Sunan Ampel: Perbedaan antara revisi

[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Champa99 (bicara | kontrib)
Menebalkan pernyataan bahwa bukti kronik Tionghoa adalah propaganda Belanda.. Walisongo dari champa tidak ada hubungannya dengan tanah Tiongkok
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Champa99 (bicara | kontrib)
Memperjelas dan mempertegas ketidakjelasan asal usul Sunan Ampel
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 5:
Sunan Ampel adalah putra [[Syekh Ibrahim As-Samarqandy]] yang dimakamkan di Gresik. Ibrahim Asmarakandi merupakan putra Syekh Jumadil Kubro. Walau demikian, terdapat pula sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Sunan Ampel merupakan anak dari Maulana Malik Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati).
 
Dalam catatan [[Berita Tiongkok|Kronik Tiongkok]] dari [[Klenteng Sam Po Kong]], Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku [[Hui]] beragama Islam [[mazhab Hanafi]]) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Tionghoa di Champa oleh [[Ceng Ho|Sam Po Bo]]. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Tionghoa di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Tionghoa di Jiaotung (Bangil).<ref name="Muljana">{{id}} {{cite book|last=Muljana|first=Slamet|year=2005|url=http://books.google.co.id/books?id=j9ZOKjMxVdIC&lpg=PA78&dq=suma%20oriental&pg=PA63#v=onepage&q=suma%20oriental&f=false|title=Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|isbn=9798451163|pages=63}}ISBN 978-979-8451-16-4</ref><ref>Bong (Wong) marga Tionghoa muslim bermazhab Hanafi dari [[Yunnan]]</ref> '''Namun, catatan Kronik Tiongkok dari Klenteng Sam Po Kong ini diragukantidak kebenarannyabenar dan tidak ditemukan bukti fisiknya karena merupakan propaganda Belanda untuk mengaburkan sejarah Indonesia.'''<ref>Suryanegara, Ahmad Mansur. "Api Sejarah, jilid 1." Bandung, Salamadani (2012).</ref>
Dalam [[Serat Darmo Gandhul]], Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu [[Brawijaya]] yang merupakan seorang muslimah.
 
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Maulana Malik Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku [[Hui]] dari [[Yunnan]] yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Arab dan Asia Tengah (Samarkand/Asmarakandi). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh/Abu Hurairah (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati puteri raja Champa yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Raja Champa saat itu merupakan seorang muallaf. Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh akhirnya tidak kembali ke negerinya karena Kerajaan Champa dihancurkan oleh Kerajaan Viet Nam.
 
Menurut [[Hikayat Banjar dan Kotawaringin]] (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan [[Kesultanan Pasai|Pasai]]. Dia datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya [[Patih Udara|Patih Maudara]] (kelak [[Brawijaya VII]]) . Dipati Hangrok (alias [[Girindrawardhana]] alias [[Brawijaya VI]]) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut [[Pangeran Giri]]. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibu kota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai istri oleh [[Sunan Kudus]] (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai [[Pangeran Bonang]]. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai [[Pangeran Makhdum]].