Mohammad Natsir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
RXerself (bicara | kontrib)
editorial
Baris 38:
'''Mohammad Natsir''' ({{lahirmati|[[Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok|Alahan Panjang]], [[Lembah Gumanti, Solok|Lembah Gumanti]], [[kabupaten Solok]], [[Sumatra Barat]]|17|7|1908|[[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]|6|2|1993}}) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan [[Indonesia]]. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik [[Masyumi]], dan tokoh [[Islam]] terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan [[Perdana Menteri Indonesia]], sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden [[Liga Muslim Dunia]] (''World Muslim League'') dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
 
Natsir lahir dan dibesarkan di [[Kabupaten Solok|Solok]], sebelum akhirnya pindah ke [[Bandung]] untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang [[Sekolah menengah atas|SMA]] dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di [[perguruan tinggi]]. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik [[Islam|berideologi Islam]]. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden [[Soekarno]], ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan [[Islam di Indonesia]] hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin [[Soeharto]] hingga membuatnya dicekal.
 
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari [[budaya Indonesia]]. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor [[honoris causa]], satu dari [[Lebanon]] dan dua dari [[Malaysia]]. Pada tanggal [[10 November]] [[2008]], Natsir dinyatakan sebagai [[pahlawan nasional Indonesia]]. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah."
Baris 47:
Mohammad Natsir dilahirkan di [[Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok|Alahan Panjang]], [[Lembah Gumanti, Solok|Lembah Gumanti]], [[Kabupaten Solok]], [[Sumatra Barat]] pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=6}}{{sfn|Ma'mur|1995|p=29}}<ref name="ReferenceA">{{harvnb|Luth|1999|pp=21{{spaced ndash}}23}}</ref> Pada masa kecilnya, Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal di sana. Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian: pemilik rumah beserta keluarga tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya.{{sfn|Shahab|2008|pp=9{{spaced ndash}}15}} Ia memiliki 3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari [[Maninjau, Tanjung Raya, Agam|Maninjau]], [[Tanjung Raya, Agam|Tanjung Raya]], [[kabupaten Agam|Agam]] dengan [[Daftar gelar Datuk|gelar]] ''Datuk Sinaro nan Panjang''.{{sfn|Adam|2009|pp=72-76}}
 
Natsir mulai mengenyam pendidikan di [[Schakelschool|Sekolah Rakyat]] Maninjau selama dua tahun hingga kelas dua, kemudian pindah ke ''[[Hollandsch-Inlandsche School]]'' (HIS) [[Madrasah Adabiyah|Adabiyah]] di [[Kota Padang|Padang]].{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=7}}{{sfn|Shahab|2008|pp=9{{spaced ndash}}15}} Setelah beberapa bulan, ia pindah lagi ke [[Solok]] dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=8}} Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama [[Islam]] di Madrasah Diniyah pada malam hari.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=9}}{{sfn|Ma'mur|1995|p=29}}<ref name="ReferenceA"/> Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang bersama kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di ''[[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs]]'' (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti ''Pandu Nationale Islamietische Pavinderij'' dan ''[[Jong Islamieten Bond]]''.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=11{{spaced ndash}}12}}<ref name="ReferenceA"/><ref name="ReferenceB">{{harvnb|Dzulfikriddin|2010|pp=19{{spaced ndash}}20}}</ref> Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke [[Bandung]] untuk belajar di ''[[Algemeene Middelbare School]]'' (AMS) hingga tamat pada tahun 1930.<ref name="ReferenceA"/><ref name="ReferenceB"/> Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua ''Jong Islamieten Bond'' (JIB) Bandung.<ref name="ReferenceC">{{harvnb|Luth|1999|pp=23{{spaced ndash}}24}}</ref> Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di [[perguruan tinggi]]. Ia yang telah mendapatkan pendidikan [[Islam di Sumatra Barat]] sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang [[Tafsir al-Qur'an|tafsir Al-Qur'an]], [[hukum Islam]], dan [[dialektika]].{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=13{{spaced ndash}}14}} Kemudian pada tahun [[1932]], Natsir berguru pada [[Ahmad Hassan]], yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam [[Persatuan Islam]].{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=22{{spaced ndash}}25}}{{sfn|Ma'mur|1995|pp=30{{spaced ndash}}31}}
 
