=== Hak-hak Janin dalam Fikih Klasik ===
Janin merupakan salah satu tahap awal kehidupan manusia sebelum ia lahir dan menjadi [[subjek hukum]]. [[Al-Qur'an|Alquran]] telah menjelaskan bahwa manusia pertama-tama diciptakan dari tanah liat. Setelah itu pada penciptaan selanjutnya anak manusia diciptakan secara bertahap. Tahap-tahap penciptaan tersebut meliputi tahap ''annuṭfah'', kemudian ''‘alaqah'', kemudian ''al-muḍgah'', hingga berbentuk lebih sempurna sebagai calon bayi yang lalu berkembang menjadi “makhluk lain” (''khalqan ākhar''), yaitu makhluk manusia yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan ''insaniyah''.<ref>{{Cite journal|last=Alwi|first=Zulfahmi|date=2013-12-15|title=ABORTUS DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|journal=HUNAFA: Jurnal Studia Islamika|volume=10|issue=2|pages=293|doi=10.24239/jsi.v10i2.33.293-321|issn=2355-7710}}</ref> Tahap-tahap perkembangan ini juga disebutkan oleh al-Ghazali.<ref>{{Cite journal|last=Alwi HS|first=Muhammad|last2=Hamid|first2=Nur|date=2020-01-30|title=Relasi Kelisanan Al-Qur’an dan Pancasila Dalam Upaya Menjaga dan Mengembangkan Identitas Islam Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.21580/ihya.21.1.4833|journal=International Journal Ihya' 'Ulum al-Din|volume=21|issue=1|pages=17–38|doi=10.21580/ihya.21.1.4833|issn=2580-5983}}</ref> Menurut [[Kamus Besar Bahasa Indonesia]] (KBBI) janin berarti bakal bayi (masih dalam kandungan), atau embrio setelah melebihi umur dua bulan.Janin dalam bahasa Arab berasal dari kata ''janīn'' (jamak: ''ajinnah'') secara harfiah berarti “yang terselubung atau tertutup”. Alquran menyebut [[janin]] sebagai makhluk yang dilahirkan di dalam tubuh wanita,<ref>{{Cite journal|last=Ulya|first=Nurun Najmatul|date=2020-12-25|title=Kajian terhadap Interpretasi Nicolai Sinai dalam An Interpretation of Sura>h al-Najm (QS.53)|url=http://dx.doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|journal=Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits|volume=14|issue=2|pages=179–204|doi=10.24042/al-dzikra.v14i2.6318|issn=2714-7916}}</ref> terlepas dari tahap perkembangannya. Berdasarkan [[Ilmu Kedokteran|ilmu kedokteran]], janin telah terbentuk pada usia kehamilan delapan minggu. Pada usia ini barulah janin menunjukkan tanda vital manusia secara lengkap. Sebelum berbentuk janin seutuhnya terlebih dahulu ia menjadi [[zigot]], [[blastokista]], dan [[Embrio|embrio.]] <ref>{{Cite journal|last=Heizer|first=Ruth B.|date=1983-12|title=Book Review: Birth and Death: Bioethical Decision-Making|url=http://dx.doi.org/10.1177/003463738308000414|journal=Review & Expositor|volume=80|issue=4|pages=609–610|doi=10.1177/003463738308000414|issn=0034-6373}}</ref> Berdasarkan [[perspektif]] hukum Islam, janin dilihat sebagai tahapan awal sebuah kehidupan manusia. Namun demikian, apakah janin yang ada dalam kandungan sudah bisa dikategorikan sebagai manusia, dengan segala hak yang melekat padanya, atau ia belum bisa dikatakan sebagai manusia sehingga hak-haknya juga tidak bisa disamakan dengan manusia yang telah lahir ke dunia. Berkaitan dengan hal ini, ada banyak pendapat di kalangan [[fukaha]]. Imam [[Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi'i|asySyafi’i]], misalnya, memahami istilah janin sebagai sebuah simbol dari tahap akhir dari sebuah proses pembuahan [[Spermatozoid|sperma]] terhadap [[sel telur]] yang berujung pada lahirnya seorang anak kecil atau bayi dari kandungan ibunya. Sementara an-Nuwairi menyebutkan bahwa janin baru bisa disebut janin jika sudah ditiupkan ruh. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para juris Islam pada umumnya menyatakan bahwa proses kehidupan manusia sudah dimulai sejak terjadinya pembuahan, yakni bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur perempuan.