Hak fetus: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
Baris 22:
Pengertian aborsi menurut ''[[Organisasi Kesehatan Dunia|World Health Organization]]'' adalah sebuah operasi atau prosedur untuk mengakhiri kehamilan atau janin yang tidak dapat hidup,<ref>{{Cite journal|last=F.|first=W. T.|last2=Organization|first2=World Health|date=1971-12|title=Spontaneous and Induced Abortion|url=http://dx.doi.org/10.2307/2528862|journal=Biometrics|volume=27|issue=4|pages=1111|doi=10.2307/2528862|issn=0006-341X}}</ref> Lalu menurut ''Black’s Law Dictionary'', aborsi adalah keguguran dengan keluarnya [[embrio]] yang tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan atau provokasi manusia.<ref>{{Cite journal|last=Bari|first=Fathol|date=2020-08-31|title=TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM, KRIMINOLOGI DAN VIKTIMOLOGI|url=http://dx.doi.org/10.33474/hukum.v9i2.7388|journal=Negara dan Keadilan|volume=9|issue=2|pages=117|doi=10.33474/hukum.v9i2.7388|issn=2302-7010}}</ref> Pada setiap negara di dunia ini memiliki hukum nasionalnya masing-masing, salah satunya adalah aturan mengenai aborsi. Aturan mengenai aborsi di [[Prancis]] pada awalnya disahkan oleh ''Law No. 75-17 of January 1975 Regarding Voluntary Interruption of Pregnancy'', namun sebagian besar aturan terkini dapat ditemukan di ''Public Health Code''. Hukum di Prancis mengizinkan perempuan untuk melakukan aborsi hingga akhir dari minggu kedua belas kehamilan, jika sudah lebih dari dua belas minggu maka hukum Prancis hanya mengizinkan melakukan aborsi jika mendapat konfirmasi dari dokter dan setelah berkonsultasi bahwa dengan mengandung hingga waktunya akan membahayakan kesehatan sang ibu, atau terdapat kemungkinan akan bermasalah kesehatan sang anak jika dilahirkan.
 
Mengenai aborsi di Indonesia sendiri sebenarnya dilarang menurut [[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana|Kitab Undang – Undang Hukum Pidana]] (KUHP) pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 di mana pasal – pasal tersebut menyatakan bahwa aborsi merupakan perbuatan [[kejahatan]] dan dapat dipidana. Namun menurut pasal 75 ayat (2) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang [[Kesehatan]], yang selanjutnya disebut UU Kesehatan dan pasal 31 [[Peraturan Pemerintah (Indonesia)|Peraturan Pemerintah]] Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang disebut UU Kesehatan Reproduksi, menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika berindikasi kedaruratan "medis" yang mengancam nyawa ibu dan janin, kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan, serta dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari, dihitung dari hari pertama datang bulan terakhir. Dalam [[Hukum internasional|Hukum Internasional]] sebenarnya belum terdapat aturan yang menyatakan secara eksplisit bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia. Namun, pernyataan yang paling jelas dan tegas mengenai hak perempuan untuk mengakses aborsi dalam teks perjanjian hak asasi manusia di dalam ''Protocol on the Rights of Women in Africa'' atau dikenal juga sebagai ''African Women’s Protocol'', yang diadopsi oleh ''Union Afrika'' pada 11 Juli 2003.<ref>{{Cite journal|last=Murungi|first=Lucyline Nkatha|date=2015|title=The sexual and reproductive health rights of women with disabilities in Africa: Linkages between the CRPD and the African Women’s Protocol|url=http://dx.doi.org/10.17159/2413-7138/2015/v3n1a1|journal=African Disability Rights Yearbook|volume=3|issue=1|pages=1–17|doi=10.17159/2413-7138/2015/v3n1a1|issn=2413-7138}}</ref> Bertujuan untuk mengisi kesenjangan atau celah dari ''African Charter on Human and People’s Rights 1981'' atau biasa disebut ''African Charter.'' <ref>{{Cite journal|date=2005-01-01|title=African [Banjul] Charter on Human and Peoples' Rights, Adopted June 27, 1981, OAU Doc. CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (1982), entered into force Oct. 21, 1986|url=http://dx.doi.org/10.1093/rsq/hdi035|journal=Refugee Survey Quarterly|volume=24|issue=2|pages=150–150|doi=10.1093/rsq/hdi035|issn=1020-4067}}</ref>
 
