Hak fetus: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual |
edit teks |
||
Baris 38:
=== Legalitas Hukuman Mati Terhadap Orang Yang Melakukan Aborsi Dalam Hukum Internasional Tentang Hak Asasi Manusia ===
Legalitas hukuman mati di dalam hukum internasional dipertanyakan karena terdapatnya hukuman mati atas tindakan aborsi di beberapa negara, yang hukuman tersebut merupakan pelanggaran dari HAM internasional. Hak asasi manusia internasional sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Mereka dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional dan prinsip – prinsip hukum internasional yang sudah lama ditetapkan. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] menetapkan hak asasi manusia sebagai "standar umum dari pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa".<ref>{{Cite book|date=1997|url=http://dx.doi.org/10.2458/azu_acku_pamphlet_hq1236_5_a3_u558_1997|title=Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) / United Nations Development Programme (UNDP).|publisher=University of Arizona Libraries}}</ref> Kegagalan untuk memberikan perlindungan yang menghargai martabat yang melekat dari mereka yang dihukum sampai mati, merupakan pelanggaran dari standar internasional. Standar internasional yang dimaksud di sini ialah yang melarang penyiksaan atau segala bentuk kekejaman, biadab, atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan.<ref>{{Cite journal|last=Whittaker|first=Alison|date=2019-07-03|title=One-Punch Drunk: White Masculinities as a Property Right in New South Wales’ Assault Causing Death Law Reforms|url=http://dx.doi.org/10.1080/13200968.2020.1794427|journal=Australian Feminist Law Journal|volume=45|issue=2|pages=295–319|doi=10.1080/13200968.2020.1794427|issn=1320-0968}}</ref> Larangan penyiksaan adalah norma yang harus ditaati yang ditetapkan, tanpa syarat atau pengecualian, dalam instrumen dasar hak asasi manusia, yaitu UDHR,<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref> beserta 2 (dua) ketentuan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]],<ref>{{Cite journal|last=Nuraja|first=Siti Hawa|date=2017-06-13|title=PELAKSANAAN PASAL-PASAL 3 AYAT (2) SAMPAI PASAL 5 DAN PASAL 7 AYAT (2) PADA PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TAHUN 1980 - 1982|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol15.no5.1165|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=15|issue=5|pages=486|doi=10.21143/jhp.vol15.no5.1165|issn=2503-1465}}</ref> dan berbagai instrumen HAM regional.<ref>{{Cite book|date=2018-10-25|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781316677117.093|title=International Human Rights Law Documents|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-1-316-67711-7|pages=736–741}}</ref> Menurut hukum internasional saat ini tidak ada larangan yang absolut mengenai penerapan hukuman mati yang mengikat semua negara di dunia.<ref>{{Cite web|title=Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19.|url=http://dx.doi.org/10.1163/1874-6772_seg_a2_597|website=Supplementum Epigraphicum Graecum|access-date=2021-07-05}}</ref> Sebagai negara yang mengakui dan menghormati HAM beberapa diantaranya menyetujui untuk tidak menjatuhkan hukuman mati di dalam keadaan apapun. Meski begitu, masih terdapat sebagian kecil negara yang tetap mempertahankan hukuman mati dan menegaskan [[legitimasi]], legalitas, dan efektifitasnya. Namun, bahkan untuk negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati, terdapat pembatas hukum internasional atas kejahatan dan kepada siapa yang dapat dijatuhi hukuman mati, serta prosedur yang harus diikuti jika hukuman mati akan diizinkan berdasarkan hukum internasional.<ref>{{Cite web|title=Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19.|url=http://dx.doi.org/10.1163/1874-6772_seg_a2_597|website=Supplementum Epigraphicum Graecum|access-date=2021-07-05}}</ref> Menurut [[ICC]] ''Statute'', kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya merupakan kejahatan yang paling serius<ref>{{Cite journal|last=SIREGAR|first=NAEK|date=2014-03-24|title=ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP DAMPAK RADIASI NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Radiasi Nuklir Jepang Pasca Gempa Dan Tsunami)|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=5|issue=2|doi=10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|issn=2477-6238}}</ref> yang menjadi perhatian komunitas internasional secara keseluruhan, yaitu: kejahatan [[genosida]], kejahatan [[perang]], kejahatan terhadap [[Humanisme|kemanusiaan]], dan kejahatan [[agresi]].<ref>{{Cite book|last=Novak|first=Andrew|date=2015|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-15832-7_3|title=The International Criminal Court|location=Cham|publisher=Springer International Publishing|isbn=978-3-319-15831-0|pages=23–40}}</ref> Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa aborsi bukan merupakan kejahatan yang luar biasa dan merugikan banyak orang yang sehingga dapat dihukum mati, mengingat pada tahun 1948, PBB menyatakan di dalam pasal 3 [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]]<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref> bahwa “semua orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan seseorang”. Dan di dalam pasal 6 ayat (1) dari [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]]<ref>{{Cite journal|date=2020-06-30|title=International Covenant on Civil and Political Rights|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781108689458.033|journal=A Commentary on the International Covenant on Civil and Political Rights|pages=860–869|doi=10.1017/9781108689458.033}}</ref> memberikan: “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun akan semena-mena kehilangan nyawanya”. Hukuman mati tidak pernah konsisten dengan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa kehidupan adalah hak asasi manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, karena setiap orang di seluruh penjuru dunia memiliki hak yang melekat di dalam dirinya yang tidak dapat direnggut oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dihukum mati dengan alasan melakukan aborsi.
