Aksara Bali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: +{{Authority control}}
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 18:
}}
 
'''Aksara Bali''', juga dikenal sebagai '''Hanacaraka''', adalah salah satu [[aksara Nusantara|aksara tradisional Indonesia]] yang berkembang di Pulau [[Bali]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[bahasa Bali|Bali]], [[Sanskerta]], dan [[bahasa Kawi|Kawi]], namuntetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti [[bahasa Sasak]] dan [[bahasa Melayu|Melayu]] dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari aksara [[aksara Brahmi|Brahmi]] India melalui perantara [[aksara Kawi]] dan berkerabat dekat dengan [[aksara Jawa]]. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.{{sfn|Everson|2005|pp=1}}
 
Aksara Bali adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari sekitar 18 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara [[Aksara Brahmi|Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Bali adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dengan sejumlah [[tanda baca]].
Baris 41:
}}
{{main|Lontar}}
Aksara Bali kebanyakan ditemukan dalam media [[lontar]], yakni daun palem yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Media ini telah digunakan di Indonesia sejak periode Hindu-Buddha dan memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Bali, palem yang digunakan sebagai bahan dasar lontar adalah [[siwalan|palem tal]] (''Borassus flabellifer'', disebut juga palem siwalan). Hanya palem dari tempat-tempat tertentu yang daunnya layak dipakai untuk dijadikan media tulis, dan di Bali palem yang dianggap paling baik berasal dari daerah kering di utara kabupaten [[Karangasem]], di sekitar [[Culik]], [[Kubu, Karangasem|Kubu]], dan [[Tianyar, Kubu, Karangasem|Tianyar]]. Daun palem dipetik pada bulan-bulan tertentu ketika daun palem sudah cukup berkembang namun belum menjadi terlalu tua, umumnya sekitar bulan Maret–April atau September–Oktober.{{sfn|Hinzler|1993|pp=443-444}} Daun yang telah dipetik kemudian dibelah dan dijemur, proses ini membuat warna daun yang semula hijau menjadi kekuningan. Setelah itu, daun direndam di dalam air selama beberapa hari, digosok, kemudian dijemur kembali. Setelah pengeringan kedua, lidi tiap daun dibuang. Daun kering kemudian direbus dalam campuran herbal yang bertujuan untuk mengeraskan dan memperkuat lontar. Setelah direbus selama kurang lebih 8 jam, daun diangkat, kemudian dijemur kembali namun dibasahi secara berkala. Berikutnya, daun ditekan dengan alat penjepit yang disebut ''pamlagbagan'' atau ''pamĕpĕsan'' agar permukaannya mulus dan rata. Daun ditekan selama kurang lebih 15 hari, namuntetapi dikeluarkan secara berkala untuk digosok dan dibersihkan. Setelah dianggap cukup mulus, daun dipotong sesuai ukuran pesanan, dilubangi, dan diberi garis bantu; lembar lontar kini siap ditulisi.{{sfn|Hinzler|1993|pp=447-448}}
 