Protokol tersebut menyatakan: Negara pihak harus mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi hak reproduksi wanita dengan mengizinkan aborsi medis dalam kasus-kasus seperti [[kekerasan seksual]], [[pemerkosaan]], [[Hubungan sedarah|inses]], dan di mana kondisi [[kehamilan]] yang berlanjut membahayakan kesehatan [[Budi|mental]] dan [[fisik]] dari sang ibu atau kehidupan sang ibu atau janinnya. ''African Women’s Protocol'' pada saat itu merupakan satu-satunya instrumen HAM yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia dan meyakinkan bahwa hak [[reproduksi]] wanita adalah hak asasi manusia.<ref name=":0">{{Cite journal|last=NurajaGawaya|first=Siti HawaRose|last2=Mukasa|first2=Rosemary|date=20172005-06-1311|title=PELAKSANAANThe PASAL-PASALAfrican 3women's AYATprotocol: (2)A SAMPAInew PASALdimension 5for DANwomen's PASALrights 7in AYAT (2) PADA PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA TAHUN 1980 - 1982Africa|url=http://dx.doi.org/10.211431080/jhp.vol15.no5.116513552070512331332296|journal=Jurnal HukumGender & PembangunanDevelopment|volume=1513|issue=53|pages=48642–50|doi=10.211431080/jhp.vol15.no5.116513552070512331332296|issn=25031355-14652074}}</ref>
 
''African Women’s Protocol'' pada saat itu merupakan satu-satunya instrumen HAM yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa aborsi merupakan hak asasi manusia dan meyakinkan bahwa hak [[reproduksi]] wanita adalah hak asasi manusia.<ref>{{Cite journal|last=Gawaya|first=Rose|last2=Mukasa|first2=Rosemary|date=2005-11|title=The African women's protocol: A new dimension for women's rights in Africa|url=http://dx.doi.org/10.1080/13552070512331332296|journal=Gender & Development|volume=13|issue=3|pages=42–50|doi=10.1080/13552070512331332296|issn=1355-2074}}</ref>
 
{{Hak Asasi Manusia}}
 
Terobosan yang terjadi pada tahun 2008 mengenai hak perempuan untuk aborsi dikeluarkan pada 16 April 2008 oleh ''Parliamentary Assembly of the Council of Europe'' yang mewakili 47 negara bagian [[Eropa]], yang kebanyakan dari anggota parlemen mengadopsi sebuah laporan yang dikeluarkan oleh ''Committee on Equal Opportunities for Women and Men yang berjudul ‘Access to Safe and Legal Abortion in Europe’'' atau disebut juga ''‘the Report’''. Yang di mana ''the Report'' tersebut memanggil negara-negara anggota untuk mendekriminalisasi aborsi, menjamin hak perempuan untuk melakukan aborsi yang aman dan legal, dan mengadopsi strategi dan kebijakan kesehatan seksual dan reproduksi, seperti akses untuk kontrasepsi dengan biaya yang masuk akal dan jenis yang sesuai.<ref>{{Cite journal|date=1983-05|title=Council of Europe: Parliamentary Assembly Recommendation on Extradition of Criminals|url=http://dx.doi.org/10.1017/s0020782900031454|journal=International Legal Materials|volume=22|issue=3|pages=681–682|doi=10.1017/s0020782900031454|issn=0020-7829}}</ref> Selain itu, menurut ''General Comment No. 36 (2018) on article 6 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) on the right to life'' menyatakan bahwa anggota negara bagian harus menyediakan akses yang aman, legal, dan efektif untuk aborsi di mana kehidupan dan kesehatan wanita hamil berada dalam bahaya, dan di mana kehamilan tersebut akan menyebabkan wanita hamil sakit atau menderita, terutama jika kehamilan tersebut hasil dari pemerkosaan atau [[Hubungan sedarah|inses]].
 
''Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)'' adalah perjanjian hak asasi manusia yang secara khusus menegaskan hak-hak reproduksi wanita. Terdapat dua pasal di dalam [[Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita|CEDAW]] secara khusus dapat dibilang mendukung hak asasi perempuan untuk melakukan aborsi, yaitu: pasal 12 ayat (1) dan pasal 14 ayat (2) huruf (a) dan (b). Pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi:
Baris 43 ⟶ 41:
 
