Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan
menambah tulisan
Baris 1:
'''Perbudakan Modern''' ([[Bahasa Inggris]]: ''Modern Slavery)'' merupakan suatu praktik eksploitatif yang menimpa seseorang atau sekelompok akibat adanya ancaman baik fisik maupun nonfisik (re: [[kekerasan]]), pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.<ref>{{Cite web|last=Nations|first=United|title=International Day for the Abolition of Slavery|url=https://www.un.org/en/observances/slavery-abolition-day|website=United Nations|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Perbudakan Modern memiliki beragam jenis, diantaranya adalah perdagangan manusia, kerja paksa, ''bonded labor,'' eksploitasi seksual, perbudakan domestik, perkawinan paksa, pengambilan organ tubuh ilegal.<ref name=":6">{{Cite web|title=The horrors of modern slavery, in numbers|url=https://www.weforum.org/agenda/2016/12/the-horrors-of-modern-slavery-in-numbers/|website=World Economic Forum|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Laporan dari penelitian bersama yang dilakukan oleh [[International Labour Organization]] (ILO), Walk Free Foundation, [[International Organization for Migration]] (IOM), dan [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (PBB) lainnya seperti [[Office of the United Nations High Commissioner for Refugees|Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights]] (OHCHR) memperkirakan bahwa pada tahun 2016 terdapat 40,3 juta orang yang mengalami perbudakan modern, 24,9 juta diantaranya tergolong dalam kategori ''forced labor'' atau [[kerja paksa]]. Dari 24,9 juta orang yang terjebak dalam kerja paksa tersebut, 16 juta orang diantaranya dieksploitasi di sektor swasta seperti pekerjaan rumah tangga, konstruksi atau pertanian, sedangkan 4,8 juta orang dieksploitasi secara seksual, dan 4 juta orang terjebak dalam kerja paksa yang didukung oleh otoritas negara.<ref name=":12">{{Cite web|title=Forced labour, modern slavery and human trafficking (Forced labour, modern slavery and human trafficking)|url=https://www.ilo.org/global/topics/forced-labour/lang--en/index.htm|website=www.ilo.org|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref>
 
== Sejarah Perbudakan ==
Perbudakan adalah kondisi di mana terjadi penguasaan atau pengontrolan seseorang oleh orang lain dan biasanya terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan buruh atau kegiatan seksual. Orang yang merupakan korban dari kegiatan ini disebut sebagai budak. Menurut para ahli sejarah, perbudakan pertama-tama diketahui terjadi di masyarakat [[Sumeria]] (yang sekarang adalah [[Irak]]) lebih dari lima-ribu tahun yang lalu. Perbudakan juga terjadi di masyarakat [[Tiongkok|Cina,]] [[India]], [[Afrika]], [[Timur Tengah|Timur-Tengah]] dan Amerika. Kebanyakan orang kuno berpendapat bahwa perbudakan merupakan keadaan alam yang wajar, yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai praktik jahat atau tidak adil. Sebagaimana dikatakan oleh [[Aristoteles]], “Seseorang harus memerintah  dan lainnya mematuhi, keduanya sama-sama dibutuhkan. Memang ada beberapa hal yang telah ditentukan sejak kelahiran, antara lain ada yang ditakdirkan  untuk memerintah, dan ada  yang diperintah”<ref>Aristoteles. (1981). ''The Politics'' (2nd ed.). (T. Saunders, Ed., & T. Sinclair, Trans.) London: Penguin Classic.</ref>
 
Perdagangan budak trans-Atlantik yang terjadi di sepanjang [[Samudra Atlantik|Samudera Atlantik]] dari abad ke-15 sampai ke-19 menjadi momentum kelam peristiwa perbudakan global. Sebagian besar orang yang diperbudak dibawa ke Dunia Baru (merujuk pada benua Amerika), mereka adalah orang-orang Afrika dari bagian tengah dan barat benua tersebut yang dijual oleh orang Afrika lainnya kepada pedagang budak dari [[Eropa Barat]].<ref>"The capture and sale of slaves". [[Liverpool]]: [[International Slavery Museum]]. </ref>Perdagangan budak menjadi peristiwa krusial bagi negara-negara Eropa Barat pada akhir abad ke-17 dan ke-18, kala itu bangsa Eropa saling bersaing memperebutkan wilayah-wilayah jajahan.<ref name=":9">Mannix, Daniel (1962). ''Black Cargoes''. The Viking Press. hlm. Introduction–1–5</ref> Bangsa [[Portugal|Portugis]] merupakan bangsa pertama yang melakukan perdagangan budak di Dunia Baru pada abad ke-16.<ref>Deborah Gray White, Mia Bay, and Waldo E. Martin, Jr., ''Freedom on My Mind: A History of African Americans'' (New York: Bedford/St. Martin’s, 2013), 11</ref>Pada 1526, bangsa Portugis menyelesaikan perjalanan budak trans-atlantik pertama dari Afrika ke benua Amerika, dan negara-negara lainnya.<ref name=":9" />Budak-budak tersebut dijual untuk dipekerjakan di perkebunan kopi, tembakau, kokoa, gula dan kapas, pertambangan emas dan perak, ladang padi, industri pembangunan, penebangan kayu untuk perkapalan, dan sebagai pekerja domestik (asisten rumah tangga).<ref>Weber, Greta (5 Juni 2015). "Shipwreck Shines Light on Historic Shift in Slave Trade". National Geographic Society</ref>
 
