Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah tulisan
menambah tulisan
Baris 75:
 
===== c. Perdagangan Manusia untuk Aktivitas Kriminal =====
Bentuk perdagangan menusia jenis ini memungkinkan jaringan kriminal untuk meraup keuntungan dari berbagai kegiatan terlarang dengan memanfaatkan kerentanan korban untuk meminimalisir risiko penegakan hukum. Korban dipaksa untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal, yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Kegiatan ilegal yang dimaksud mencakup pencurian, produksi dan distribusi narkoba, penjualan barang palsu, atau pengemis paksa. Para korban seringkali memiliki kuota atau target minimum yang harus dipenuhi dan dapat menghadapi hukuman berat jika mereka tidak bekerja dengan baik.<ref name=":18" />Contoh dari perdagangan manusia jenis ini adalah kasus perdagangan manusia, yang menimpa terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, penduduk [[Filipina]].<ref name=":19">{{Cite web|last=Tempo|title=Filipina Temukan Bukti Mary Jane Korban Perdagangan Manusia|url=https://nasional.tempo.co/read/683745/filipina-temukan-bukti-mary-jane-korban-perdagangan-manusia/full&view=ok}}</ref>Sebagai informasi, Mary Jane Fiesta Veloso, ditangkap atas tuduhan membawa heroin seberat 2,6 kilogram di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta, pada 25 April 2010 silam. Mary Jane memakaimenggunakan penerbangan pesawat Air Asia dari Kuala Lumpur ke Yogyakarta. Ia yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan penduduk Filipina. Pada Oktober 2010, ia divonis mati dan grasinya ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014. Pada 11 Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, memberikan vonis mati kepada Mary Jane. Putusan itutersebut kemudian diperkuat hingga kasasi, bahkan grasinya pun ditolak Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2014.<ref name=":19" />
 
===== d. Perdagangan Manusia untuk Pengambilan Organ Tubuh =====
Baris 88:
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
 
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia II|Perang Dunia II,]] dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan ''“outrages upon personal dignity, in particular humiliating and degrading treatment”.''<ref>Geneva Conventions. (1949) ''United Nations Treaty Series,'' Vol. 75</ref>Kemudian, Protokol Tambahan I dan II mengandung pelarangan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh ''(indecent)'' terhadap perempuan dan anak-anak.<ref>Additional Protocol I and II Geneva Convention (1949)</ref>Namun berbagai instrumen hukum internasional yang ada belum merujuk pemerkosaan sistematis sebagai perbudakan seksual. Tercatat hanya ''Vienna Declaration and Programme of Action'' yang menegaskan perbudakan seksual sebagaimana berikut ''“All violations of this kind, including in particular murder, systematic rape, sexual slavery and forced pregnancy, require a particularly effective response.”''<ref>Report of the World Conference on Human Rights, United Nations document A/CONF.157/24 (1993), part II, para. 38.</ref>
 
==== Pernikahan Paksa ====
Baris 99:
 