=== Legalitas Hukuman Mati Terhadap Orang yang Melakukan Aborsi Dalam Hukum Internasional Hak Asasi Manusia ===
Legalitas hukuman mati di dalam hukum internasional dipertanyakan karena terdapatnya hukuman mati atas tindakan aborsi di beberapa negara, yang hukuman tersebut merupakan pelanggaran dari HAM internasional. Hak asasi manusia internasional sendiri adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Mereka dilindungi oleh perjanjian hak asasi manusia internasional dan prinsip – prinsip hukum internasional yang sudah lama ditetapkan. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] menetapkan hak asasi manusia sebagai "standar umum dari pencapaian untuk semua orang dan semua bangsa".<ref>{{Cite book|date=1997|url=http://dx.doi.org/10.2458/azu_acku_pamphlet_hq1236_5_a3_u558_1997|title=Universal Declaration of Human Rights (UDHR) and Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW) / United Nations Development Programme (UNDP).|publisher=University of Arizona Libraries}}</ref> Kegagalan untuk memberikan perlindungan yang menghargai martabat yang melekat dari mereka yang dihukum sampai mati, merupakan pelanggaran dari standar internasional. Standar internasional yang dimaksud di sini ialah yang melarang penyiksaan atau segala bentuk kekejaman, biadab, atau perlakuan atau hukuman yang merendahkan.<ref>{{Cite journal|last=Whittaker|first=Alison|date=2019-07-03|title=One-Punch Drunk: White Masculinities as a Property Right in New South Wales’ Assault Causing Death Law Reforms|url=http://dx.doi.org/10.1080/13200968.2020.1794427|journal=Australian Feminist Law Journal|volume=45|issue=2|pages=295–319|doi=10.1080/13200968.2020.1794427|issn=1320-0968}}</ref> Larangan penyiksaan adalah norma yang harus ditaati yang ditetapkan, tanpa syarat atau pengecualian, dalam instrumen dasar hak asasi manusia, yaitu [[UDHR]],<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref> beserta 2 (dua) ketentuan [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]]<ref name=":0" />, dan berbagai instrumen HAM regional.<ref>{{Cite book|date=2018-10-25|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781316677117.093|title=International Human Rights Law Documents|publisher=Cambridge University Press|isbn=978-1-316-67711-7|pages=736–741}}</ref> Menurut hukum internasional saat ini tidak ada larangan yang absolut mengenai penerapan hukuman mati yang mengikat semua negara di dunia.<ref name=":1">{{Cite web|title=Supplementum Epigraphicum GraecumSivrihissar (in vico). Op. cit. Op. cit. 334, n. 19.|url=http://dx.doi.org/10.1163/1874-6772_seg_a2_597|website=Supplementum Epigraphicum Graecum|access-date=2021-07-05}}</ref> Sebagai negara yang mengakui dan menghormati HAM beberapa diantaranya menyetujui untuk tidak menjatuhkan hukuman mati di dalam keadaan apapun. Meski begitu, masih terdapat sebagian kecil negara yang tetap mempertahankan hukuman mati dan menegaskan [[legitimasi]], legalitas, dan efektifitasnya. Namun, bahkan untuk negara-negara yang menjatuhkan hukuman mati, terdapat pembatas hukum internasional atas kejahatan dan kepada siapa yang dapat dijatuhi hukuman mati, serta prosedur yang harus diikuti jika hukuman mati akan diizinkan berdasarkan hukum internasional.<ref name=":1" /> Menurut [[ICC]] ''Statute'', kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati hanya merupakan kejahatan yang paling serius<ref>{{Cite journal|last=SIREGAR|first=NAEK|date=2014-03-24|title=ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP DAMPAK RADIASI NUKLIR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL (Studi Kasus Radiasi Nuklir Jepang Pasca Gempa Dan Tsunami)|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=5|issue=2|doi=10.25041/fiatjustisia.v5no2.65|issn=2477-6238}}</ref> yang menjadi perhatian komunitas internasional secara keseluruhan, yaitu: kejahatan [[genosida]], kejahatan [[perang]], kejahatan terhadap [[Humanisme|kemanusiaan]], dan kejahatan [[agresi]].<ref>{{Cite book|last=Novak|first=Andrew|date=2015|url=http://dx.doi.org/10.1007/978-3-319-15832-7_3|title=The International Criminal Court|location=Cham|publisher=Springer International Publishing|isbn=978-3-319-15831-0|pages=23–40}}</ref> Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa aborsi bukan merupakan kejahatan yang luar biasa dan merugikan banyak orang yang sehingga dapat dihukum mati, mengingat pada tahun 1948, PBB menyatakan di dalam pasal 3 [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]]<ref>{{Cite journal|title=UDHR Rights and Duties: Contrasted and Critiqued|url=http://dx.doi.org/10.1007/springerreference_306442|journal=SpringerReference|location=Berlin/Heidelberg|publisher=Springer-Verlag}}</ref> bahwa “semua orang memiliki hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan seseorang”. Dan di dalam pasal 6 ayat (1) dari [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik|ICCPR]]<ref>{{Cite journal|date=2020-06-30|title=International Covenant on Civil and Political Rights|url=http://dx.doi.org/10.1017/9781108689458.033|journal=A Commentary on the International Covenant on Civil and Political Rights|pages=860–869|doi=10.1017/9781108689458.033}}</ref> memberikan: “Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun akan semena-mena kehilangan nyawanya”. Hukuman mati tidak pernah konsisten dengan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, yaitu hak untuk hidup sesuai dengan Pasal 3 UDHR yang menyatakan bahwa kehidupan adalah hak asasi manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukuman mati yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, karena setiap orang di seluruh penjuru dunia memiliki hak yang melekat di dalam dirinya yang tidak dapat direnggut oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi dihukum mati dengan alasan melakukan aborsi.
 
