Aksara Nusantara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambahkan Jenis Aksara
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 1:
<!--[[Berkas:Kartu pos beraksara Nusantara.jpg|jmpl|Kartu pos beraksara Nusantara. Dari atas: [[aksara Bali]], [[Abjad Jawi|aksara Jawi]], [[Aksara Sunda Baku|aksara Sunda]], [[aksara Lampung]], [[aksara Jawa]] dan [[Surat Batak|aksara Batak]].]]-->'''Aksara Nusantara''' merupakan ragam [[aksara]] atau tulisan tradisional yang digunakan di wilayah [[Nusantara]]. Istilah ini umumnya digunakan untuk merujuk pada aksara-aksara [[abugida]] turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Sebagian besar aksara Nusantara masih diajarkan sebagai bagian dari muatan lokal di daerah masing-masing, namuntetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
== Pengantar ==
Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan [[prasasti]] mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarmman, Raja [[Kutai]] di daerah [[Kalimantan Timur]]. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan [[aksara Pallawa]] dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.
Baris 112:
Ada pendapat sebelum hadir [[abjad Arab]] dan [[abjad Latin|Latin]] sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan [[Asia Tenggara]] (kecuali di [[Vietnam]] dan sebagian kalangan penduduk Tiongkok Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh [[India]]. Begitu pun halnya yang terjadi di [[Nusantara]]. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di [[Nusantara]] hadir sejalan dengan berkembangnya unsur ([[Hindu]]-[[agama Buddha|Buddha]]) dari [[India]] yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah bentuk aksara (de Casparis:1975).
 
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli [[epigrafi]] yang berkebangsaan [[Prancis]] bernama Louis Charles Damais (l951–55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan [[India]] ke [[Nusantara]] kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak dimungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang metampakkan aliran [[India Selatan]] atau aliran [[India Utara]], namuntetapi juga cukup rumit dan sulit ditentukan dari mana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
 
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Baris 290:
|}
 
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya kemiripan berlangsung hingga abad ke-8 Masehi. Meskipun dalam beberapa hal masih memperlihatkan pengaruh [[Pallawa]] seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara Pasca-Pallawa, namuntetapi hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad ke-8 Masehi telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki corak-corak khusus (tersendiri).
 
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di [[Sumatra]] dan [[Jawa]] mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. [[Malayu Kuno]], [[Jawa Kuno]], [[Sunda Kuno]] dan [[Bali Kuno]]).