Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Perenialisme agama''' adalah sebuah sudut pandang dalam [[filsafat agama]] yang meyakini bahwa setiap [[agama]] di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal, serta menjadi dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius. Gagasan ini sudah ada sejak zaman kuno dan dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia. Namun, sudut pandang gagasan tersebut bertentangan dengan [[saintisme]] dalam masyarakat [[sekuler]] modern. Istilah ''philosophia perennis'' (filsafat perenial) sendiri pertama kali digunakan oleh [[Agostino Steuco]] (1497–1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis sebelumnya, yaitu dari [[Marsilio Ficino]] dan [[Giovanni Pico della Mirandola]]. Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin masyarakat teosofis seperti [[H.P. Blavatsky]] dan [[Annie Besant]] dengan nama "kebijaksanaan agama" atau "kebijaksanaan kuno". Selanjutnya, gagasan ini dipopulerkan oleh [[Aldous Huxley]] pada abad ke-20 melalui bukunya berjudul ''[[The Perennial Philosophy]]'', serta juga tulisan dari para pemikir yang saat ini dikenal dengan nama mazhab tradisionalis.
[[Berkas:Religions.svg|jmpl|211x211px|Pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69}}).]]
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.
 
== EtimologiPerenialisme ==
[[Berkas:Encyclopedia of ReligionReligions.JPGsvg|jmpl|211x211px|Elemen-elemenPandangan religiositasperenial yangmembawa partikularharapan tidakterhadap diberitradisi ruangdialog dalamantarumat filsafatberagama perenial,karena tetapimelalui perenialismemetode secaraini holistikdiharapkan umat beragama tidak menegasikansaja keberadaanmenemukan pluralitas''transcendent beragamaunity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=7069}}).]]
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.[[Berkas:Encyclopedia of Religion.JPG|jmpl|211x211px|Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70}}).]]
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam agama [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]].<ref>{{Cite web|last=I’anati|first=Elivia|date=3 Oktober 2020|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://peacenews.yipci.org/perenialisme-agama-agama/|website=Peace News|access-date=6 Juli 2021}}</ref> Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua [[agama]] muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam [[filsafat agama]] yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
 
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena [[pluralisme agama]] secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}} Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}
Baris 15:
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku, serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari realitas absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan imanen sekaligus transenden, dengan wujud tertinggi di antara sesama manusia.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40|ps=}}
 
Dalam keterbatasan rasio, manusiaManusia hanya mampu memahami hakikat [[Tuhan]] dalam keterbatasan rasio, tanpa bisa mendefinisikan eksistensi-Nya. Namun, dikotomi ini mengakibatkan manusia mengalami keterguncangan antara bersatu atau berpisah dari realitas absolut.{{sfnp|Davies|2012||p=1–3|ps=}} Menurut kaum perenialis, manusia memiliki suatu kerinduan dalam dirinya yang tetap eksis untuk terus-menerus mengarahkan diri kepada Tuhan.{{sfnp|Darwin|2015||p=36|ps=}} Manusia adalah makhluk rasional yang memiliki intelegensi untuk mengerti dan memahami pengetahuan secara unitif tentang hakikat ilahi ([[emanasi]]). Pancaran alamiah ini mendorong manusia untuk melakukan kebajikan-kebajikan karena bersumber dari Tuhan sendiri.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=40–41|ps=}}
 
Dalam kaitannya dengan pengalaman beragama, doktrin metafisika dalam filsafat perenial seringkali direduksi sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menyentuh realitas riil yang dihadapi oleh manusia.{{sfnp|Davies|2012||p=303–304|ps=}} Banyak para pelaku kejahatan beragama yang mengaku mendapat ilham dari Tuhan untuk membenarkan tindakan [[anarkis]] yang dilakukan. Selain itu, ada kecurigaan dari para pemikir lainnya bahwa konsepsi perenialis sering secara sengaja dipakai untuk mengembangkan sebuah [[inklusivisme]] yang sepihak. Namun, filsafat ini sebenarnya berperan membawa arah baru bagi perkembangan pengalaman keagamaan jika setiap orang menyadari diri sebagai subjek yang imanen maupun transenden, sehingga radikalisme agama dalam bentuk apa pun dapat dihindari.{{sfnp|Wora|2006||p=136|ps=}}