Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah gambar
membuat artikel baru
Baris 18:
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “''the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,''<ref>United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'')  bahwa budak adalah ... ''‘slave’ means a person in such condition or status”.''<ref name=":7">Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, ''Final Act and Supplementary Convention'', art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23</ref>Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai ''“the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”''<ref>Statuta Roma (1998). Diakses dari <nowiki>https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf</nowiki></ref>Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya ''“the powers attaching to the right of ownership.” '' yang artinya unsur kepemilihan atau ''ownership''  menjadi ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":3">Allain, J (tanpa tahun).  ''The Definition of Slavery in International Law.''  Belfast: Bristh Academy.</ref>
 
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “''there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”''<ref name=":3" />Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional''.'' Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah ''slavery, enslavement, serfdom, servitude''  dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai ''enslavement,''<ref>Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari <nowiki>http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf</nowiki></ref> namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan ''slavery.'' Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus ''Siliadin v. France'' yang di bawa ke Mahkamah Eropa (''European Court)''  pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan ''servitude'' dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan ''servitude'' dipilih sebab definisi ''slavery''perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 adalah definisi yang merujuk pada praktik perbudakan di masa lampau sehingga kurang relevan apabila digunakan untuk praktik eksploitasi yang terjadi di abas 21.<ref name=":4">Siliadin v. France, App. No. 73316/01 (2005), diakses dari <nowiki>http://cmiskp.echr.coe.int/tkp197/search.asp?skin=hudoc-en</nowiki> (search “Siliadin”).</ref><blockquote>“''This definition corresponds to the “classic” meaning of slavery as it was practiced for centuries.  Although the applicant was, in the instant case, clearly deprived of her personal autonomy, the evidence does not suggest that she was held in slavery in the proper sense, in other words that Mr[.] and Mrs[.] B. exercised a genuine right of legal ownership over her, thus reducing her to the status of an “object”.”''<ref name=":4" /></blockquote>

Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, ''The Appeal Chamber'' (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik ''chattel slavery'' di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.<ref name=":5">Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118</ref> Pernyataan dari ''The Appeal Chamber'' tertuang berikut ini:<blockquote>''“In the case of these various contemporary forms of slavery, the victim is not subject to the exercise of the more extreme rights of ownership associated with “chattel slavery,” but in all cases, as a result of the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership, there is some destruction of the juridical personality; the destruction is greater in the case of “chattel slavery” but the difference is one of degree.”''<ref name=":5" /></blockquote>
----
 
Baris 33 ⟶ 35:
 
==== Perbudakan Utang atau ''Debt Bondage'' ====
Salah satu bentuk paksaan yang digunakan dalam praktik perbudakan modern adalah dengan menggunakan ''[[modus operandi]]'' [[perbudakan utang]].<ref name=":2">{{Cite web|title=What is Modern Slavery?|url=https://www.state.gov/what-is-modern-slavery/|website=United States Department of State|language=en-US|access-date=2021-07-29}}</ref> Berdasarkan Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (Bahasa Inggris: ''Supplementary Convention to the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery),'' [[perbudakan utang]] atau ''debt bondage'' didefinisikan sebagai:<blockquote>''"TheStatus statusatau orkondisi conditionyang arisingtimbul fromdari ajaminan pledgeoleh bydebitur aatas debtorjasa-jasa ofpribadinya hisatau personaldari servicesorang-orang oryang ofberada thosedi ofbawah akendalinya personsebagai underjaminan hisutang, controljika asnilai securityjasa-jasa foritu amenurut debtpenilaian yang wajar tidak diterapkan terhadap likuidasi utang atau panjang dan sifat layanan tersebut masing-masing tidak dibatasi dan ditentukan"</blockquote>Di Asia Selatan diperkirakan ada jutaan korban perdagangan manusia yang bekerja untuk melunasi hutang nenek moyang mereka. Yang lain menjadi korban pedagang atau perekrut yang secara tidak sah mengeksploitasi hutang awal yang diasumsikan, ifdisadari theatau valuetidak, ofsebagai thosejangka serviceswaktu askerja. reasonablyPara assessedpedagang, isagen nottenaga appliedkerja, towardsperekrut, thedan liquidationmajikan ofbaik thedi debtnegara orasal themaupun lengthnegara andtujuan naturedapat ofberkontribusi thosepada servicesjeratan arehutang notdengan respectivelymembebankan limitedbiaya andperekrutan defined''"pekerja dan tingkat bunga yang terlalu tinggi, sehingga sulit bagi korban praktik perbudakan utang untuk melunasinya. Keadaan seperti itu dapat terjadi dalam konteks pekerjaan temporer atau sementara di mana status hukum pekerja di negara tujuan terikat dengan pemberi kerja sehingga pekerja yang merupakan korban praktik perbudakan utang takut mencari ganti rugi.<ref name=":12" />
 