Pada 20 Oktober 1934, Natsir menikah dengan Nurnahar di Bandung.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=49{{spaced ndash}}50}}<ref name="luth27"/> Dari pernikahan tersebut, Natsir dikaruniai enam anak.{{sfn|Lukman Hakiem|2019|pp=54{{spaced ndash}}55}}{{sfn|Ma'mur|1995|p=30}} Natsir juga diketahui menguasai berbagai bahasa, seperti [[Bahasa Inggris|Inggris]], [[Bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Prancis|Prancis]], [[Bahasa Jerman|Jerman]], [[Bahasa Arab|Arab]], dan [[Bahasa Esperanto|Esperanto]].{{sfn|Ma'mur|1995|p=30}} Natsir juga memiliki kesamaan hobi dan memiliki kedekatan dengan [[Douwes Dekker]], yakni bermain musik. Natsir suka memainkan [[biola]] dan Dekker suka bermain [[gitar]]. Mohammad Natsir juga sering berbicara dengandalam [[Bahasabahasa Belanda]] dengan Dekker dan sering membicarakan [[musik]] sekelasklasik [[Ludwig van Beethoven]] dan noveltulisan sekelaskarya [[Boris Leonidovich Pasternak]], novelis kenamaan [[Rusia]] pada masa itu. Kedekatannya dengan Dekker, menyebabkan Dekker mau masuk [[Masyumi]]. Ide-ide Natsir dengan Dekker tentang perjuangan, [[demokrasi]], dan keadilan memangdinilai sejalansehaluan dengan Natsir.{{sfn|Setiadi dkk.|2012|pp=150-151}}
 
Ia meninggal pada 6 Februari 1993 di [[Jakarta]], dan dimakamkan sehari kemudian.<ref name="luth27"/>
 
== Karier ==
Baris 64:
Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di [[Mekkah]], Pusat Studi Islam Oxford (''Oxford Centre for Islamic Studies'') di [[Inggris]], dan Liga Muslim se-Dunia (''World Muslim Congress'') di [[Karachi]], [[Pakistan]].{{sfn|Ma'mur|1995|pp=30{{spaced ndash}}33}}
 
Di era [[Orde Baru]], ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani [[Petisi 50]] pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri.<ref name=luth2526/> Pada masa-masa awal Orde Baru ini, ia berjasa mengirim nota kepada [[Tunku Abdul Rahman]] dalam rangka mencairkan hubungan dengan [[Malaysia]]. Selain itu pula, dialah yang mengontak pemerintah [[Kuwait]] agar menanam modal di [[Indonesia]] dan meyakinkan pemerintah [[Jepang]] tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.{{sfn|Adam|2009|pp=72-76}} [[Soeharto]] menganggap orang yang mengkritik dirinya sebagai penentang Pancasila. Ia ikut menandatangani Petisi tersebut bersama dengan Jenderal [[Hoegeng Imam Santoso|Hoegeng]], Letjen [[Ali Sadikin]], [[Sanusi Hardjadinata]], [[SK Trimurti]], dan lain-lain.{{sfn|Adam|2009|pp=72-76}} Akibat dilarangnya ia pergi ke luar negeri, banyak seminar yang tidak bisa diikutinya.{{sfn|Fadillah 2013, Mengenang M Natsir}} Natsir menolak kecurigaan [[Soeharto]] terhadap [[partai]]-partai, terutama partai Islam. Apalagidan mengkritik [[Opsus]] (Operasi Khusus) yang berada di bawah pimpinan langsung Soeharto juga ikut dikritisi.{{sfn|Noer|2012|p=169}} Padahal, badan intel inilah yang meminta Natsir dalam memulai hubungan dengan [[Malaysia]] dan [[Timur Tengah]] setelah naiknya Soeharto.{{sfn|Noer|2012|pp=169, 171}}
 
== Penulis ==