== Hak-hak Keperdataan Janin dalam Hukum Islam ==
Baris 49 ⟶ 47:
 
=== Hak-hak Janin dalam Fikih Klasik ===
Janin merupakan salah satu tahap awal kehidupan manusia sebelum ia lahir dan menjadi [[subjek hukum]]. [[Al-Qur'an|Alquran]] telah menjelaskan bahwa manusia pertama-tama diciptakan dari tanah liat.<ref>{{Cite web|title=Sūrat al-Ḥijr (Aya 26 to 38)|url=http://dx.doi.org/10.1163/1875-3922_eqc_a340|website=Qurʾān Concordance|access-date=2021-07-07}}</ref> Setelah itu pada penciptaan selanjutnya anak manusia diciptakan secara bertahap. Tahap-tahap penciptaan tersebut meliputi tahap ''annuṭfah'', kemudian ''‘alaqah'', kemudian ''al-muḍgah'', hingga berbentuk lebih sempurna sebagai calon bayi yang lalu berkembang menjadi “makhluk lain” (''khalqan ākhar''), yaitu makhluk manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan ''insaniyah''.<ref>{{Cite journal|last=Alwi|first=Zulfahmi|date=2013-12-15|title=ABORTUS DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|journal=HUNAFA: Jurnal Studia Islamika|volume=10|issue=2|pages=293|doi=10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|issn=2355-7710}}</ref> Tahap-tahap perkembangan ini juga disebutkan oleh al-Ghazali.<ref>{{Cite journal|last=Alwi HS|first=Muhammad|last2=Hamid|first2=Nur|date=2020-01-30|title=Relasi Kelisanan Al-Qur’an dan Pancasila Dalam Upaya Menjaga dan Mengembangkan Identitas Islam Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.21580/ihya.21.1.4833|journal=International Journal Ihya' 'Ulum al-Din|volume=21|issue=1|pages=17–38|doi=10.21580/ihya.21.1.4833|issn=2580-5983}}</ref> Menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]] (KBBI) janin berarti bakal bayi (masih dalam kandungan), atau embrio setelah melebihi umur dua bulan.<ref>{{Cite book|last=Nasional.|first=Indonesia. Departemen Pendidikan|date=2008|url=http://worldcat.org/oclc/311800219|title=Kamus besar bahasa Indonesia.|publisher=Departemen Pendidikan Nasional|isbn=978-979-22-3841-9|oclc=311800219}}</ref> Janin dalam bahasa Arab berasal dari kata ''janīn'' (jamak: ''ajinnah'') secara harfiah berarti “yang terselubung atau tertutup”. Alquran menyebut [[janin]] sebagai makhluk yang dilahirkan di dalam tubuh wanita,<ref>{{Cite journal|last=Ulya|first=Nurun Najmatul|date=2020-12-25|title=Kajian terhadap Interpretasi Nicolai Sinai dalam An Interpretation of Sura>h al-Najm (QS.53)|url=http://dx.doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|journal=Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits|volume=14|issue=2|pages=179–204|doi=10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|issn=2714-7916}}</ref> terlepas dari tahap perkembangannya. Berdasarkan [[Ilmu Kedokteran|ilmu kedokteran]], janin telah terbentuk pada usia kehamilan delapan minggu. Pada usia ini barulah janin menunjukkan tanda vital manusia secara lengkap.<ref>{{Cite journal|date=1984-05|title=Intervention and reflection: Basic issues medical ethics2nd ed. By Ronald Munson. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., Inc., 1983. xvii + 589 pages. $23.95, hardcover|url=http://dx.doi.org/10.1016/0091-2182(84)90223-4|journal=Journal of Nurse-Midwifery|volume=29|issue=3|pages=223–226|doi=10.1016/0091-2182(84)90223-4|issn=0091-2182}}</ref> Sebelum berbentuk janin seutuhnya terlebih dahulu ia menjadi [[zigot]], [[blastokista]], dan [[Embrio|embrio.]] <ref>{{Cite journal|last=Heizer|first=Ruth B.