Niat jahat genosida: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
EDIT TEKS
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
EDIT TEKS
Baris 31:
 
Dimana Etnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. [[PBB]] menjelaskan bahwa banyak Etnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan [[Bangladesh]] jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari Etnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup [[International Chamber of Commerce|ICC]] yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.
 
Apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar ini terhadap Etnis Rohingnya merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM berat. Yang pada akhirnya anggota kelompok Rohingnya yang mencoba bertahan mengalami perlakuan-perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi dan terus mengalami penindasan serta tidak diakuinya mereka sebagai penduduk Myanmar, sehingga menciptakan konflik yang besar di negara Myanmar yang melibatkan pemerintah Myanmar dengan Etnis Rohingnya, ini kemudian membuat Etnis Rohingnya mendapat status ''Stateless Person''.
 
Kejahatan genosida ini sebenarnya sudah lama terjadi yang diawali dengan pembunuhan pada tahun 1938 oleh penduduk penganut Buddha terhadap Etnis Rohingnya, serta penangkapan pada Tahun 1970 secara besar-besaran terhadap Etnis Rohingnya, dan diberlakukannya undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 secara struktural membuat Etnis Rohingnya menjadi ilegal.
 
Perbuatan-perbuatan deskriminasi ini telah di dapatkan Etnis Rohingnya sejak pada tahun 1938 yang mengakibatkan terbunuhnya 30.000 orang Etnis Rohingnya pada tanggal 26 Juli. Dan terus berulang pada tahun 1942, 1968, 1992, serta puncaknya pada 2012, yang mana pemerintah Myanmar pada tahun 1982 meresmikan UU Burma ''Citizenship Law'' yang mendiskriminasikan Etnis Rohingnya.
 
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>
Baris 52 ⟶ 46:
Aspek mendasar lain yang perlu ditelusuri dalam RUU KUHP 2019 adalah ketentuan kejahatan genosida yang tertuang pada Pasal 598. Untuk itu, bagian ini didedikasikan untuk menguji ketepatan rumusan redaksi yang telah disediakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda halnya dengan awal kelahiran pelanggaran berat HAM lainnya, secara historis praktik kejahatan genosida telah ada bahkan sebelum istilah kejahatan genosida itu diciptakan. Hal ini kemudian mendorong [[Winston Churchill]], mantan Perdana Menteri [[Britania Raya]], mendeskripsikan kejahatan genosida sebagai suatu “kejahatan tanpa nama” atau dikenal dengan istilah “''the crime without a name''”.<ref>{{Cite journal|last=Melson|first=Robert|date=1983-03|title=Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century. By Leo Kuper. (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981. Pp. 255. $15.00.)|url=http://dx.doi.org/10.2307/1956073|journal=American Political Science Review|volume=77|issue=1|pages=243–244|doi=10.2307/1956073|issn=0003-0554}}</ref> Barulah melalui jerih payah advokasi yang dijalankan oleh [[Raphael Lemkin]] kepada perwakilan negara-negara anggota [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|PBB]] terhadap kekejian yang dilakukan oleh [[rezim]] [[Nazisme|Nazi]] kepada penduduk [[Yahudi]], kemudian melahirkan istilah yang saat ini dikenal dengan kejahatan genosida (''crimes of genocide'') melalui tulisannya berjudul ''Axis Rule in Occupied Europe'' pada tahun 1944.<ref>{{Cite journal|last=Herz|first=John H.|date=1945-04|title=Axis Rule in Occupied Europe; Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress. By Raphael Lemkin. (Washington: Carnegie Endowment for International Peace. 1944. Pp. xxxvii, 674.)|url=http://dx.doi.org/10.2307/1949196|journal=American Political Science Review|volume=39|issue=2|pages=366–367|doi=10.2307/1949196|issn=0003-0554}}</ref>
 
== Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RUU KUHP 2019 ==
Saat ini, RUU KUHP 2019 telah merumuskan pengaturan tentang kejahatan genosida tersebut dalam Pasal 598. Kendati demikian, rumusan pasal tersebut masih belum sejalan dengan ketentuan hukum internasional yang ada. Tercatat setidaknya 6 (enam) hal yang perlu dikritisi terkait dengan pengaturan dalam Pasal 598 tersebut Jika menelaah lebih jauh ke dalam rumusan redaksional yang disediakan dalam Pasal 598 tersebut, dapat dipahami bahwa RUU KUHP 2019 mendeskripsikan genosida sebagai tindakan setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.
Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (''customary international law'').<ref>{{Cite journal|last=van Schaack|first=Beth|date=2012-03-23|title=Crimes against Humanity|url=http://dx.doi.org/10.1093/obo/9780199796953-0048|journal=International Law|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-979695-3}}</ref> Dalam RUU KUHP 2019 kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur dalam Pasal 599 yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun, jika ia melakukan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
 
Adapun cara-cara genosida dapat dilakukan oleh pelaku menurut RUU KUHP 2019 adalah dengan cara:
 
# Membunuh anggota kelompok tersebut;
# Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
# Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
# Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
# Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
 
Kepada setiap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan, percobaan dan pembantuan terhadap tindak pidana di atas, RUU KUHP 2019 menentukan bahwasanya orang tersebut dapat dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Tidak hanya itu, orang tersebut pun dapat dijatuhi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Rumusan ini jelas berbeda dengan rumusan kejahatan genosida yang diatur dalam Pasal 8 UU Pengadilan HAM maupun pada Pasal 6 Statuta Roma. Oleh karenanya, untuk memahami perbedaan rumusan redaksi ketentuan genosida yang disediakan dalam RUU KUHP 2019 dengan kedua instrumen ini,
 
== Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RUU KUHP 2019 ==
Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (''customary international law'').<ref>{{Cite journal|last=van Schaack|first=Beth|date=2012-03-23|title=Crimes against Humanity|url=http://dx.doi.org/10.1093/obo/9780199796953-0048|journal=International Law|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-979695-3}}</ref> Dalam RUU KUHP 2019 kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur dalam Pasal 599 yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun, jika ia melakukan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
 
# Pembunuhan;
# Pemusnahan;
# Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
# Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional;
# Kejahatan [[apartheid]];
# Perbudakan;
# Penyiksaan;
# Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang sama sifatnya yang ditujukan untuk menimbulkan penderitaan yang berat atau luka yang serius pada tubuh atau kesehatan fisik dan mental;
# Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan tertentu yang didasari oleh latar belakang politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan diskriminatif lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
# Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau [[sterilisasi]] secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
# Penghilangan orang secara paksa.
 
Rumusan dalam RUU KUHP 2019 sedikit mengalami perbedaan dengan Pasal 8 UU Pengadilan HAM.
 
= Referensi =