<ref>{{Cite web|last=Dewa|first=Ananda Dharmawan Kustia|date=2020-09-12|title=Pandangan Hukum dan Kesehatan Terhadap Aborsi dan Euthanasia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/cws2x|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Perlindungan hak-hak janin secara perspektif hukum Islam dapat diwujudkan dengan memanfaatkan asas dan kaidah fikih untuk merumuskan substansi hukum dan kemudian mentransformasikannya menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Peran hukum Islam secara materi untuk mengatur dan mengikat sejatinya ada pada berbagai aturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam [[hukum pidana]], hukum keluarga, maupun hukum keperdataan lainnya.<ref>{{Cite web|last=gumanti|first=Adinda Febrian|date=2020-03-24|title=Tata peraturan perundang-undangan yang pernah ada di indonesia|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/tdj8n|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-07}}</ref> Dalam literatur fikih klasik tidak ditemukan istilah khusus untuk pengertian perlindungan atas hak anak. Istilah yang mendekati adalah ''haḍānah,'' yang berarti memelihara dan mendidik anak. Selain ''haḍānah'', terdapat istilah ''al-wilāyat'' yang memiliki makna perwalian. Menurut Wahbah az-Zuhaili, ''al-wilāyat'' dapat bermakna perwalian atas diri (''wilāyat ‘ala an-nafs'') dan perwalian atas harta ''(wilāyat ‘ala al-māl''). Perwalian atas diri yakni perwalian atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisik dan mental, termasuk ''haḍānah'' di dalamnya. Sedangkan perwalian harta merupakan perwalian dalam hal pengelolaan harta benda, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, dan hutang-piutang. Secara sederhana, perbedaan antara ''haḍānah'' dan ''wilāyat'' layaknya perbedaan antara ''physical custody'' dan ''legal custody'' yang di beberapa negara bagian [[Amerika (disambiguasi)|Amerika]].<ref>{{Cite journal|last=Ibrahim|first=Ahmed Fekry|date=2015-12-14|title=The Best Interests of the Child in Pre-modern Islamic Juristic Discourse and Practice|url=http://dx.doi.org/10.5131/ajcl.2015.0026|journal=American Journal of Comparative Law|volume=63|issue=4|pages=859–891|doi=10.5131/ajcl.2015.0026|issn=0002-919X}}</ref>
Secara umum, di antara hak-hak anak dalam Islam yakni: (1) hak hidup, (2) hak pengakuan nasab, (3) hak mendapat nama yang baik, (4) hak mendapatkan penyusuan, (5) hak memperoleh pengasuhan dan perawatan, (6) hak mendapatkan nafkah, (7) hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan (8) hak diperlakukan secara adil.<ref>{{Cite journal|last=Djamal|first=Djamal|date=2018-12-29|title=WASIAT WAJIBAH BAGI ANAK ANGKAT DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK (Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|journal=Al-Bayyinah|volume=2|issue=2|pages=117–134|doi=10.35673/al-bayyinah.v2i2.54|issn=1979-7486}}</ref> Kedelapan hak anak ini bersifat general, tidak secara khusus melihat hak keperdataan anak. Sejatinya, kecakapan anak menerima hak dimulai sejak kelahiran, tetapi anak yang masih dalam kandungan dapat mewarisi dan menerima warisan, dapat menerima harta dengan jalan wasiat, berhak dibebaskan dari perbudakan, berhak mendapat nasab, dan hak wakaf.<ref>{{Cite journal|last=Coulson|first=N. J.|date=1965-01|title=An Introduction to Islamic Law. By Joseph Schacht. [Oxford: The Clarendon Press. 1964. viii and 304 pp. £2 8s.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.1.336|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=1|pages=336–338|doi=10.1093/iclqaj/14.1.336|issn=0020-5893}}</ref> Tiga di antara hak ini (hak waris, wasiat, dan wakaf) merupakan hak keperdataan. Ketiga hak inilah yang akan dipaparkan lebih lanjut pada bagian berikut ini.<ref name=":0" />
==== Hak Waris Janin dalam Fikih ====
Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat petunjuk-petunjuk untuk kehidupan dunia dan akhirat yang sebagian besar dijelaskan secara global. Di dalamnya terdapat hukum-hukum yang menjadi landasan umat Islam. Namun, diantara berbagai permasalahan hukum yang dijelaskan dalam al-Quran, terdapat satu permasalahan hukum yaitu mengenai aturan pembagian harta warisan yang diuraikan secara terperinci. Kata “''warits''” dari ‘''yaritsu-irtsan-wamiratsan''’ terdapat dalam al-Quran surah ''An-Naml'': 16 “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud . Arti “''mirats''” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lainnya. Mengutip definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan ''[[faraidh]]'' yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya. Kata ''al-faraidh'' ini dalam bahasa Arab menunjukkan jamak dari mufradnya al-faridhah yang bermakna ''almafrudhah'' atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.