|date=1983-12|title=Book Review: Birth and Death: Bioethical Decision-Making|url=http://dx.doi.org/10.1177/003463738308000414|journal=Review & Expositor|volume=80|issue=4|pages=609–610|doi=10.1177/003463738308000414|issn=0034-6373}}</ref> Berdasarkan [[perspektif]] hukum Islam, janin dilihat sebagai tahapan awal sebuah kehidupan manusia. Namun demikian, apakah janin yang ada dalam kandungan sudah bisa dikategorikan sebagai manusia, dengan segala hak yang melekat padanya, atau ia belum bisa dikatakan sebagai manusia sehingga hak-haknya juga tidak bisa disamakan dengan manusia yang telah lahir ke dunia. Berkaitan dengan hal ini, ada banyak pendapat di kalangan [[fukaha]]. Imam [[Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i|asySyafi’i]], misalnya, memahami istilah janin sebagai sebuah simbol dari tahap akhir dari sebuah proses pembuahan [[Spermatozoid|sperma]] terhadap [[sel telur]] yang berujung pada lahirnya seorang anak kecil atau bayi dari kandungan ibunya. Sementara an-Nuwairi menyebutkan bahwa janin baru bisa disebut janin jika sudah ditiupkan ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para juris Islam pada umumnya menyatakan bahwa proses kehidupan manusia sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, yakni bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan.<ref>{{Cite web|last=Dewa|first=Ananda Dharmawan Kustia|date=2020-09-12|title=Pandangan Hukum dan Kesehatan Terhadap Aborsi dan Euthanasia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/cws2x|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Perlindungan hak-hak janin secara perspektif hukum Islam dapat diwujudkan dengan memanfaatkan asas dan kaidah fikih untuk merumuskan substansi hukum dan kemudian mentransformasikannya menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Peran hukum Islam secara materi untuk mengatur dan mengikat sejatinya ada pada berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam [[hukum pidana]], hukum keluarga, maupun hukum keperdataan lainnya.<ref>{{Cite web|last=gumanti|first=Adinda Febrian|date=2020-03-24|title=Tata peraturan perundang-undangan yang pernah ada di indonesia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/tdj8n|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan istilah khusus untuk pengertian perlindungan atas hak anak. Istilah yang mendekati adalah ''haḍānah,'' yang berarti memelihara dan mendidik anak. Selain ''haḍānah'', terdapat istilah ''al-wilāyat'' yang memiliki makna perwalian. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ''al-wilāyat'' dapat bermakna perwalian atas diri (''wilāyat ‘ala an-nafs'') dan perwalian atas harta ''(wilāyat ‘ala al-māl''). Perwalian atas diri yakni perwalian atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan mental, termasuk ''haḍānah'' di dalamnya. Sedangkan perwalian harta merupakan perwalian dalam hal pengelolaan harta benda, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, dan hutang-piutang.<ref>{{Cite journal|date=1998|title=The Concept Of Custody In Islamic Law|url=http://dx.doi.org/10.1163/026805598125826076|journal=Arab Law Quarterly|volume=13|issue=2|pages=155–177|doi=10.1163/026805598125826076|issn=0268-0556}}</ref> Secara sederhana, perbedaan antara ''haḍānah'' dan ''wilāyat'' layaknya perbedaan antara ''physical custody'' dan ''legal custody'' yang di beberapa negara bagian [[Amerika (disambiguasi)|Amerika]].<ref>{{Cite journal|last=Ibrahim|first=Ahmed Fekry|date=2015-12-14|title=The Best Interests of the Child in Pre-modern Islamic Juristic Discourse and Practice|url=http://dx.doi.org/10.5131/ajcl.2015.0026|journal=American Journal of Comparative Law|volume=63|issue=4|pages=859–891|doi=10.5131/ajcl.2015.0026|issn=0002-919X}}</ref>
 