Lembar lontar yang siap ditulisi, disebut sebagai ''pĕpĕsan'', memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil yang disebut ''pangropak'' atau ''pangutik''. Teknik pengguratan lontar cenderung menghasilkan bentuk yang banyak melengkung dan membulat,{{sfn|Hinzler|1993|pp=461}} hal inilah yang menjadi cikal bakal bentuk aksara Bali. Lembar yang telah ditulisi disebut sebagai ''lĕmpir''.{{sfn|Hinzler|1993|pp=447-448}} Setelah selesai ditulis, guratan aksara pada ''lĕmpir'' dihitamkan dengan cara diseka campuran jelaga serta minyak [[kemiri]] yang akan masuk ke sela-sela guratan dan membuat aksara menjadi lebih jelas terlihat. Setelah selesai dihitamkan, ''lĕmpir'' dibersihkan dan diusap dengan campuran herbal seperti minyak [[sereh]] yang bertujuan untuk mencegah kerusakan akibat cuaca atau serangga. Pengusapan ini perlu dilakukan secara berkala agar ''lĕmpir'' tetap awet. Kumpulan ''lĕmpir'' yang telah ditulisi kemudian disatukan dengan tali yang kedua ujungnya dapat diapit dengan sampul kayu bernama ''cakĕpan''. Jika tidak diapit dengan ''cakĕpan'', lontar dapat disimpan dalam kantong kain (''ulĕs''), tabung bambu (''bungbung''), atau kotak kayu bernama ''kropak'' untuk naskah-naskah yang dianggap sangat penting.{{sfn|Hinzler|1993|pp=450-451}}{{sfn|Hinzler|1993|pp=455-457}}
Baris 60:
|}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een groep mannen leest (en beschrijft) een lontarhandschrift in een ruimte naast de poort van een tempel op Bali TMnr 60048984.jpg|ka|300px|jmpl|Perkumpulan membaca lontar (''sĕkaha mabasan'') di Bali antara tahun 1910 hingga 1920]]
Dalam masyarakat Bali dan Lombok pra-kemerdekaan, aksara Bali aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat untuk menuliskan sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Kebanyakan teks sastra disusun dalam bentuk [[tembang]] yang dirancang untuk dilantukan, sehingga teks tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, namuntetapi juga dari irama dan nada pelantunan. Sastra Bali juga digubah menggunakan sejumlah bahasa; Sastra umum digubah dengan [[bahasa Bali]] halus yang menggunakan banyak kosakata Kawi, sementara sastra klasik dengan derajat yang tinggi, semisal ''[[kakawin]]'', digubah sepenuhnya dengan [[bahasa Kawi]] dan [[Sanskerta]]. Dalam perkembangannya, berkembang pula genre sastra seperti ''[[geguritan|gĕguritan]]'' yang dapat digubah menggunakan bahasa Bali sehari-hari dan bahkan bahasa [[Bahasa Melayu|Melayu]].{{sfn|Rubenstein|1996|pp=138}}<ref name="creese">{{cite journal|url=http://lib.perdana.org.my/PLF/PLF2/Digital_Content/PLF/000013/OCRed/1006722.pdf|last=Creese|first=Helen|date=August, 2007|title=Curious Modernities: Early Twentieth-Century Balinese Textual Explorations|journal=The Journal of Asian Studies|volume=66|issue=3|page=729}}{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>{{efn|Sebagai ''[[lingua franca]]'' di Nusantara, banyak kalangan ningrat Bali pra-kemerdekaan yang fasih berbahasa Melayu untuk keperluan surat-menyurat dan diplomasi. Tidak jarang ditemukan karya sastra Bali dengan sejumlah kata serapan Melayu, dan beberapa karya bahkan digubah sepenuhnya dengan bahasa Melayu, salah satunya adalah [https://palmleaf.org/wiki/geguritan-nengah-jimbaran ''Gĕguritan Nĕngah Jimbaran''] yang ditulis di awal abad ke-20 oleh Raja Badung VII, [[I Gusti Ngurah Made Agung]] (1876–1906).<ref name="creese"/>}} Selain itu, sastra Sasak di Lombok juga banyak digubah menggunakan [[bahasa Jawa]] halus, dan beberapa digubah dengan [[bahasa Sasak]].{{sfn|Meij|1996|pp=155-156}}{{sfn|Austin|2010|pp=36}} Karena banyak karya sastra memiliki bahasa halus yang arkais, teks umum dibaca bersama-sama dengan cara yang umum dikenal sebagai ''pĕsantian'' di Bali dan ''pĕpaosan'' di Lombok. Dalam cara ini, suatu teks dibaca berganti-gantian oleh dua orang pembaca: pembaca pertama melantunkan cuplikan teks dengan nada dan irama yang sesuai tembang, sementara pembaca kedua memberikan terjemahan dan [[parafrase]] yang dapat menjelaskan maksud cuplikan teks tersebut kepada para hadirin. Pembaca yang terampil sering kali diundang untuk membacakan cuplikan lontar dengan tema yang sesuai acara untuk meningkatkan kekhidmatan upacara. Semisal di Bali, upacara pernikahan dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pernikahan [[Arjuna]] dari ''[[Arjunawiwaha|Kakawin Arjunawiwāha]]''.{{sfn|Rubenstein|1996|pp=147}} Sementara itu di Lombok, upacara potong rambut bayi (''ngurisan'') dapat dilengkapi dengan pembacaan adegan pemotongan rambut [[Nabi Muhammad]] dari ''Aparas Nabi''.{{sfn|Meij|1996|pp=158}}<ref>{{cite journal|url=https://www.academia.edu/7007252/Nabi_Aparas._The_Shaving_of_the_Prophet_Muhammads_Hair._A_facsimile_edition_of_a_Javanese_manuscript_from_Lombok_MS_M.53_in_the_private_collection_of_Dick_van_der_Meij|title=|first=Dick van der|last=Meij|title=Nabi Aparas. The Shaving of the Prophet Muhammad's Hair. A facsimile edition of a Javanese manuscript from Lombok MS M.53 in the private collection of Dick van der Meij|journal=Manuscripta Indonesica volume 6|isbn=9073006082|issn=0929-6484|year=1996|publisher=Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS)}}</ref> Pada tingkat dusun, kegiatan ini diwadahi oleh perkumpulan yang bertemu secara berkala untuk membahas (''mabasan'') isi lontar dan berlatih ''pĕsantian/pĕpaosan''. Kegiatan ini terdokumentasi telah dilakukan di kalangan ningrat dan pendeta sejak abad ke-19, namuntetapi kemudian menyebar ke masyarakat umum pada awal abad ke-20.{{sfn|Rubenstein|1996|pp=144-147}}
 