"Status atau kondisi yang timbul dari jaminan oleh debitur atas jasa-jasa pribadinya atau dari orang-orang yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan utang, jika nilai jasa-jasa itu menurut penilaian yang wajar tidak diterapkan terhadap likuidasi utang atau panjang dan sifat layanan tersebut masing-masing tidak dibatasi dan ditentukan"</blockquote>Di Asia Selatan diperkirakan ada jutaan korban perdagangan manusia yang bekerja untuk melunasi hutang nenek moyang mereka. Yang lain menjadi korban pedagang atau perekrut yang secara tidak sah mengeksploitasi hutang awal yang diasumsikan, disadari atau tidak, sebagai jangka waktu kerja. Para pedagang, agen tenaga kerja, perekrut, dan majikan baik di negara asal maupun negara tujuan dapat berkontribusi pada jeratan hutang dengan membebankan biaya perekrutan pekerja dan tingkat bunga yang terlalu tinggi, sehingga sulit bagi korban praktik perbudakan utang untuk melunasinya. Keadaan seperti itu dapat terjadi dalam konteks pekerjaan temporer atau sementara di mana status hukum pekerja di negara tujuan terikat dengan pemberi kerja sehingga pekerja yang merupakan korban praktik perbudakan utang takut mencari ganti rugi.<ref name=":2" />
 
==== ''Serfdom'' ====
Baris 59:
 
==== Perdagangan Manusia ====
“....Pada Artikel 3 Klausa huruf (a) dalam ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children'' atau Protokol Palermo Tahun 2000 mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:<blockquote>''"'' perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. <ref name=":13">{{Cite journal|last=Syamsuddin|first=Syamsuddin|date=2020-04-24|title=BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN|url=https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/1928|journal=Sosio Informa|language=id|volume=6|issue=1|doi=10.33007/inf.v6i1.1928|issn=2502-7913}}</ref></blockquote>Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.<ref name=":13" /> Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:<blockquote>“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.<ref name=":13" /></blockquote>Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: ''internal-trafficking'') dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: ''international trafficking''). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.<ref name=":13" />
Pada Artikel 3 Klausa huruf (a) dalam ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children'' atau Protokol Palermo Tahun 2000 mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:<blockquote>''"… the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation"''<ref name=":1" />
 
“.... perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. <ref name=":13">{{Cite journal|last=Syamsuddin|first=Syamsuddin|date=2020-04-24|title=BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN|url=https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/1928|journal=Sosio Informa|language=id|volume=6|issue=1|doi=10.33007/inf.v6i1.1928|issn=2502-7913}}</ref></blockquote>Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.<ref name=":13" /> Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:<blockquote>“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.<ref name=":13" /></blockquote>Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: ''internal-trafficking'') dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: ''international trafficking''). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.<ref name=":13" />
 
Pada tahun 2018, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan bahwa sekitar 40 juta orang menjadi korban Perdagangan Manusia. Sekitar 90 persen dari semua kasus yang terdeteksi adalah untuk eksploitasi seksual atau tujuan kerja paksa. Sisa 10 persen kasus sering disatukan dalam kategori “bentuk lain”—termasuk perdagangan organ ilegal.<ref name=":20">{{Cite journal|last=Gonzalez|first=Juan|last2=Garijo|first2=Ignacio|last3=Sanchez|first3=Alfonso|date=2020-5|title=Organ Trafficking and Migration: A Bibliometric Analysis of an Untold Story|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7246946/|journal=International Journal of Environmental Research and Public Health|volume=17|issue=9|doi=10.3390/ijerph17093204|issn=1661-7827|pmc=7246946|pmid=32380680}}</ref> Karenanya, berdasarkan bentuk eksploitasi secara ekonomi, [[Interpol]] membagi perdagangan manusia menjadi kategori berikut:
Baris 71 ⟶ 69:
 
===== b. Perdagangan Manusia untuk Eksploitasi Seksual =====
Berdasarkan dokumen ''Global Report on Trafficking in Persons'' yang dipublikasikan oleh UNODC, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan.<ref>{{Cite web|title=Global Report on Trafficking in Persons|url=https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/global-report-on-trafficking-in-persons.html|website=United Nations : Office on Drugs and Crime|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref>Di Amerika Serikat, melalui ''Trafficking Victims Protection Act'' Tahun 2000 yang kemudian diamandemen dengan ''Justice for Victims of Trafficking Act'' Tahun 2015, mendefinisikan perdagangan seks sebagai:<blockquote>''"recruiting''merekrut, harboringmenyembunyikan, transportingmengangkut, providingmenyediakan, obtainingmemperoleh, patronizingmenggurui, oratau solicitingmeminta ofseseorang anmelalui individual through the means of forcekekerasan, fraudpenipuan, oratau coercionpaksaan foruntuk thetujuan purposeseks of commercial sex”''komersial”<ref>{{Cite web|title=Sex Trafficking|url=https://humantraffickinghotline.org/type-trafficking/sex-trafficking|website=National Human Trafficking Hotline|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref></blockquote>Bisnis seks kontemporer melibatkan eksploitasi yang sistematis. Eksploitasi terhadap pekerja seks terutama diindikasikan dengan adanya kekerasan dan tidak membayar jasa servis seks. Para korban pelacuran terbiasa mengalami pemerkosaan, penyiksaan, kelaparan, bahkan pembunuhan, juga secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan penularan penyakit seksual dan pemakaian psikotropika.<ref>{{Cite journal|last=Nizmi|first=Yusnarida Eka|date=Juli-Desember 2012|title=Analisa Routine Activity Theory
dalam Perdagangan Seks
di Thailand, China dan Vietnam|url=http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jgs9b345b5c312full.pdf|journal=Global & Strategis Universitas Airlangga}}</ref>
Baris 89 ⟶ 87:
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
 