== Pengertian Anak dalam Kandungan ==
Anak dalam kandungan tidak bisa dilepaskan dari kehamilan seorang ibu. Terkait dengan hubungan tersebut, kehamilan dapat diartikan adanya bayi (anak), betapapun sederhananya, dalam rahim seorang ibu. Arti kata ‘betapapun sederhananya’ adalah semenjak terbuahinya sel telur oleh sperma, sehingga membentuk embrio. Tidak perlu bahwa bayi tersebut benar-benar telah berentuk sempurna seperti bayi yang dilahirkan. Penjelasan ini diperlukan untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan kewarisan antara pewaris dengan anak yang ada dalam kandungan.<ref>{{Cite journal|last=Darmawan|first=Darmawan|date=2018-08-02|title=Tahqîq al-Manâth dalam Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.15642/ad.2018.8.1.165-193|journal=Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam|volume=8|issue=1|pages=165–193|doi=10.15642/ad.2018.8.1.165-193|issn=2503-0922}}</ref> Perkembangan sains dan teknologi berpengaruh mengembangkan keturunannya, sehingga bila diperhatikan ada 2 (dua) cara memperoleh keturunan. Pertama, dilakukan melalui hubungan langsung antara lawan jenis. Kedua, dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi.
== Hak-hak Keperdataan Janin dalam Hukum Islam ==
Baris 67 ⟶ 70:
Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa hukum diperbolehkannya wakaf terhadap janin adalah mutlak dan tidak berasal dari hal lain. Dengan kata lain, hukum asal wakaf terhadap janin adalah benar dan sah (''ṣaḥiḥ''). Golongan ini tidak membenarkan kepemilikan janin terhadap barang yang diwakafkan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan kepadanya dan segala macam yang dihasilkannya ditangguhkan hingga kelahiran janin. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal atau meninggal sejak masih dalam kandungan, maka wakaf dikembalikan kepada wāqif atau kepada ahli warisnya atau wakaf ini batal. Para ulama Mālikiyyah berdasar pada argumen bahwa hak kepemilikan janin atas wakaf menjadi sah di masa yang akan datang (ketika ia sudah dilahirkan), meski ketika wakaf dilangsungkan janin masih belum mencukupi syarat untuk terlibat dalam suatu transaksi kepemilikan atas suatu harta.<ref>{{Cite journal|last=Muhtar|first=Amin|date=2015-05-01|title=POTENSI WAKAF MENJADI LEMBAGA KEUANGAN PUBLIK (Kajian Kritis terhadap Konsep dan Praktik Wakaf dalam Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.15575/as.v17i2.645|journal=Asy-Syari'ah|volume=17|issue=2|doi=10.15575/as.v17i2.645|issn=2654-5675}}</ref> Menanggapi pendapat kalangan Mālikiyyah dalam kaitannya dengan hukum asal wakaf terhadap janin, kalangan Syāfi’iyyah dan sebagian dari kalangan Ḥanābilah berpendapat bahwa hukum asal wakaf terhadap janin adalah tidak sah. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “aku mewakafkan barang ini untuk yang akan lahir dari kandunganku”. Akan tetapi diperbolehkan jika wakaf terhadap janin dengan mengikuti yang lainnya, yakni apabila redaksinya, “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku dan keturunannya”, atau “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku” dan ternyata ia tidak memiliki keturunan. Mereka berargumen bahwa wakaf adalah kepemilikan dan janin belum memenuhi syarat untuk terlibat dalam sebuah transaksi kepemilikan. Berbeda dengan wasiat dan waris, wakaf adalah sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa transaksi itu dibuat, bukan sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa yang akan datang layaknya wasiat dan waris.<ref>{{Cite journal|last=Al-Yami|first=Abdullah Saleh|last2=Nasr-El-Din|first2=Hisham A.|last3=Al-Arfaj|first3=Mohammed Khalid|last4=Al-Salehsalah|first4=Salah Hamad|last5=Al-Humaidi|first5=Ahmed Saleh|last6=Awang|first6=Mohd Zaki Bin|last7=Al-Mohanna|first7=Khalid Saad|date=2008-06-16|title=Investigation of Water-Swelling Packers|url=http://dx.doi.org/10.2118/114814-ms|journal=All Days|publisher=SPE|doi=10.2118/114814-ms}}</ref>
== Pusaka Anak Zina, dan Anak Li’an ==
Dalam pokok hukum Islam waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang suami isteri dapat waris-mewarisi karena keduanya terikat oleh perkawinan yang dibenarkan oleh hukum Islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum Islam juga ditentukan oleh sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut.