<ref>{{Cite journal|last=Fithriani|first=Ahda|date=2016-02-03|title=PENGHALANG KEWARISAN DALAM PASAL 173 HURUF (a) KOMPILASI HUKUM ISLAM|url=http://dx.doi.org/10.18592/syariah.v15i2.547|journal=Syariah Jurnal Hukum dan Pemikiran|volume=15|issue=2|pages=93|doi=10.18592/syariah.v15i2.547|issn=2549-001X}}</ref> Janin dapat dikatakan sebagai ahli waris yang sah apabila pada waktu meninggalnya pewaris, eksistensinya dapat dibuktikan, baik dengan cara klasik, seperti adanya gerakan yang bersumber dari janin yang dirasakan oleh ibu yang mengandung atau dengan cara [[modern]], yakni memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis. Mayoritas ulama sepakat bahwa jika ibu mengandung janin kurang dari jangka waktu enam bulan sejak kematian pewaris, maka janin sah menjadi ahli waris. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa enam bulan adalah jangka waktu minimal umur sebuah kehamilan. Kelahiran janin dalam keadaan hidup setelah jangka waktu minimal itu berarti sebuah bukti akan wujud janin pada waktu meninggalnya pewaris. Apabila ibu mengandung kurang dari jangka waktu enam bulan dan tidak dalam suatu hubungan pernikahan, maka janin tersebut termasuk dari ahli waris yang sah apabila ahli waris yang lain mengakui keberadaannya pada waktu kematian pewaris. Syarat kedua agar janin dapat menjadi ahli waris yang sah adalah bahwa janin tersebut harus lahir dalam keadaan hidup. Sistem pembagian waris dalam Islam menegaskan bahwa janin termasuk dari ahli waris yang sah dan tidak tertutupi oleh ahli waris lainnya. Namun demikian, apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal maka dianggap tidak ada.<ref>{{Cite journal|last=Kraemer|first=Jörg|date=1959-01-18|title=Dār al-kutub al-miṣriya, Fihrist al-Maxṭūṭāt. Al-Cuzʾ al-auwal, Muṣṭalaḥ, al-Ḥadīṯ. — Kairo, Maṭba ʿat Dār al-kutub al-miṣrīya 1375/1956. 371 S|url=http://dx.doi.org/10.1163/19606028_026_02-53|journal=Oriens|volume=12|issue=1|pages=278–279|doi=10.1163/19606028_026_02-53|issn=0078-6527}}</ref> Akan tetapi apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal sebagai akibat suatu tindak kekerasan terhadap sang ibu, menurut ulama Ḥanafiyyah, janin tersebut memiliki hak untuk menerima warisan. Hal ini berbeda dengan pendapat kalangan ulama Syāfi’iyyah, Ḥanābilah, ataupun Mālikiyyah. Pada sisi lain, kalangan ulama Ḥanafiyyah juga berpendapat bahwa apabila janin keluar sebagian kecilnya dalam keadaan hidup, tetapi kemudiaan meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Sebaliknya, jika janin keluar sebagian besarnya dalam keadaan hidup dan kemudian meninggal, maka ia berhak mewarisi, karena bagian besar janin mewakili keseluruhan bagian janin. Apabila janin lahir dalam keadaan hidup maka tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa janin termasuk ahli waris yang sah, sedangkan salah satu cara memastikan kehidupan janin adalah dengan terdengarnya suara tangisan. Hal ini tentu saja tidak menjadi perbedaan pendapat karena apabila janin tersebut lahir dalam keadaan selamat maka ia adalah bayi atau anak kecil. Akan tetapi yang menjadi persoalan apakah bayi tersebut lahir dalam waktu enam bulan setelah kematian atau tidak. Jika janin terlahir lebih dari enam bulan maka status keabsahannya menjadi dipertanyakan kembali mengingat ambang minimal usia kehamilan. Ini juga serupa bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan masa perkawinan dianggap sebagai anak di luar perkawinan (''premarital child'').<ref>{{Cite journal|last=Nurlaelawati|first=Euis|last2=van Huis|first2=Stijn Cornelis|date=2019-12|title=THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK AND ADOPTED CHILDREN IN INDONESIA: INTERACTIONS BETWEEN ISLAMIC, ADAT, AND HUMAN RIGHTS NORMS|url=http://dx.doi.org/10.1017/jlr.2019.41|journal=Journal of Law and Religion|volume=34|issue=3|pages=356–382|doi=10.1017/jlr.2019.41|issn=0748-0814}}</ref> Oleh karena itu ambang batas enam bulan menjadi faktor yang menentukan apakah anak tersebut dapat mewarisi atau tidak.<ref name=":0" />
