus Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah dan Implikasinya Bagi Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.29313/aktualita.v2i1.4683|journal=Aktualita (Jurnal Hukum)|volume=2|issue=1|pages=215–232|doi=10.29313/aktualita.v2i1.4683|issn=2620-9098}}</ref> Berkenaan dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum terhadap para pelaku (bringing to justice the perpetrators) dan memberikan kompensansi atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran HAM. Pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu tersebut. Prinsip tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui (recognized) dalam hukum internasional.
 
== Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional ==
 
=== Metode Penyelesain Kasus di Lingkup Hukum Internasional ===
Dalam hal ini terdapat dua metode penyelesaian:<ref>{{Cite journal|last=Harun|first=Martin|date=2015-10-05|title=Yohanes Bambang Mulyono, Sejarah dan Penafsiran Leksionaris Versi RCL, Jakarta: Grafika KreasIndo, 2014, xv+257 hlm.|url=http://dx.doi.org/10.26551/diskursus.v14i2.53|journal=DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA|volume=14|issue=2|pages=307–310|doi=10.26551/diskursus.v14i2.53|issn=2580-1686}}</ref>
 
# Penyelesaian dengan damai, ialah ketika pihak yang bersengketa sepakat dengan penyelesaian yang bersahabat. Penanganan kasus secara damai ini dilakukan secara internal oleh negara yang bertanggungjawab dalam sengketa dan dikawal oleh PBB.
# Penyelesaian dengan paksa atau kekerasan, ialah ketika jalan keluar yang diambil dengan menggunakan kekerasan. Solusi penyelesaian ini dilakukan jika penyelesaian secara damai tidak bisa dilakukan sehingga perlu upaya secara paksa atau kekerasan dengan jalur Mahkamah Pidana Internasional.
 
=== Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar ===
Myanmar yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan Burma, terkhusus di kawasan Arakan secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik dimana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan Etnis Rohingnya memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari Bengali yang menetap di kawasan Chitaggong anggapan banyak yang menyatakan bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya kolonial Inggris. Dari sanalah kemudian sebutan imigran gelap disematkan pada Etnis Rohingnya akibat dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada yang beranggapan Etnis Rohingnya ingin mengukuhkan status kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi.
 
Adapun suku terbesar di antaranya Burma, Chin, Kachin, Arakan, Shan, Kayah, Mon, dan Karen dimana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:
 
# Etnis Burman sebanyak 50 juta orang atau 50-70% merupakan mayoritas;
# Etnis Shan 9% ;
# Etnis Karen 7%;
# Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.
 
Dimana Etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. PBB menjelaskan bahwa banyak Etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan Bangladesh jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari Etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup ICC yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.
 
Apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar ini terhadap Etnis Rohingnya merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM berat. Yang pada akhirnya anggota Kelompok Rohingnya yang mencoba bertahan mengalami perlakuan-perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi dan terus mengalami penindasan serta tidak diakuinya mereka sebagai penduduk Myanmar, sehingga menciptakan konflik yang besar di negara Myanmar yang melibatkan pemerintah Myanmar dengan Etnis Rohingnya, ini kemudian membuat Etnis Rohingnya mendapat status Stateless Person.
 
Kejahatan genosida ini sebenarnya sudah lama terjadi yang diawali dengan pembunuhan pada tahun 1938 oleh penduduk penganut Buddha terhadap Etnis Rohingnya, serta penangkapan pada Tahun 1970 secara besar-besaran terhadap Etnis Rohingnya, dan diberlakukannya undangundang kewarganegaraan pada tahun 1982 secara struktural membuat Etnis Rohingnya menjadi ilegal.
 
Perbuatan-perbuatan deskriminasi ini telah di dapatkan Etnis Rohingnya sejak pada tahun 1938 yang mengakibatkan terbunuhnya 30.000 orang Etnis Rohingnya pada tanggal 26 Juli. Dan terus berulang pada tahun 1942, 1968, 1992, serta puncaknya pada 2012, yang mana pemerintah Myanmar pada tahun 1982 meresmikan UU Burma Citizenship Law yang mendiskriminasikan Etnis Rohingnya.
 
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan untuk beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>