Secara umum, di antara hak-hak anak dalam Islam yakni: (1) hak hidup, (2) hak pengakuan nasab, (3) hak mendapat nama yang baik, (4) hak mendapatkan penyusuan, (5) hak memperoleh pengasuhan dan perawatan, (6) hak mendapatkan nafkah, (7) hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan (8) hak diperlakukan secara adil.<ref>{{Cite journal|last=Djamal|first=Djamal|date=2018-12-29|title=WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|journal=Al-Bayyinah|volume=2|issue=2|pages=117–134|doi=10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|issn=1979-7486}}</ref> Kedelapan hak anak ini bersifat general, tidak secara khusus melihat hak keperdataan anak. Sejatinya, kecakapan anak menerima hak dimulai sejak kelahiran, tetapi anak yang masih dalam kandungan dapat mewarisi dan menerima warisan, dapat menerima harta dengan jalan wasiat, berhak dibebaskan dari perbudakan, berhak mendapat nasab, dan hak wakaf.<ref>{{Cite journal|last=Coulson|first=N. J.|date=1965-01|title=An Introduction to Islamic Law. By Joseph Schacht. [Oxford: The Clarendon Press. 1964. viii and 304 pp. £2 8s.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.1.336|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=1|pages=336–338|doi=10.1093/iclqaj/14.1.336|issn=0020-5893}}</ref> Tiga di antara hak ini (hak waris, wasiat, dan wakaf) merupakan hak keperdataan. Ketiga hak inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut pada bagian berikut ini.
 
==== Hak Waris Janin dalam Fikih ====
Berdasar hukum Islam, janin baru mendapatkan bagian dari harta warisan apabila memenuhi dua syarat yakni adanya kepastian keberadaan janin dalam kandungan sang ibu pada waktu meninggalnya sang pewaris dan janin terlahir dalam keadaan hidup. Berdasar [[hukum waris]] Islam dinyatakan, bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.<ref>{{Cite journal|last=Fithriani|first=Ahda|date=2016-02-03|title=PENGHALANG KEWARISAN DALAM PASAL 173 HURUF (a) KOMPILASI HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.547|journal=Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran|volume=15|issue=2|doi=10.18592/syariah.v15i2.547|issn=2549-001X}}</ref> Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara [[modern]], yakni memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris.<ref>{{Cite web|title=Al-Assaf, Dr Ibrahim Bin Abdul Aziz Bin Abdullah|url=http://dx.doi.org/10.1163/1570-6664_iyb_sim_person_36709|website=International Year Book and Statesmen's Who's Who|access-date=2021-07-07}}</ref> Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin.<ref>{{Cite journal|last=Hopley|first=Russell|date=2013-09-30|title=Tamimi, Abu al-ʿArab Muhammad bin Ahmad al-Qayrawani|url=http://dx.doi.org/10.1093/acref/9780195301731.013.50348|journal=African American Studies Center|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-530173-1}}</ref> Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan.<ref>{{Cite web|title=Muḥammad al-Ṣaghīr b. Aḥmad al-Bakkāʾī al-Kuntī|url=http://dx.doi.org/10.1163/2405-4453_alao_com_ala_40003_2_10|website=Arabic Literature of Africa Online|access-date=2021-07-07}}</ref> Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (''premarital child'').<ref>{{Cite journal|last=Nurlaelawati|first=Euis|last2=van Huis|first2=Stijn Cornelis|date=2019-12|title=THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK AND ADOPTED CHILDREN IN INDONESIA: INTERACTIONS BETWEEN ISLAMIC, ADAT, AND HUMAN RIGHTS NORMS|url=http://dx.doi.org/10.1017/jlr.2019.41|journal=Journal of Law and Religion|volume=34|issue=3|pages=356–382|doi=10.1017/jlr.2019.41|issn=0748-0814}}</ref> Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.
 