Kalau hubungan nasab ayah dan anak tersebut sah maka antara ayah dan anak dapat waris-mewarisi. Ada dua hubungan anak dan ayah tidak diakui secara hukum, ialah:
* Anak zina, ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut ''walad ghairu syar’iy'', dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut ''ab ghairu syar’iy''. Anak ''ghairu syar’iy'' atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan ''Ab ghairu syar’iy'' menurut hukum, karenanya tidak ada hubungan waris mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi.
Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat ibunya, yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.<ref>{{Cite journal|last=Hitti|first=Philip K.|last2=ibn-Aḥmad ibn-Iyās|first2=Muḥammad|last3=Kahle|first3=Paul|last4=Muṣṭafa|first4=Muḥammad|last5=Sobernheim|first5=Moritz|last6=ibn-Ahmad ibn-Iyas|first6=Muhammad|last7=Mustafa|first7=Muhammad|date=1934-06|title=Badā'i' al-Zuhūr fi Waqā'i' al-Duhūr|url=http://dx.doi.org/10.2307/594642|journal=Journal of the American Oriental Society|volume=54|issue=2|pages=213|doi=10.2307/594642|issn=0003-0279}}</ref>
Semua ulama empat madzhab sepakat bahwa Anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan bapaknya. Karena nasab itu mulia dan dimuliakan, sedangkan zina sesuatu yang keji dan haram, maka sesuatu yang mulya (yaitu nasab) tidak akan bisa disebabkan karena sesuatu yang keji dan harom (zina), sedang menurut si’ah anak zina tidak nasab kepada ibu dan ayahnya sehingga tidak dapat pula mewarisinya.<ref>{{Cite journal|last=Franke|first=Patrick|date=1995|title=ʿAlī Akbar Diyāʾ ī: 1.) Fihris maṣādir al-firaq al-islāmiyya. Al-maṣādir al-ʿāmma; al-ʿAlawiyya. Beirut: Dar ar-Rauda, 1992 (Silsilat fahāris maṣādir al-firaq al-islamiyya 1) 203 Seiten - 2.) Fihris maṣādir al-firaq al-islāmiyya. Al-maṣādir ad-Durziyya. Beirut: Dar ar-Rauda, 1992 (Silsilat fahāris maṣādir al-firaq al-islāmiyya 2) 191 Seiten (arabisch) + 35 Seiten (englisch/französisch).|url=http://dx.doi.org/10.1163/1570060952597969|journal=Die Welt des Islams|volume=35|issue=1|pages=137–139|doi=10.1163/1570060952597969|issn=0043-2539}}</ref>
* Anak ''li’an'', ialah anak yang lahir dari seorang ibu yang dituduh zina (melakukan perbuatan zina) oleh suaminya, dan anak yang lahir itupun dinyatakan anak hasil perbuatan zina itu. Pernyataan itu dilakukan dalam suatu saling sumpah antara wanita ibu anak ''li’an'' tersebut dengan suaminya yang berakibat putusnya hubungan suami isteri itu dan haram untuk selama-lamanya melakukan rujuk atau pernikahan kembali. Akibat lain ialah tidak ditetapkannya anak tersebut sebagai anak laki-laki yang melakukan ''mula’anah'' itu, tetapi anak ibu yang melahirkannya.<ref>{{Cite journal|last=Rahman|first=Arivaie|last2=Erdawati|first2=Sri|date=2020-06-22|title=KITAB FARA'ID AL-QUR'AN|url=http://dx.doi.org/10.22548/shf.v13i1.507|journal=SUHUF|volume=13|issue=1|pages=1–26|doi=10.22548/shf.v13i1.507|issn=2548-6942}}</ref>
= Referensi =
|