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia II|Perang Dunia II,]] dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan ''“outrages“''kekejaman uponterhadap personalmartabat dignitypribadi, inkhususnya particularperlakuan humiliatingyang andmenghinakan degradingdan treatment”merendahkan martabat”.''<ref>Geneva Conventions. (1949) ''United Nations Treaty Series,'' Vol. 75</ref>Kemudian, Protokol Tambahan I dan II mengandung pelarangan terhadap segala bentuk perbuatan yang tidak senonoh ''(indecent)'' terhadap perempuan dan anak-anak.<ref>Additional Protocol I and II Geneva Convention (1949)</ref>Namun berbagai instrumen hukum internasional yang ada belum merujuk pemerkosaan sistematis sebagai perbudakan seksual. Tercatat hanya ''Vienna Declaration and Programme of Action'' yang menegaskan perbudakan seksual sebagaimana berikut ''“All“Semua violationspelanggaran of thissemacam kindini, includingtermasuk inkhususnya particular murderpembunuhan, systematicpemerkosaan rapesistematis, sexualperbudakan slaveryseksual anddan forcedkehamilan pregnancypaksa, requirememerlukan atanggapan particularlyyang effectivesangat responseefektif.''”''<ref>Report of the World Conference on Human Rights, United Nations document A/CONF.157/24 (1993), part II, para. 38.</ref>
 
==== Pernikahan Paksa ====
Baris 106 ⟶ 104:
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights'' Tahun 1948 (UDHR)'', International Covenant on Civil and Political Rights'' Tahun 1966 (ICCPR)'','' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights T''ahun 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.<ref name=":25">Justice, S., Esegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref> ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Civil and Political Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref> Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”''.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cescr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
 
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>'Perdagangan orang'“ ‘Trafficking in persons’ shall mean theberarti recruitmentperekrutan, transportationpengangkutan, transferpemindahan, harbouringpenyembunyian oratau receiptpenerimaan of personsorang, bydengan meansancaman ofatau thepenggunaan threatkekerasan oratau usebentuk-bentuk ofpemaksaan force or other forms of coercionlainnya, of abductionpenculikan, of fraudpenipuan, of deceptionpenipuan, ofpenyalahgunaan thekekuasaan abuseatau ofposisi powerrentan oratau ofmemberi aatau positionmenerima ofpembayaran vulnerabilityatau ormanfaat ofuntuk themendapatkan givingpersetujuan ordari receivingorang ofyang paymentsmemiliki orkendali benefitsatas toorang achieve the consent of a person having control over another personlain, for the purposeuntuk oftujuan exploitationeksploitasi. ExploitationEksploitasi shallharus includemencakup, at a minimumminimal, theeksploitasi exploitationpelacuran oforang thelain prostitutionatau ofbentuk-bentuk otherslain ordari othereksploitasi forms of sexual exploitationseksual, forcedkerja labouratau orlayanan servicespaksa, slaveryperbudakan oratau practicespraktik similarserupa to slaveryperbudakan, servitudepenghambaan oratau thepengambilan removalorgan of organstubuh.”''<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/protocoltraffickinginpersons.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref></blockquote>Protokol Palermo merupakan instrumen internasional utama untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir di bawah administrasi [[Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan|United Nations Office on Drugs and Crime]] (UNODC).<ref name=":1" />UNODC mencatat bahwa definisi perdagangan manusia 'sudah mencakup kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan penghambaan sebagai bentuk eksploitasi dalam perdagangan manusia'. UNODC lebih lanjut mencatat bahwa Konvensi dan Protokol, 'memberikan dasar hukum internasional untuk kerja sama internasional formal dan informal untuk dalam menangani tindak kejahatan lintas batas negara.<ref name=":1" />
 
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environment;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).''<ref>University of Minnesota Human Rights Library. (tanpa tahun). ''Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand,'' dari <nowiki>http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification-</nowiki> thailand.html</ref> Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.<ref name=":25" />