==== Hak Wasiat Janin dalam Fikih ====
Tidak jauh berbeda dengan kewarisan, bentuk perlindungan hukum Islam tentang pewasiatan atas hak-hak janin adalah dengan meletakkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh janin tersebut. Diskusi tentang wasiat dan waris dalam literatur fikih sering dibahas bersama atau berurutan satu sama lain. Hal ini karena keduanya memiliki persamaan, di antaranya adalah dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menerima hak wasiat ataupun waris. Janin memiliki hak wasiat seperti halnya dalam hak menerima waris, apabila sudah dapat dipastikan nasabnya. Pada hak waris, apabila janin belum terkonfirmasi sebagai keturunan yang sah dari pewaris maka tidak dapat dilangsungkan proses pewarisan antara pewaris dan janin tersebut. Pengaturan dalam hal wasiat, janin juga harus memiliki status hukum yang sah bahwa janin tersebut tersambung nasabnya kepada bapaknya. Karena apabila nasab janin terhalang atau terputus oleh satu hal seperti ''li’ān''<ref>{{Cite web|date=2005-08-12|title=Li’an (Saling Melaknat) {{!}} Almanhaj|url=https://almanhaj.or.id/1530-lian-saling-melaknat.html|website=almanhaj.or.id|language=en-US|access-date=2021-07-07}}</ref> maka wasiat terhadap janin dianggap batal. Seperti yang disebutkan dalam ''al-Mugni'', apabila diwasiatkan kepada anak dalam kandungan seorang perempuan dengan suaminya atau tuannya (apabila perempuan tersebut seorang hamba sahaya), maka wasiat tersebut sah untuk dilakukan dengan syarat kepastian nasab anak tersebut. Apabila nasabnya terhalang oleh ''li’ān'' maka wasiat tidak sah dilakukan karena kepastian nasab yang disyaratkan tidak terpenuhi.<ref>{{Cite journal|last=Khusairi|first=Halil|date=2016-03-30|title=Kajian terhadap Kitab Al-Kafi Fi Fiqh Imam Ahmad Karya Ibnu Qudamah|url=http://dx.doi.org/10.32694/010190|journal=Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Hukum|volume=14|issue=2|doi=10.32694/010190|issn=2654-3559}}</ref>
 
Syarat kedua adalah adanya kepastian keberadaan janin. Ulama Syāfi’iyyah dan Ḥanābilah mensyaratkan kepastian keberadaan janin ketika dilangsungkannya wasiat, sedangkan sebagian lain menyaratkannya ketika kematian yang memberi wasiat. Hal ini berkaitan dengan batas bawah dan batas atas umur kehamilan.<ref>{{Cite journal|last=Muranyi|first=Miklos|last2=Pouzet|first2=Louis|date=1986|title=Une hermeneutique de la tradition islamique: Le commentaire des arbaun al-nawawiya de Muhyi al-Din Yahya al-Nawawi|url=http://dx.doi.org/10.2307/1570801|journal=Die Welt des Islams|volume=26|issue=1/4|pages=230|doi=10.2307/1570801|issn=0043-2539}}</ref>
 
Adapun kaitannya dengan batas minimal usia kehamilan, para ulama Ḥanafiyyah, Syāfi’iyyah, dan Ḥanābilah berpendapat bahwa apabila kehamilan berlangsung kurang dari jangka waktu enam bulan dari berlangsungnya wasiat (baik masih dalam hubungan perkawinan atau tidak), maka janin tersebut berhak untuk mendapatkan hak wasiat. Apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu enam bulan lebih dan masih dalam hubungan perkawinan, maka janin tidak berhak atas wasiat. Hal ini karena adanya kemungkinan awal kehamilan terjadi setelah wasiat berlangsung, sedangkan apabila terlahir dalam jangka waktu enam bulan dan tidak dalam hubungan perkawinan maka janin berhak atas wasiat.<ref>{{Cite web|title=Ḥabīb Allāh b. al-Mukhtār b. Muḥammad [b. Muḥammad b. Sī. al-Mukhtār] al-Kuntī|url=http://dx.doi.org/10.1163/2405-4453_alao_com_ala_40003_2_24|website=Arabic Literature of Africa Online|access-date=2021-07-07}}</ref>
 
Berkaitan dengan batas maksimal usia kehamilan yang dapat diberikan wasiat, ada dua pendapat yang berbeda. Ulama Ḥanafiyyah berpendapat, apabila seorang ibu mengandung janin kurang dari dua tahun dan tidak dalam satu hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Sementara pendapat paling terkenal di kalangan ulama Syāfi’iyyah dan satu pendapat lain dari kalangan Ḥanābilah menyatakan, bahwa seorang perempuan apabila mengandung janin kurang dari jangka waktu empat tahun dan ia tidak dalam hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat.<ref>{{Cite journal|last=Al-Halloul|first=Gabr|date=2017|title=Qirâa fî Qawâid al-Harb wa Ahdâfuna fî al-Fikr ad-Dînî al-Islâmî wa al-Fikr ad-Dînî al-Yahûdî|url=http://dx.doi.org/10.29355/iuif.2018.33|journal=International Workshop on Religious Sciences|location=Uygulama Oteli Toplantı Salonu|publisher=Iğdır Üniversitesi|doi=10.29355/iuif.2018.33|isbn=978-605-83039-3-5}}</ref> Sama halnya dengan waris, batas minimal usia kehamilan menjadi syarat utama yang menentukan keabsahan wasiat.
Baris 70 ⟶ 68:
Pendapat lain dalam kalangan Ḥanafiyyah adalah apabila janin dilahirkan kurang dari jangka waktu enam bulan sejak barang wakaf menghasilkan sesuatu, maka janin tersebut tidak berhak atas sesuatu yang dihasilkan dari benda wakaf tersebut. Hal ini karena janin dalam kandungan tidak masuk dalam kategori yang membutuhkan. Begitu juga nafkah ibu yang mengandung tidak dialokasikan kepada janin yang di kandungannya.
 