Selain sastra, aksara Bali juga lumrah digunakan dalam surat dan catatan untuk berbagai kegiatan sehari-hari, dari agenda bertani hingga bukti pembayaran pajak. Sejumlah desa di Bali bahkan memiliki sistem administrasi tradisional yang menuliskan berbagai perihal desa, seperti aturan (''awig-awig''), organisasi masyarakat (''sĕkaha''), dan koordinasi [[subak]], dalam catatan lontar yang dipertanggung-jawabkan oleh seorang sekretaris (''panyarikan''). Kebanyakan catatan ini ditulis dalam bahasa sehari-hari, namuntetapi tidak jarang ditemukan catatan dengan banyak campuran kata-kata Kawi atau bahkan sepenuhnya menggunakan bahasa Kawi, terutama untuk urusan resmi yang melibatkan kaum ningrat.{{sfn|Rubenstein|1996|pp=40}}{{sfn|Hinzler|1993|pp=456}}
 
Bersamaan dengan meningkatnya ketersediaan kertas di Bali pada awal abad ke-20, berkembang pula teknologi cetak aksara Bali yang diprakarsai oleh pemerintahan [[Hindia Belanda]]. Fon aksara Bali cetak pertama dikembangkan oleh [[Percetakan Negara Republik Indonesia|Landsdrukkerij]] atau Percetakan Negeri di [[Batavia]] untuk kamus Kawi-Bali-Belanda karya [[Herman Neubronner van der Tuuk]] yang dicetak pada tahun 1897. Semenjak itu materi cetak beraksara Bali dihasilkan oleh sejumlah penerbit, utamanya buku-buku pelajaran yang digunakan di sekolah rakyat dan sastra Kawi yang digarap oleh akademisi, setidaknya hingga 1942 ketika Jepang mulai [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|menduduki Indonesia]].{{sfn|Hinzler|1993|pp=458}}{{sfn|Rubinstein|1996|pp=151-153}} Fon cetak ini masih disimpan oleh Percetakan Bali yang dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Bali, namuntetapi percetakan massal aksara Bali kini mengandalkan fon komputer yang pembuatannya diprakarsai oleh I Made Suatjana pada 1980-an.{{sfn|Suasta|1996|pp=56-59}}<ref>{{cite web|url=https://bali.tribunnews.com/2019/03/02/kisah-suatjana-mendigitalisasi-aksara-bali-raih-penghargaanbali-kerthi-nugraha-mahottama-2019|publisher=BALI.TRIBUNNEWS.com|access-date=17 Mei 2020|title=Kisah Suatjana Mendigitalisasi Aksara Bali, Raih Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama 2019|date=2 Maret 2019|first=Wema Satya|last=Dinata|editor1-first=Irma |editor1-last=Budiarti}}</ref>
 