==== Hak Wasiat Janin dalam Fikih ====
Adapun kaitannya dengan batas minimal usia kehamilan, para ulama Ḥanafiyyah, Syāfi’iyyah, dan Ḥanābilah berpendapat bahwa apabila kehamilan berlangsung kurang dari jangka waktu enam bulan dari berlangsungnya wasiat (baik masih dalam hubungan perkawinan atau tidak), maka janin tersebut berhak untuk mendapatkan hak wasiat. Apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu enam bulan lebih dan masih dalam hubungan perkawinan, maka janin tidak berhak atas wasiat. Hal ini karena adanya kemungkinan awal kehamilan terjadi setelah wasiat berlangsung, sedangkan apabila terlahir dalam jangka waktu enam bulan dan tidak dalam hubungan perkawinan maka janin berhak atas wasiat.
Berkaitan dengan batas maksimal usia kehamilan yang dapat diberikan wasiat, ada dua pendapat yang berbeda. Ulama Ḥanafiyyah berpendapat, apabila seorang ibu mengandung janin kurang dari dua tahun dan tidak dalam satu hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat. Sementara pendapat paling terkenal di kalangan ulama Syāfi’iyyah dan satu pendapat lain dari kalangan Ḥanābilah menyatakan, bahwa seorang perempuan apabila mengandung janin kurang dari jangka waktu empat tahun dan ia tidak dalam hubungan perkawinan maka janin tersebut berhak atas wasiat. Sama halnya dengan waris, batas minimal usia kehamilan menjadi syarat utama yang menentukan keabsahan wasiat.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Nizami|first=Auliya Ghazna|date=1 Juni 2018|title=Hak-hak Keperdataan Janin dalam Hukum Islam dan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia|url=http://asy-syirah.uin-suka.com/index.php/AS/article/view/458/251|journal=Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum|volume=52|issue=1|pages=8381-8483|doi=|issn=2443-0757}}</ref>
==== Hak Wakaf Janin dalam Fikih ====
Berdasarkan hukum perwakafan Islam, terdapat beberapa pendapat ulama fikih yang menjelaskan wakaf terhadap janin. Ulama Ḥanafiyyah menjelaskan wakaf terhadap janin sebagai suatu tindakan yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat ini dibagi menjadi dua, yakni syarat untuk batas minimal usia kehamilan dan syarat untuk batas maksimal usia kehamilan. Berkaitan dengan batas minimal usia kehamilan, wakaf diperbolehkan kepada janin yang sudah dapat dipastikan keberadaannya. Janin berhak atas barang yang diwakafkan dan yang dihasilkan dari barang tersebut. Janin juga berhak atas semua yang dihasilkan oleh benda wakaf, yang jarak antara waktu dihasilkannya sesuatu dari benda wakaf dengan kelahirannya kurang dari enam bulan. Hal ini karena rentang waktu tersebut merupakan waktu dapat dipastikan keberadaannya di dalam kandungan. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal, maka benda wakaf dan yang dihasilkannya diberikan kepada ahli waris sang janin.<ref>{{Cite journal|last=Meier|first=Fritz|date=1937|title=Stambuler Handschriften dreier persischer Mystiker: ῾Ain al-quḍāt al-Hamaḏānī, Nağm ad-dīn al-Kubrā, Nağm ad-dīn ad-Dāja.|url=http://dx.doi.org/10.1515/islm.1937.24.1.1|journal=Der Islam|volume=24|issue=1|pages=1–42|doi=10.1515/islm.1937.24.1.1|issn=0021-1818}}</ref>
Pendapat lain dalam kalangan Ḥanafiyyah adalah apabila janin dilahirkan kurang dari jangka waktu enam bulan sejak barang wakaf menghasilkan sesuatu, maka janin tersebut tidak berhak atas sesuatu yang dihasilkan dari benda wakaf tersebut. Hal ini karena janin dalam kandungan tidak masuk dalam kategori yang membutuhkan. Begitu juga nafkah ibu yang mengandung tidak dialokasikan kepada janin yang di kandungannya. Apabila janin dilahirkan dua tahun sejak suatu harta diwakafkan kepadanya, lalu pemberi wakaf (''wāqif'') meninggal tanpa memberikan penjelasan tentang wakafnya kepada keluarga yang ditinggalkan serta rentang waktu yang cukup untuk klarifikasi, atau apabila ''wāqif'' menceraikan ibu yang mengandung janin tersebut setelah terjadinya proses wakaf maka janin dalam hal ini berhak atas barang wakaf yang diberikan oleh ''wāqif'' dan apa yang dihasilkan dari barang yang diwakafkan. Begitu juga apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak terjadinya proses wakaf dan wakaf dilakukan di atas ketentuan syara’, yaitu perceraian yang dikarenakan haramnya berhubungan selama masa ''[[Iddah|‘iddah]]''. Dengan demikian maka dalam hal ini janin dianggap ada dan berhak atas sesuatu yang diwakafkan kepadanya dan sesuatu yang dihasilkan dari barang wakaf tersebut.
Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa hukum diperbolehkannya wakaf terhadap janin adalah mutlak dan tidak berasal dari hal lain. Dengan kata lain, hukum asal wakaf terhadap janin adalah benar dan sah (''ṣaḥiḥ''). Golongan ini tidak membenarkan kepemilikan janin terhadap barang yang diwakafkan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan kepadanya dan segala macam yang dihasilkannya ditangguhkan hingga kelahiran janin. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal atau meninggal sejak masih dalam kandungan, maka wakaf dikembalikan kepada wāqif atau kepada ahli warisnya atau wakaf ini batal. Para ulama Mālikiyyah berdasar pada argumen bahwa hak kepemilikan janin atas wakaf menjadi sah di masa yang akan datang (ketika ia sudah dilahirkan), meski ketika wakaf dilangsungkan janin masih belum mencukupi syarat untuk terlibat dalam suatu transaksi kepemilikan atas suatu harta. <ref>{{Cite journal|last=Muhtar|first=Amin|date=2015-05-01|title=POTENSI WAKAF MENJADI LEMBAGA KEUANGAN PUBLIK (Kajian Kritis terhadap Konsep dan Praktik Wakaf dalam Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.15575/as.v17i2.645|journal=Asy-Syari'ah|volume=17|issue=2|doi=10.15575/as.v17i2.645|issn=2654-5675}}</ref> Menanggapi pendapat kalangan Mālikiyyah dalam kaitannya dengan hukum asal wakaf terhadap janin, kalangan Syāfi’iyyah dan sebagian dari kalangan Ḥanābilah berpendapat bahwa hukum asal wakaf terhadap janin adalah tidak sah. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “aku mewakafkan barang ini untuk yang akan lahir dari kandunganku”. Akan tetapi diperbolehkan jika wakaf terhadap janin dengan mengikuti yang lainnya, yakni apabila redaksinya, “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku dan keturunannya”, atau “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku” dan ternyata ia tidak memiliki keturunan. Mereka berargumen bahwa wakaf adalah kepemilikan dan janin belum memenuhi syarat untuk terlibat dalam sebuah transaksi kepemilikan. Berbeda dengan wasiat dan waris, wakaf adalah sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa transaksi itu dibuat, bukan sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa yang akan datang layaknya wasiat dan waris.<ref >{{Cite journal|lastname= Al-Yami|first=Abdullah Saleh|last2=Nasr-El-Din|first2=Hisham A.|last3=Al-Arfaj|first3=Mohammed Khalid|last4=Al-Salehsalah|first4=Salah Hamad|last5=Al-Humaidi|first5=Ahmed Saleh|last6=Awang|first6=Mohd Zaki Bin|last7=Al-Mohanna|first7=Khalid Saad|date=2008-06-16|title=Investigation of Water-Swelling Packers|url=http": //dx.doi.org/10.2118/114814-ms|journal=All0" Days|publisher=SPE|doi=10.2118/ 114814-ms}}</ref> ▼
Apabila janin dilahirkan dua tahun sejak suatu harta diwakafkan kepadanya, lalu pemberi wakaf (''wāqif'') meninggal tanpa memberikan penjelasan tentang wakafnya kepada keluarga yang ditinggalkan serta rentang waktu yang cukup untuk klarifikasi, atau apabila ''wāqif'' menceraikan ibu yang mengandung janin tersebut setelah terjadinya proses wakaf maka janin dalam hal ini berhak atas barang wakaf yang diberikan oleh ''wāqif'' dan apa yang dihasilkan dari barang yang diwakafkan. Begitu juga apabila janin dilahirkan dalam jangka waktu kurang dari dua tahun sejak terjadinya proses wakaf dan wakaf dilakukan di atas ketentuan syara’, yaitu perceraian yang dikarenakan haramnya berhubungan selama masa ''[[Iddah|‘iddah]]''. Dengan demikian maka dalam hal ini janin dianggap ada dan berhak atas sesuatu yang diwakafkan kepadanya dan sesuatu yang dihasilkan dari barang wakaf tersebut.