Apabila janin dilahirkan dua tahun sejak suatu harta diwakafkan kepadanya, lalu pemberi wakaf (''wāqif'') meninggal tanpa memberikan penjelasan tentang wakafnya kepada keluarga yang ditinggalkan serta rentang waktu yang cukup untuk klarifikasi, atau apabila ''wāqif'' menceraikan ibu yang mengandung janin tersebut setelah terjadinya proses wakaf maka janin dalam hal ini berhak atas barang wakaf yang diberikan oleh ''wāqif'' dan apa yang dihasilkan dari barang yang diwakafkan. Begitu juga apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak terjadinya proses wakaf dan wakaf dilakukan di atas ketentuan syara’, yaitu perceraian yang dikarenakan haramnya berhubungan selama masa ''[[Iddah|‘iddah]]''. Dengan demikian maka dalam hal ini janin dianggap ada dan berhak atas sesuatu yang diwakafkan kepadanya dan sesuatu yang dihasilkan dari barang wakaf tersebut.<ref>{{Cite web|title=Al-radd ʿalā al-Naṣārā|url=http://dx.doi.org/10.1163/1877-8054_cmri_com_23201|website=Christian-Muslim Relations 600 - 1500|access-date=2021-07-07}}</ref>
 
Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa hukum diperbolehkannya wakaf terhadap janin adalah mutlak dan tidak berasal dari hal lain. Dengan kata lain, hukum asal wakaf terhadap janin adalah benar dan sah (''ṣaḥiḥ''). Golongan ini tidak membenarkan kepemilikan janin terhadap barang yang diwakafkan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan kepadanya dan segala macam yang dihasilkannya ditangguhkan hingga kelahiran janin. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal atau meninggal sejak masih dalam kandungan, maka wakaf dikembalikan kepada wāqif atau kepada ahli warisnya atau wakaf ini batal. Para ulama Mālikiyyah berdasar pada argumen bahwa hak kepemilikan janin atas wakaf menjadi sah di masa yang akan datang (ketika ia sudah dilahirkan), meski ketika wakaf dilangsungkan janin masih belum mencukupi syarat untuk terlibat dalam suatu transaksi kepemilikan atas suatu harta.<ref>{{Cite journal|last=Muhtar|first=Amin|date=2015-05-01|title=POTENSI WAKAF MENJADI LEMBAGA KEUANGAN PUBLIK (Kajian Kritis terhadap Konsep dan Praktik Wakaf dalam Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.15575/as.v17i2.645|journal=Asy-Syari'ah|volume=17|issue=2|doi=10.15575/as.v17i2.645|issn=2654-5675}}</ref> Menanggapi pendapat kalangan Mālikiyyah dalam kaitannya dengan hukum asal wakaf terhadap janin, kalangan Syāfi’iyyah dan sebagian dari kalangan Ḥanābilah berpendapat bahwa hukum asal wakaf terhadap janin adalah tidak sah. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “aku mewakafkan barang ini untuk yang akan lahir dari kandunganku”. Akan tetapi diperbolehkan jika wakaf terhadap janin dengan mengikuti yang lainnya, yakni apabila redaksinya, “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku dan keturunannya”, atau “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku” dan ternyata ia tidak memiliki keturunan. Mereka berargumen bahwa wakaf adalah kepemilikan dan janin belum memenuhi syarat untuk terlibat dalam sebuah transaksi kepemilikan. Berbeda dengan wasiat dan waris, wakaf adalah sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa transaksi itu dibuat, bukan sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa yang akan datang layaknya wasiat dan waris.<ref>{{Cite journal|last=Al-Yami|first=Abdullah Saleh|last2=Nasr-El-Din|first2=Hisham A.|last3=Al-Arfaj|first3=Mohammed Khalid|last4=Al-Salehsalah|first4=Salah Hamad|last5=Al-Humaidi|first5=Ahmed Saleh|last6=Awang|first6=Mohd Zaki Bin|last7=Al-Mohanna|first7=Khalid Saad|date=2008-06-16|title=Investigation of Water-Swelling Packers|url=http://dx.doi.org/10.2118/114814-ms|journal=All Days|publisher=SPE|doi=10.2118/114814-ms}}</ref>