Suku Batak: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
kTidak ada ringkasan suntingan Tag: Pengembalian manual VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 71:
|pop10 = '''5.400'''
|langs= [[Bahasa Batak Toba|Toba]]<br />[[Bahasa Mandailing|Mandailing]]<br />[[Bahasa Batak Pakpak|Pakpak]]<br />[[Bahasa Batak Simalungun|Simalungun]]<br />[[Bahasa Batak Angkola|Angkola]]
|rels=<br>• [[Kristen]]
| title = Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies. p. 271.
| date = 2015
Baris 216:
== Kontroversi ==
Sebagian/segelintir orang [[Mandailing]] dan [[Pakpak]] sempat tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Meski mayoritas masih mengakui dirinya bagian dari suku Batak, wacana identitas itu sempat muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang primitif dan miskin oleh etnik lain masa Orde Baru. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatra, khususnya di [[Kota Medan]], perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Dairi & Mandailing, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan daru wilayah itu.
Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922),<ref>{{cite book | last =Perret | first =Daniel | authorlink = | coauthors = | title =La Formation d'un Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est | publisher =École Française d'Extrême-Orient | date = | location = Paris | url = | doi = | isbn = | page = 316-325 }}</ref> dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).
|