=== Penggunaan kontemporer ===
Baris 74:
== Bentuk ==
=== Aksara ===
''Aksara'' merupakan huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Bali memiliki sekitar 45 aksara dasar, namuntetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi dibedakan secara fonetis dan hanya digunakan untuk ejaan etimologis dalam konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Bali dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
==== ''Wyañjana'' ====
''Aksara wyañjana'' ({{Script/Bali|ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬯ᭄ᬬᬜ᭄ᬚᬦ}}) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/. Sebagai salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]], aksara Bali memiliki 33 aksara ''wyañjana'' untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa [[Sanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Everson|2005|pp=1}}{{sfn|Suasta|1996|pp=10-12}}
Baris 278:
</small>
|}
Meski pelafalannya tidak lagi dibedakan, ''śwalalita'' tetap lumrah digunakan dalam berbagai kata karena tata tulis Bali mempertahankan banyak aspek dari ejaan Sanskerta-Kawi. Sebagai contoh, kata ''desa'' tidak ditulis menggunakan aksara ''wrĕṣāstra sa danti'' {{Script/Bali|ᬤᬾᬲ}}. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan tersebut dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena ''desa'' merupakan kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: ''deśa'' {{Script/Bali|ᬤᬾᬰ}}, menggunakan aksara ''śwalalita sa saga'' {{Script/Bali|ᬰ}} alih-alih ''sa danti'' {{Script/Bali|ᬲ}}. Bahasa Bali tidak membedakan pelafalan antara ''sa saga'' dan ''sa danti'', namuntetapi ejaan asli yang menggunakan ''sa saga'' tetap dipertahankan dalam penulisan. Pengejaan berdasarkan akar kata (alih-alih pelafalan kontemporer) ini dikenal sebagai ''pasang pagĕh'', yang salah satu fungsinya adalah untuk membedakan sejumlah [[homofon|kata yang kini bunyinya sama]], misal antara ''pada'' ({{Script/Bali|ᬧᬤ}}, tanah/bumi), ''pāda'' ({{Script/Bali|ᬧᬵᬤ}}, kaki), dan ''padha'' ({{Script/Bali|ᬧᬥ}}, sama), serta antara ''asta'' ({{Script/Bali|ᬳᬲ᭄ᬢ}}, adalah), ''astha'' ({{Script/Bali|ᬳᬲ᭄ᬣ}}, tulang), dan ''aṣṭa'' ({{Script/Bali|ᬅᬱ᭄ᬝ}}, delapan).{{sfn|Medra|1994|pp=44}}{{sfn|Tinggen|1993|pp=7}}{{sfn|Sutjaja|2006|pp=735-739}}
 
==== ''Swara'' ====
Baris 330:
 
==== ''Modre'' ====
''Aksara modre'' ({{Script/Bali|ᬳᬓ᭄ᬱᬭᬫᭀᬤ᭄ᬭᬾ}}) adalah aksara suci yang terutama dipakai dalam bidang keagamaan untuk upacara, [[mantra]], [[jimat|rajah]], dan fungsi-fungsi keramat lainnya. Aksara tipe ini memiliki berbagai macam rupa, namuntetapi umumnya ditandai dengan adanya diakritik ''ulu candra'' atau ulu ''ricĕm''. Pembahasan mengenai rupa dan jenis ''modre'' dapat ditemukan pada lontar dengan judul ''krakah'' atau ''griguh''. Beberapa contohnya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Suasta|1996|pp=12-15}}<ref>{{Cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=UsatSgAACAAJ&dq=bagus+1980&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiinu_9ybDpAhVZSX0KHSO-C2UQ6AEIWzAG|title=Aksara dalam kebudayaan Bali: suatu kajian antropologi|last=Bagus|first=I Gusti Ngurah |year=1980|publisher=Universitas Udayana|language=id|page=10|oclc=25405944}}</ref>{{sfn|Tinggen|1994}}
 
{| class="wikitable" style="width:40%;"