== Regulasi Internasional mengenai Perbudakan dan Bentuk-Bentuk Perbudakan Modern ==
Perbudakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Perbudakan memiliki status ''jus cogens'' sehingga dilarang dalam hukum kebiasaan internasional dan regulasi internasional (dalam bentuk perjanjian internasional dan instrumen HAM internasional). Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan dan perdagangan budak adalah Konvensi Perbudakan tahun 1926 ''(TheJus Slavery Convention 1926)cogens''. Konvensiberarti iniprinsip diadopsidasar oleh[[hukum Ligainternasional]] Bangsa-Bangsayang (LBB)diakui padaoleh 1926komunitas daninternasional berlakusebagai setahunnorma setelahnya.yang Dalamtidak pembukaanboleh konvensidilanggar.<ref tersebut,name=":24">M. denganCherif jelasBassiouni tertulis negara-negara wajib untuk(1996) ''“to"International preventCrimes: and‘Jus suppress the slave trade,Cogens’ and to‘Obligatio preventErga forced labour from developing into conditions analogous to slavery”Omnes'' (Konvensi Perbudakan, 1926)''.''" KonvensiLaw iniand kemudianContemporary diperbaharuiProblems. padaVol. tahun59, 1956No. dengan4, dirumuskannyahal. Konvensi Tambahan tentang68.</ref> PenghapusanSelain Perbudakanitu, PerdaganganMahkamah Budak,Internasional dan(ICJ) Lembagamenganggap danlarangan Praktikperbudakan yangsebagai miripkewajiban dengan''erga Perbudakan (omnes.''the SupplementaryKewajiban Convention''erga onomnes'' theberarti Abolitionkewajiban ofsetiap Slavery,negara theuntuk Slave Trademencegah, andmengkriminalisasi Institutionsdan andmenghukum Practicespelaku Similarperbudakan.<ref toname=":24" Slavery)'' (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, 2002)./>
 
Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan dan perdagangan budak adalah Konvensi Perbudakan tahun 1926 ''(The Slavery Convention 1926)''. Konvensi ini diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 1926 dan berlaku setahun setelahnya. Dalam pembukaan konvensi tersebut, dengan jelas tertulis negara-negara wajib untuk ''“to prevent and suppress the slave trade, and to prevent forced labour from developing into conditions analogous to slavery”'' (Konvensi Perbudakan, 1926)''.'' Konvensi ini kemudian diperbaharui pada tahun 1956 dengan dirumuskannya Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga dan Praktik yang mirip dengan Perbudakan (''the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery)''.<ref name=":0" />
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights'' 1966 ''(ICCPR),'' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966 (ICESCR)''. Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil (Justice et al., 2011). ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (International Covenant on Civil and Political Rights, 1966). Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”'' (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966).
 
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights 1948'' (UDHR)'', International Covenant on Civil and Political Rights'' 1966 ''(ICCPR)'','' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966'' (ICESCR)''. Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.<ref (name=":25">Justice, etS., alEsegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref> ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} (International Covenant on Civil and Political Rights, 1966)|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref> Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”''.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 1966)|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cescr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>''“ ‘Trafficking in persons’ shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”''</blockquote>Protokol Palermo merupakan instrumen internasional utama untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di bawah administrasi [[Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan|United Nations Office on Drugs and Crime]] (UNODC).<ref name=":1" />UNODC mencatat bahwa definisi perdagangan manusia 'sudah mencakup kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sebagai bentuk eksploitasi dalam perdagangan manusia'. UNODC lebih lanjut mencatat bahwa Konvensi dan Protokol, 'memberikan dasar hukum internasional untuk kerja sama internasional formal dan informal untuk dalam menangani tindak kejahatan lintas batas negara.<ref name=":1" />
 
 
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environmentt;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families)'' (University of Minnesota Human Rights Library, tanpa tahun)''.'' Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik (Justice et al., 2011).
 
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>''“ ‘Trafficking in persons’ shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”''<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/protocoltraffickinginpersons.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref></blockquote>Protokol Palermo merupakan instrumen internasional utama untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di bawah administrasi [[Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan|United Nations Office on Drugs and Crime]] (UNODC).<ref name=":1" />UNODC mencatat bahwa definisi perdagangan manusia 'sudah mencakup kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sebagai bentuk eksploitasi dalam perdagangan manusia'. UNODC lebih lanjut mencatat bahwa Konvensi dan Protokol, 'memberikan dasar hukum internasional untuk kerja sama internasional formal dan informal untuk dalam menangani tindak kejahatan lintas batas negara.<ref name=":1" />
 
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environmentt;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).'' (<ref>University of Minnesota Human Rights Library,. (tanpa tahun). ''.Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand,'' dari <nowiki>http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification-</nowiki> thailand.html</ref> Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.<ref (Justicename=":25" et al., 2011)./>
 
== Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand ==