Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah [[bencana alam]], antara lain [[banjir]], [[tanah longsor]], [[kekeringan]] dan [[badai]]. Sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap{{sfn|UN Women Watch|2009}}, seperti peningkatan suhu dan presipitasi, kenaikan permukaan air laut, kelangkaan air bersih dan kerusakan lingkungan lainnya.{{sfn|World Health Organization|2014|p=3}} Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kuasa, politik dan sosial yang tidak setara yang seringkali memposisikan mereka sebagai objek kebijakan dan implementasinya.{{sfn|Djoudi|Locatelli|Vaast|Asher|2016|p=248}} Perempuan tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.{{sfn|UN Women Watch|2009}} Sehingga, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang telah ada.{{sfn|Rusmadi|2016|p=91}} Penelitian oleh [[London School of Economics and Political Science|LSE]] pada 141 negara yang dilanda bencana alam pada 1981-2002 telah menemukan hubungan kuat antara bencana dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam menyumbang penurunan angka harapan hidup perempuan dan memperlebar kesenjangan gender dalam masyarakat.{{sfn|Pusat Penelitian Politik LIPI}} Melebarnya ketidaksetaraan gender ini akan meningkatkan kerentanan masyarakat dan negara.{{sfn|Inter-American Development Bank|2020}}
 
Ada dua fokus kebijakan krisis iklim yang diakibatkan oleh manusia, yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berfokus pada upaya mengurangi dampak, misalnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca. Sedangkan adaptasi adalah strategi menghadapimempersiapkan dampak-dampak yang perubahanakan iklimterjadi.{{sfn|Terry|2009|p=6|ps=:"There are two main policy areas related to climate change caused by humans. The first is mitigation, or reducing greenhouse-gas emissions. The second is adaptation, or preparing for the impact of climate change."}} Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim. Seluruh aspek yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan harus berperspektif gender.{{sfn|Convention on Biology Diversity}} Organisasi internasional, seperti [[PBB]], dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. [[Persetujuan Paris]], misalnya, menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Di [[Indonesia]], salah satu contohnya adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.{{sfn|Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak|2015}} Tantangan yang sering muncul ada pada tahap implementasi.
 
Krisis iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa memperburuk kondisi masyarakat [[gender non-biner]] di tengah menghangatnya isu perubahan iklim. Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.{{sfn|The Lancet|2020}} Isu gender dalam masalah iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan dan [[Kelompok etnis|kelompok etnik]].{{sfn|ASSAR}}
Baris 11:
Perubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu, [[hak asasi manusia]] mereka juga berpotensi tidak terpenuhi. Kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan krisis iklim mengancam hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak untuk hidup, akses ke makanan dan air bersih, kesehatan, keamanan, tempat tinggal dan budaya.{{sfn|Levy|Patz|2015|p=310-311}} Hilangnya kegiatan-kegiatan kultural, seperti mata pencaharian tradisional, dapat menyebabkan tekanan psikologis, kecemasan dan ketidakpastian bagi semua orang. Masyarakat miskin dan terpinggirkan lebih rentan karena mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk merespon krisis iklim, misalnya dengan beradaptasi dan bermigrasi.{{sfn|Earth Day|2019}} Lebih lanjut, para ilmuwan menyebut sejumlah kelompok yang paling berisiko terhadap kritis iklim yaitu masyarakat miskin, kelompok minoritas, perempuan, anak-anak, orang tua, orang dengan penyakit kronis dan cacat, warga yang tinggal di daerah dengan jumlah kasus penyakit terkait iklim yang tinggi dan pekerja yang terpapar panas ekstrem atau peningkatan variabilitas cuaca. Pada level makro, negara-negara berpendapatan rendah yang umumnya menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah terdampak lebih parah daripada negara-negara maju yang merupakan penyumbang emisi terbesar di dunia.{{sfn|Levy|Patz|2015|p=310-311}}
 
Selain faktor kemiskinan, menurut peneliti, perempuan menjadi kelompok paling terdampak akibat kesenjangan historis. Sejak lama, perempuan memiliki akses yang terbatas terhadap sumber daya sosial dan ekonomi. Sumber daya ini antara lain akses ke lahan, pembiayaan, teknologi terbaru, daya tawar, [[modal sosial]], dan pelatihan adaptasi iklim dan kesiapsiagaan bencana. Ketidaksetaraan tersebut mengancam ketahanan perempuan terhadap krisis iklim dan berpotensi menghambat mereka untuk terlibat dalam proses pembangunan. Hal ini juga semakin memperparah kesenjangan gender yang telah ada sebelumnya. Kurangnya sumber daya dan pendapatan yang rendah menurunkan daya tawar perempuan, baik di dalam keluarga maupun masyarakat di tingkat nasional, regional, dan internasional. Kurangnya representasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim semakin memperburuk kerentanan tersebut.{{sfn|Prior|Heinämäki|2017|p=194-195}}
 
== Dampak gender perubahan iklim ==
Baris 23:
Badai yang merupakan salah satu efek perubahan iklim juga memengaruhi kehidupan perempuan. [[Hurikan Katrina]] yang terjadi di [[New Orleans]], Amerika Serikat, pada 2005 membuat banyak perempuan miskin harus hidup sebagai ibu tunggal. Selain itu, kesehatan mereka juga terganggu akibat fasilitas [[sanitasi]] yang kurang memadai di lokasi pengungsian. Tempat penampungan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan menjadikan pengungsi perempuan rentan terhadap kekerasan seksual dan fisik.{{sfn|Sartika|2018}}
 
Berdasarkan laporan [[Oxfam]] di tiga negara terdampak [[tsunami]] pada 2004, yaitu Indonesia, India dan [[Sri Lanka]], jumlah perempuan yang berhasil menyelamatkan diri lebih rendah daripada laki-laki. Ada dua kemungkinan faktor yang menyebabkan hal ini, pertama, perempuan umumnya tidak bisa berenang dan kedua, perempuan mungkin tidak fokus menyelamatkan dirinya sendiri, tapi juga anak-anak dan anggota keluarga yang lain.{{sfn|Sartika|2018}} Hasil penelitian terhadap korban banjir Serbia pada 2014 menyatakan bahwa perempuan umumnya kurang memiliki keterampilan dan teknik tanggap darurat yang efektif. Perempuan dan anak-anak berisiko lebih besar menjadi korban saat terjadi bencana alam.{{sfn|Organization for Security and Cooperation in Europe |2019}}
 
Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir dan kekeringan yang mengakibatkan gagal panen memicu kenaikan angka bunuh diri petani di [[India]].{{sfn|Nandi|2020}} Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani wanita.{{sfn| Parida|2020}} Laki-laki di [[negara maju]] dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan [[kesehatan jiwa]] yang bisa mengarah pada aksi [[bunuh diri]] dan [[isolasi sosial]].{{sfn|Watts|Amann|Arnell|Ayeb-Karlsson|2019|p=1836}}
Baris 50:
 
=== Transportasi ===
[[Transportasi]] menyumbang emisi [[Karbondioksida|karbon dioksida]] sebesar 24,5% di seluruh dunia{{sfn|GenderCC}} dan merupakan salah satu dari tiga besar penyumbang [[gas rumah kaca]]. Berdasarkan penelitian, laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda.{{sfn|Budiarti|Nurhadi|20142017|p=39-40}} Studi perilaku perjalanan menunjukkan bahwa perempuan memiliki karakteristik khas terkait pilihan moda transportasi, waktu tempuh, tujuan perjalanan, rute, rantai perjalanan dan jarak perjalanan. Perbedaan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kegiatan perempuan yang lebih kompleks daripada laki-laki. Pembagian kerja berbasis gender membuat perempuan memiliki kewajiban yang lebih bervariasi, termasuk di dalamnya pekerjaan, aktivitas rumah tangga dan tugas pengasuhan. Sehingga, perempuan lebih cenderung melakukan perjalanan dengan jarak yang lebih pendek, lebih kompleks, perjalanan ulang alik dengan beberapa tujuan berbeda, perjalanan tidak terkait dengan pekerjaan, bepergian di luar jam sibuk dan menggunakan lebih banyak variasi rute. Mereka juga cenderung lebih memilih moda transportasi yang fleksibel tergantung pada sejumlah karakteristik sosial, seperti usia, pendapatan, ukuran rumah tangga atau jumlah tanggungan dalam keluarga.{{sfn|International Transport Forum|2019}} Sedangkan laki-laki, menurut WHO, mengkonsumsi lebih banyak energi karena tingginya angka penggunaan kendaraan pribadi oleh mereka.{{sfn|World Health Organization|2014|p=3}}
 
Sejumlah studi kasus di beberapa negara mengangkat pola transportasi masyarakat berbasis gender dan hasilnya cukup variatif. Studi terhadap data perilaku lingkungan di 10 negara anggota [[Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi|OECD]] menemukan bahwa tidak ada hubungan kuat antara jenis kelamin dan perilaku hemat energi. Namun, pria, baik yang sudah menikah maupun lajang, mengemudi lebih sering daripada perempuan. Di Swedia, laki-laki mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk kendaraan dan belanja bahan bakar dibandingkan perempuan. Studi di [[Uni Eropa]] dan Amerika Serikat juga menemukan bahwa laki-laki secara keseluruhan menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi dari aktivitas mereka berkendara.{{sfn|Rastogi|2010}}
 
Dari hasil riset di beberapa negara, perempuan pada umumnya memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim, termasuk dalam bidang transportasi.{{sfn|Rastogi|2010}} Studi kasus di [[Swedia]]{{sfn|Kronsell|Rosqvist|Hiselius|2016|p=703|ps=:"Based on the Swedish case, women still on average have transportation behavior with lower environmental impact than men have; women also tend to have stronger preferences for improving sustainability in the sector."}} dan [[Selandia Baru]]{{sfb|Shaw|Russel|Keall|MacBride-Stewart|Wild|Reeves|Bentley|Woodward|2020|p=1|ps=:"Men are more likely to cycle than women in NZ and cyclists get more physical activity. Nonetheless, analysis across all travel (irrespective of regularity of cycling status) suggests that women use more diverse travel modes and generate lower greenhouse gas emissions than men."}} menemukan bahwa wanita melakukan perjalanan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pria dan mereka lebih mempertimbangkan isu keberlanjutan dalam pola transportasi mereka. Namun, kepedulian ini belum tentu berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang perubahan iklim, baik laki-laki dan perempuan. Penelitian di Semarang juga menunjukkan bahwa preferensi perjalanan perempuan menyiratkan konsumsi energi yang lebih efisien dan lebih sedikit menghasilkan gas rumah kaca. Perempuan di Semarang juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kendaraan umum. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh akses perempuan yang terbatas terhadap kepemilikan dan penggunaan kendaraan. Laki-laki dan perempuan di Semarang sama-sama mau menggunakan transportasi publik dengan syarat ada jaminan keamanan dan kenyamanan.{{sfn|Budiarti|Nurhadi|2017|p=39-40}} Berdasarkan hasil penelitian di lima negara, yaitu [[Brazil]], [[Tiongkok]], [[Britania Raya]], [[Italia]], dan [[Spanyol]], perempuan lebih berminat mengubah pilihan transportasi jika tersedia informasi mengenai jejak karbon yang mereka hasilkan.{{sfn|Waygood|Avineri|2016|p=200|ps=:"Women’s usual mode of travel was found to significantly influence the degree to which transportation CO2 emissions information motivated a change in driving behavior, but not so for men. An individual’s environmental stage of change (with respect to climate change concern and behavior) significantly related to intentions to change behavior in response to transportation CO2 emissions information, though more frequently for women."}}
 
=== Energi ===
Baris 85:
[[Pribumi|Penduduk asli]] merupakan penjaga kawasan, teritorial dan sumber daya di tanah tradisional mereka. Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki. Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka. Warga pribumi memiliki pengetahuan dan kearifan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang dapat berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.{{sfn|Bhattachan|2020}}
 
Masyarakat asli merupakan salah satu korban pertama dan merasakan langsung dampak perubahan iklim.{{sfn|UNUnited Nations}} Ada dua alasan mengapa komunitas asli menjadi kelompok yang paling terpengaruh krisis iklim. Pertama, mereka memiliki hubungan yang erat dan unik dengan alam dan seringkali menggantungkan hidup mereka sepenuhnya ke alam. Hutan merupakan sumber makanan, obat-obatan, dan pengetahuan bagi mereka.{{sfn|Viswanathan}} Masyarakat adat juga menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kultur dan spiritualitas mereka. Alasan kedua, komunitas asli pada umumnya sudah hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang terpinggirkan dan di beberapa wilayah, mereka terdiskriminasi.{{sfn|Mihlar|2008}} Mereka telah terpinggirkan secara sosial, politik, dan rentan kehilangan tanah dan sumber daya, menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi dan pengangguran. Krisis iklim turut memperparah situasi warga asli.{{sfn|UNUnited Nations}} Ilmuwan juga menambahkan faktor geografis sebagai penentu kerentanan warga asli terhadap perubahan iklim. Beberapa suku asli yang hidup di bagian utara [[Kanada]], seperti Inuit, terdampak penghangatan suhu di wilayah [[Arktika]].{{sfn|Levy|Patz|2015|p=314}} Suku-suku asli yang keluar dari tanah tradisional mereka, baik secara sukarela maupun terpaksa, rentan mengalami diskriminasi ganda akibat status mereka sebagai imigran sekaligus orang asli. Perpindahan tempat yang dilakukan secara mendadak membuat mereka rentan menjadi korban perdagangan dan penyelundupan orang. Warga suku-suku asli di negara berkembang yang terpaksa pindah karena deforestasi banyak yang berakhir di permukiman kumuh di kota-kota besar.{{sfn|UNUnited Nations}}
 
Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak terlibat dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi mereka dan ikut berperan dalam merespon krisis iklim serta menghapus kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap masyarakat adat.{{sfn|Bhattachan|2020}} Perempuan penduduk asli juga memikul beban ganda dengan statusnya sebagai perempuan dan warga adat. Dalam konteks perubahan iklim, wanita adat sering menghadapi pelanggaran [[Hak asasi manusia|HAM]] sistemik dan mengalami praktik eksklusivitas dan diskriminatif yang mendalam, baik di dalam komunitas mereka sendiri maupun masyarakat secara umum. Hak-hak mereka sebagai perempuan penduduk asli masih terabaikan meski telah ada [[Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita]] (CEDAW) dan [[Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat]] (UNDRIP).{{sfn|Prior|Heinämäki|2017|p=194-195}}
 
Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, [[Kenya]], menyatakan para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak. Namun, akibat penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah ke dataran tinggi dan terpaksa belajar bercocok tanam. Di Indonesia, suku-suku asli di [[Kalimantan]] dan [[Sumatra]] telah kehilangan hutan warisan akibat [[Pengawahutanan|deforestasi]] yang dipicu oleh perluasan industri kelapa sawit. Mereka dipaksa menjual tanah dan berpindah ke tempat lain.{{sfn|Human Rights Watch|2020}} Studi terhadap [[Suku Kubu|Orang Rimba]] di Sarolangun, Jambi dan suku [[Dayak Iban]] di Bengkayang, Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa perempuan terdampak langsung secara ekonomi akibat deforestasi. Di kedua komunitas tersebut, perempuan tidak lagi dapat mewariskan pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, seperti menganyam tikar dan keranjang yang terbuat dari hasil hutan. Mereka juga kehilangan sumber pendapatan tambahan.{{sfn|Human Rights Watch|20202019}}
[[Berkas:Indigenous representatives COP21.jpg|jmpl|Patricia dan José Gualinga dari Sarayaku, Ekuador, perwakilan penduduk asli di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015 ]]
Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di dunia berhimpun dan memulai gerakan [[keadilan iklim]] untuk masyarakat adat (''indigenous climate justice'').{{sfn|University of Michigan School for Environment and Sustainability|2021}} Mereka berasal dari berbagai wilayah di dunia, seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan. Suku-suku yang hidup di [[hutan Amazon]] wilayah [[Ekuador]] timur, seperti Huaorani, Sápara dan Sarayaku Kichwa telah lama terlibat dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Mereka memiliki peran ganda. Pertama, dengan menentang pendudukan dan deforestasi atas hutan yang telah lama mereka tinggali, dan kedua, mereka bergerak di lobi-lobi dan forum internasional. Sejak 1990-an, suku-suku tersebut telah menyadari peran mereka dalam melindungi kawasan hutan dari efek perubahan iklim. Kesadaran bahwa masyarakat adat memiliki potensi memengaruhi pengambilan keputusan mendorong mereka terlibat lebih jauh dalam kegiatan aktivisme. Mereka aktif bersuara di lobi-lobi negosiasi perubahan iklim antar negara dan di forum-forum PBB.{{sfn|Etchart|2017|p=1-2}}
Baris 231:
*{{cite web|url=https://www4.unfccc.int/sites/SubmissionsStaging/Documents/201903292347---Gender%20and%20Climate%20Change_ITF.pdf|title=Gender and Climate Change|last=International Transport Forum|first=|date=2019|website=United Nations Framework Convention on Climate Change|access-date=1 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.undp.org|title=Gender and energy|last=UNDP|first=|date=2013|website=United Nations Development Programme|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/climate-change.html|title=Climate Change|last=UNUnited Nations|first=|date=|website=United Nations|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://indigenousclimatehub.ca/2021/03/international-participantion-and-leadership-of-indigenous-women-in-climate-change-action/|title=International Participation and Leadership of Indigenous Women in Climate Change Action|last=Viswanathan|first=Leela|date=|website=Indigenous CLimate Hub|access-date=1 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.climateinvestmentfunds.org/sites/cif_enc/files/knowledge-documents/study-of-the-impacts-of-climate-change-on-the-women-and-men-in-the-caribbean-pilot-programme-for-climate-resilience-countries.pdf/|title=International Participation and Leadership of Indigenous Women in Climate Change Action|last=Inter-American Development Bank|first=|date=2020|website=Climate Investment Funds|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.thelancet.com/pdfs/journals/lanplh/PIIS2542-5196(20)30001-2.pdf/|title=Climate change and gender-based health disparities|last=The Lancet|first=|date=2020|website=The Lancet|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.osce.org/mission-to-serbia/428348/|title=Strengthening the Role of Women in Disaster Management|last=Organization for Security and Cooperation in Europe|first=|date=2019|website=Organization for Security and Cooperation in Europe|access-date=7 Juli 2021}}
 
*{{cite web|url=http://www.fao.org/climate-smart-agriculture-sourcebook/enabling-frameworks/module-c6-gender/chapter-c6-1/en/|title=Gender-differentiated impacts of climate change|last=FAO|first=|date=2021|website=FAO|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://cdn.sei.org/wp-content/uploads/2020/07/climate-justice-for-indigenous-women-urgency-and-way-forward-web.pdf|title=Climate justice foe indigenous women: urgency and way forward|last=Bhattachan|first=Krishna B.|last1=Magar|first1=Sushila Kumari Thapa|date=2021|website=FAO|access-date=7 Juli 2021}}
*{{cite web|url=https://www.hrw.org/news/2019/09/22/indonesia-indigenous-peoples-losing-their-forests|title=Indonesia: Indigenous Peoples Losing Their Forests|last=Human Rights Watch|first=|date=2019|website=Human Rights Watch|access-date=7 Juli 2021}}
{{refend|3}}