▲Kalangan Mālikiyyah berpendapat bahwa hukum diperbolehkannya wakaf terhadap janin adalah mutlak dan tidak berasal dari hal lain. Dengan kata lain, hukum asal wakaf terhadap janin adalah benar dan sah (''ṣaḥiḥ''). Golongan ini tidak membenarkan kepemilikan janin terhadap barang yang diwakafkan sebelum kelahirannya. Oleh karena itu, barang yang diwakafkan kepadanya dan segala macam yang dihasilkannya ditangguhkan hingga kelahiran janin. Apabila janin terlahir dalam keadaan meninggal atau meninggal sejak masih dalam kandungan, maka wakaf dikembalikan kepada wāqif atau kepada ahli warisnya atau wakaf ini batal. Para ulama Mālikiyyah berdasar pada argumen bahwa hak kepemilikan janin atas wakaf menjadi sah di masa yang akan datang (ketika ia sudah dilahirkan), meski ketika wakaf dilangsungkan janin masih belum mencukupi syarat untuk terlibat dalam suatu transaksi kepemilikan atas suatu harta.<ref>{{Cite journal|last=Muhtar|first=Amin|date=2015-05-01|title=POTENSI WAKAF MENJADI LEMBAGA KEUANGAN PUBLIK (Kajian Kritis terhadap Konsep dan Praktik Wakaf dalam Hukum Islam)|url=http://dx.doi.org/10.15575/as.v17i2.645|journal=Asy-Syari'ah|volume=17|issue=2|doi=10.15575/as.v17i2.645|issn=2654-5675}}</ref> Menanggapi pendapat kalangan Mālikiyyah dalam kaitannya dengan hukum asal wakaf terhadap janin, kalangan Syāfi’iyyah dan sebagian dari kalangan Ḥanābilah berpendapat bahwa hukum asal wakaf terhadap janin adalah tidak sah. Hal ini seperti seseorang mengatakan, “aku mewakafkan barang ini untuk yang akan lahir dari kandunganku”. Akan tetapi diperbolehkan jika wakaf terhadap janin dengan mengikuti yang lainnya, yakni apabila redaksinya, “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku dan keturunannya”, atau “aku mewakafkan barang ini kepada anak-anakku” dan ternyata ia tidak memiliki keturunan. Mereka berargumen bahwa wakaf adalah kepemilikan dan janin belum memenuhi syarat untuk terlibat dalam sebuah transaksi kepemilikan. Berbeda dengan wasiat dan waris, wakaf adalah sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa transaksi itu dibuat, bukan sebuah transaksi kepemilikan yang berkaitan dengan masa yang akan datang layaknya wasiat dan waris.<ref>{{Cite journal|last=Al-Yami|first=Abdullah Saleh|last2=Nasr-El-Din|first2=Hisham A.|last3=Al-Arfaj|first3=Mohammed Khalid|last4=Al-Salehsalah|first4=Salah Hamad|last5=Al-Humaidi|first5=Ahmed Saleh|last6=Awang|first6=Mohd Zaki Bin|last7=Al-Mohanna|first7=Khalid Saad|date=2008-06-16|title=Investigation of Water-Swelling Packers|url=http://dx.doi.org/10.2118/114814-ms|journal=All Days|publisher=SPE|doi=10.2118/114814-ms}}</ref>
== Pusaka Anak Zina, dan Anak Li’an ==
|