Perbudakan mulai dipandang sebagai tindak kejahatan antara tahun 1777 dan 1804. Di [[Eropa]], Denmark menarik diri dari perdagangan budak pada 1792 dan Inggris pada 1807. Namun, penyelundupan budak terus berlangsung, Angkatan Laut Inggris menutup perdagangan budak sejak 1815. Akan tetapi, perbudakan masih dianggap hal yang sah di tempat lain. Pemberontakan budak di koloni [[Prancis]], [[Santo Domingo]] pada 1791-1793 mendorong penghapusan perbudakan oleh Prancis, tetapi dilegalkan lagi pada 1803. Pada 1831, pemberontakan budak di Virginia, Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Nat Turner (1800-1831) menyebabkan dikeluarkannya peraturan baru yang keras terhadap praktik perbudakan dan menyebabkan meningkatnya dukungan bagi anti-perbudakan di antara penduduk kulit putih. Kemudian gerakan abolisionis perbudakan bermunculan sebagai upaya untuk menghentikan perdagangan budak ''trans-atlantic'' dan pembebaskan budak-budak yang berada di koloni negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat.  Pada tahun 1904 di Paris terbentuklah kesepakatan yang menentang adanya perdagangan budak yang ditujukkan untuk tindakan asusila, tertuang dalam ''International Agreement on the Supression of White Slave Traffic''.<ref>Disampaikan dalam Konferensi PBB tahun 1995 mengenai ''the crime prevention and the treatment of offers'' yang diselenggarakan di Cairo, Mesir</ref>
 
Langkah untuk mengatasi perbudakan dan eksploitasi manusia di tingkat internasional pertama kali diumumkan oleh sebuah deklarasi di Kongres Wina pada 1815. Kemudian [[Liga Bangsa-Bangsa]] (LBB) pada tahun 1922 mengeluarkan resolusi yang disahkan oleh Majelis Umum yang dimaksudkan untuk menghilangkan perbudakan di Ethiopia.<ref>S. Miers, ''Slavery in the Twentieth Century: e Evolution of a Global Problem'', Walnut Creek, AltaMira Press, 2003, p. 73. See also J. Allain, “Slavery and the League of Nations: Ethiopia as a Civilised Nation”, ''Journal of the History of International Law'', vol. 8, 2006, p. 213-244. </ref> Kemudian pada tahun 1924, Dewan Liga Bangsa-Bangsa mendirikan Komisi Perbudakan Sementara, yang terdiri dari para ahli yang bertugas untuk merumuskan Konvensi Perbudakan. Konvensi Perbudakan ini kemudian pertama kali ditandatangani pada 25 September 1926 yang kemudian dikenal dengan ''1926 Slavery Convention or the Convention'' atau ''Suppress the Slave Trade and Slavery''.
 
Konvensi Perbudakan 1926 merupakan sebuah perjanjian internasional yang dibuat di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa yang bertujuan untuk menekan perbudakan dan perdagangan budak. Dalam konvensi tersebut disebutkan bahwa negara-negara yang menandatangani setuju untuk mencegah dan mengapuskan segala bentuk perbudakan seperti yang tertuang dalam Pasal 2 ''“The parties agreed to prevent and suppress the slave trade and to progressively bring about the complete elimination of slavery in all its forms.”''<ref name=":10">League of Nations Treaty Series, vol. 60, pp. 254–270. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/doc/Publication/UNTS/LON/Volume%2060/v60.pdf</nowiki></ref>Serta sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada para pelaku yang terlibat dalam rantai kejahatan perbudakan yang disebutkan dalam Pasal 6 Konvensi tersebut ''“The parties undertook to promulgate severe penalties for slave trading, slaveholding, and enslavement.”''<ref name=":10" />Dengan berjalannya waktu pada tahun 1926 terdapat 30 anggota Liga Bangsa Bangsa meratifikasi konvensi pelarangan perbudakan  dan perdagangan budak antara lain Afghanistan yang berkomitemen untuk menghapuskan perbudakan pada tahun 1923, Nepal pada tahun 1925, Transjordan dan Persia (Irak & Iran) pada tahun 1929, Bahrain pada tahun 1937 dan Ethiopia pada tahun 1942.<ref name=":11">United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>
 
Setelah dibubarkannya LBB, Konvensi ini kemudian diamandemen oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Protokol Tambahan yang dikenal dengan ''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'' pada tahu 1956.<ref name=":11" />Selain itu, pada tahun 1948 ''The United Nations General Assembly'' atau Sidang Umum PBB mengadopsi “''Universal Declaration of Human Right''” (UDHR) yang secara eksplisit mengutuk perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk.. [[Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia|UDHR]] ini menjadi instrumen HAM internasional yang penting dan telah disetujui oleh mayoritas negara-negara di dunia.
 
