Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 122:
 
=== Indonesia ===
[[Pengarusutamaan gender]] telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini. Namun, dalam konteks perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki. "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".{{sfn|Murdiyarso|Herawaty|2005|p=177-178}} Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.
 
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh [[Center for International Forestry Research|CIFOR]] terhadap [[mekanisme pendanaan iklim]], ditemukan adanya kesenjangan pemahaman antara level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.{{sfn|Atmadja|2020}} Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan. Mereka meliputi [[Dana Desa]], Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup ''(''BPDLH). Peneliti menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu ataupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.{{sfn|Atmadja|2020}} Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk isu krisis iklim. Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam [[Indeks Pembangunan Gender]] (IPG) 2020. Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama difokuskan pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.{{sfn|Murdiyarso|Herawaty|2005|p=177-178}}
 
Urban and Regional Development Institute, Indonesia, meneliti aspek kesetaraan gender dalam adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Para peneliti melakukan studi kasus di Cirebon dengan menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif. Cirebon dipilih karena mewakili daerah di Indonesia yang berlokasi di area pesisir. Peneliti menggunakan sampel dari populasi yang hidup di [[kota Cirebon]] dan [[kabupaten Cirebon]], tepatnya di Kesepuhan dan Pegagan Lor. Kesepuhan merupakan daerah perkotaan yang rawan banjir dengan permukiman dan fasilitas perkotaan yang mendekati pantai, sedangkan Pegagan Lor masuk wilayah kabupaten yang terancam kekeringan. Petani dan lahan pertanian di Pegagan Lor rentan terhadap krisis iklim. Peneliti mengkaji perbedaan gender pada kondisi sosial ekonomi dengan menggunakan model sosio-ekologis dengan beragam variabel yang terdiri dari literasi dan pendidikan, mata pencaharian, akses dan kontrol atas sumber daya, kesehatan, mobilitas, kepala keluarga perempuan dan peran dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kapasitas adaptif gender antara perkotaan dan perdesaan dalam isu perubahan iklim. Penduduk perkotaan, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kemampuan yang lebih baik daripada warga perdesaan. Warga perkotaan lebih unggul dalam kemampuan literasi dan pendidikan, pekerjaan, akses dan kontrol terhadap sumber daya alam, perempuan sebagai kepala rumah tangga dan peran dalam pengambilan keputusan. Ketidaksetaraan gender mulai berangsur-angsur berkurang, baik di kota maupun desa. Akibat tekanan ekonomi, perempuan di perkotaan dan perdesaan sama-sama mulai mengambil kontrol lebih terhadap sumber daya. Perempuan mulai memiliki kekuatan mengendalikan aset keluarga yang terdiri atas rumah, tanah, hewan ternak, kendaraan bermotor, emas dan tabungan. Temuan yang lain adalah pengarusutamaan gender dalam adaptasi perubahan iklim lebih mudah diterapkan di perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat serta para pembuat kebijakan.{{sfn|Pratiwi|2017}}