== Definisi Perbudakan ==
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “''the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,''<ref>United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'')  bahwa budak adalah ... ''‘slave’ means a person in such condition or status”.''<ref name=":7">Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, ''Final Act and Supplementary Convention'', art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23</ref>Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikagorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai ''“the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”''<ref>Statuta Roma (1998). Diakses dari <nowiki>https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf</nowiki></ref>Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya ''“the powers attaching to the right of ownership.” '' yang artinya unsur kepemilihan atau ''ownership''  menjadi ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":3">Allain, J (tanpa tahun).  ''The Definition of Slavery in International Law.''  Belfast: Bristh Academy.</ref>
 
 
 
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “''there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”''<ref name=":3" />Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional''.'' Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah ''slavery, enslavement, serfdom, servitude''  dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai ''enslavement,''<ref>Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari <nowiki>http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf</nowiki></ref> namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan ''slavery.'' Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus ''Siliadin v. France'' yang di bawa ke Mahkamah Eropa (''European Court)''  pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan ''servitude'' dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan ''servitude'' dipilih sebab definisi ''slavery'' yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 adalah definisi yang merujuk pada praktik perbudakan di masa lampau sehingga kurang relevan apabila digunakan untuk praktik eksploitasi yang terjadi di abas 21.<ref name=":4">Siliadin v. France, App. No. 73316/01 (2005), diakses dari <nowiki>http://cmiskp.echr.coe.int/tkp197/search.asp?skin=hudoc-en</nowiki> (search “Siliadin”).</ref><blockquote>“''This definition corresponds to the “classic” meaning of slavery as it was practiced for centuries.  Although the applicant was, in the instant case, clearly deprived of her personal autonomy, the evidence does not suggest that she was held in slavery in the proper sense, in other words that Mr[.] and Mrs[.] B. exercised a genuine right of legal ownership over her, thus reducing her to the status of an “object”.”''<ref name=":4" /></blockquote>Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, ''The Appeal Chamber'' (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik ''chattel slavery'' di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.<ref name=":5">Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118</ref> Pernyataan dari ''The Appeal Chamber'' tertuang berikut ini:<blockquote>''“In the case of these various contemporary forms of slavery, the victim is not subject to the exercise of the more extreme rights of ownership associated with “chattel slavery,” but in all cases, as a result of the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership, there is some destruction of the juridical personality; the destruction is greater in the case of “chattel slavery” but the difference is one of degree.”''<ref name=":5" /></blockquote>
 
 
----
 
Baris 44 ⟶ 40:
 
==== Kerja Paksa atau ''Forced Labor'' ====
Kerja paksa dapat diartikan sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang tanpa adanya kehendak pribadi dan dilakukan di bawah ancaman seperti kekerasan, intimidasi, dan bentuk ancaman-ancaman lainnya.atau dengan cara yang lebih halus seperti utang yang dimanipulasi, penyimpanan surat-surat identitas atau ancaman pengaduan kepada otoritas imigrasi.<ref name=":12" />
 
Kerja paksa atau ''forced labor'' merupakan perbuatan yang dikutuk oleh komunitas internasional, yang mana praktik jenis ini merupakan bentuk baru dari perbudakan. Definisi dari perbudakan terdapat dalam Konvensi tentang Kerja Paksa 1930 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi ''“all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily”.''<ref>ILO Forced Labour Convention, 1930 , ''United Nations Treaty Series,'' vol. 39, p. 55. </ref>Yang membedakan praktik kerja paksa dengan perbudakan adalah ketiadaan konsep kepemilikan dalam definisi kerja paksa. Namun secara jelas bahwa kerja paksa memiliki karakteristik dari perbudakan yaitu pembatasan terhadap kebebasan individu dan adanya elemen kekerasan yang dapat menimbulkan efek yang sama seperti korban-korban perbudakan tradisional ''(chattel slavery).''<ref name=":0" />
 
ILO melalui ''ILO’s Special Action Programme to Combat Forced Labour'' (SAP-FL) telah mengeluarkan 11 indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis praktik kerja paksa atau ''forced labor.'' Indikator tersebut meliputi: (1) memanfaatkan kerentanan atau vulnerabilitas korban; (2) penipuan; (3) pembatasan pergerakan; (4) isolasi; (5) kekerasan fisik dan seksual; (6) intimidasi dan ancaman; (7) perampasan dokumen identitas; (8) pemotongan upah; (9) jeratan hutang; (10) kondisi kerja dan hidup yang tidak layak; dan (11) jam lembur yang berlebihan. Adanya satu indikator tunggal dapat menyiratkan bahwa seorang individu berada dalam situasi kerja paksa, namun dalam banyak kasus yang terjadi adalah kombinasi dari beberapa indikator secara bersamaan.<ref>{{Cite web|last=ILO|title=ILO Indicator of Forced Labor|url=https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---declaration/documents/publication/wcms_203832.pdf}}</ref>
 
==== Pekerja Anak atau ''Child Labor'' ====