Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah gambar |
membuat artikel baru |
||
Baris 18:
Definisi perbudakan tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Perbudakan 1926, yang berbunyi: “''the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”,''<ref>United Nations (1953) . ''Slavery Convention, signed at Geneva on 25 September 1926 and amended by the Protocol: Signatories and Parties'' . New York: United Nations. Diambil dari <nowiki>https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XVIII2&chapter=18&lang=en</nowiki></ref>definisi tersebut kemudian diamandemen dengan menambahkan definisi korban perbudakan (budak) melalui Pasal 7(a) Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Institusi dan Prakik yang serupa dengan Perbudakan (''Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery'') bahwa budak adalah ... ''‘slave’ means a person in such condition or status”.''<ref name=":7">Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery, ''Final Act and Supplementary Convention'', art. 1, U.N. Doc. E/CONF.24/23</ref>Kemudian dalam Statuta Roma, perbudakan dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah Pasal 7 Ayat 2(c) dan didefinisikan dalam Pasal 7 Ayat 2(c) sebagai ''“the exercise of any or all of the powers attaching to the right of ownership over a person and includes the exercise of such power in the course of trafficking in persons, in particular women and children.”''<ref>Statuta Roma (1998). Diakses dari <nowiki>https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84-be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf</nowiki></ref>Persamaan dari definisi yang tercantum dalam Konvensi Perbudakan 1926 dan Statuta Roma 1998 adalah adanya ''“the powers attaching to the right of ownership.” '' yang artinya unsur kepemilihan atau ''ownership'' menjadi ''sine qua non'' (suatu kondisi yang tidak terelakan adanya) dari segala definisi perbudakan dalam hukum internasional.<ref name=":3">Allain, J (tanpa tahun). ''The Definition of Slavery in International Law.'' Belfast: Bristh Academy.</ref>
Jean Allain, guru besar Fakultas Hukum di Queen’s University of Belfast mengatakan “''there has yet to appear a thorough legal analysis of what that term means in international law.”''<ref name=":3" />Pernyataan tersebut memiliki impliksi bahwasannya definisi perbudakan masih bersifat ambigu dalam hukum internasional''.'' Faktanya apabila menelisik berbagai macam instrumen hukum internasional yang ada, seringkali tidak ada kesepakatan untuk menyebut perbudakan dengan istilah ''slavery, enslavement, serfdom, servitude'' dan praktik ekspoloitasi lainnya. Contohnya, Pasal 6 (c) Piagam IMT Nuremburg menyebut perbudakan sebagai ''enslavement,''<ref>Charter of the International Military Tribunal Nuremburg (1945). Diakses dari <nowiki>http://www.un.org/en/genocideprevention/documents/atrocitycrimes/Doc.2_Charter%20of%20IMT%201945.pdf</nowiki></ref> namun dalam Konvensi Perbudakan 1926, perbudakan diistilahkan dengan ''slavery.'' Penggunaan istilah lainnya dalam perbudakan juga terjadi dalam kasus ''Siliadin v. France'' yang di bawa ke Mahkamah Eropa (''European Court)'' pada tahun 2005. Dalam kasus tersebut perbudakan diistilahkan dengan ''servitude'' dimana anak-anak Togo dipekerjakan secara paksa dengan tidak dibayarkan lebih dari empat tahun, bekerja selama 15 jam sehari dengan tanpa hari libur. Penggunaan ''servitude'' dipilih sebab definisi
Kemudian dalam kasus perbudakan seksual yang terjadi di Yugoslavia, ''The Appeal Chamber'' (para jaksa yang menangani kasus tersebut) menyebut konsep perbudakan yang tertuang dalam Konvensi Perbudakan 1926 sangatlah tradisional sebab hanya merujuk pada praktik ''chattel slavery'' di masa lampau. Padahal perbudakan telah berevolusi ke dalam bentuk-bentuk eksploitatif modern lainnya.<ref name=":5">Prosecutor v. Kunarac, Case Nos. IT-96-23 &-IT-96-23/1-A, Judgment, 118</ref> ----
Baris 33 ⟶ 35:
==== Perbudakan Utang atau ''Debt Bondage'' ====
Salah satu bentuk paksaan yang digunakan dalam praktik perbudakan modern adalah dengan menggunakan ''[[modus operandi]]'' [[perbudakan utang]].<ref name=":2">{{Cite web|title=What is Modern Slavery?|url=https://www.state.gov/what-is-modern-slavery/|website=United States Department of State|language=en-US|access-date=2021-07-29}}</ref> Berdasarkan Konvensi Tambahan Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Institusi dan Praktik-Praktik Serupa Perbudakan (Bahasa Inggris: ''Supplementary Convention to the Abolition of Slavery, the Slave Trade and Institutions and Practices Similar to Slavery),'' [[perbudakan utang]]
==== ''Serfdom'' ====
Baris 59:
==== Perdagangan Manusia ====
▲“.... perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. <ref name=":13">{{Cite journal|last=Syamsuddin|first=Syamsuddin|date=2020-04-24|title=BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN|url=https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/1928|journal=Sosio Informa|language=id|volume=6|issue=1|doi=10.33007/inf.v6i1.1928|issn=2502-7913}}</ref></blockquote>Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.<ref name=":13" /> Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:<blockquote>“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.<ref name=":13" /></blockquote>Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: ''internal-trafficking'') dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: ''international trafficking''). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.<ref name=":13" />
Pada tahun 2018, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan bahwa sekitar 40 juta orang menjadi korban Perdagangan Manusia. Sekitar 90 persen dari semua kasus yang terdeteksi adalah untuk eksploitasi seksual atau tujuan kerja paksa. Sisa 10 persen kasus sering disatukan dalam kategori “bentuk lain”—termasuk perdagangan organ ilegal.<ref name=":20">{{Cite journal|last=Gonzalez|first=Juan|last2=Garijo|first2=Ignacio|last3=Sanchez|first3=Alfonso|date=2020-5|title=Organ Trafficking and Migration: A Bibliometric Analysis of an Untold Story|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7246946/|journal=International Journal of Environmental Research and Public Health|volume=17|issue=9|doi=10.3390/ijerph17093204|issn=1661-7827|pmc=7246946|pmid=32380680}}</ref> Karenanya, berdasarkan bentuk eksploitasi secara ekonomi, [[Interpol]] membagi perdagangan manusia menjadi kategori berikut:
Baris 71 ⟶ 69:
===== b. Perdagangan Manusia untuk Eksploitasi Seksual =====
Berdasarkan dokumen ''Global Report on Trafficking in Persons'' yang dipublikasikan oleh UNODC, bentuk perdagangan manusia yang paling umum (79%) adalah eksploitasi seksual. Korban eksploitasi seksual sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan.<ref>{{Cite web|title=Global Report on Trafficking in Persons|url=https://www.unodc.org/unodc/en/human-trafficking/global-report-on-trafficking-in-persons.html|website=United Nations : Office on Drugs and Crime|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref>Di Amerika Serikat, melalui ''Trafficking Victims Protection Act'' Tahun 2000 yang kemudian diamandemen dengan ''Justice for Victims of Trafficking Act'' Tahun 2015, mendefinisikan perdagangan seks sebagai:<blockquote>''"
dalam Perdagangan Seks
di Thailand, China dan Vietnam|url=http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jgs9b345b5c312full.pdf|journal=Global & Strategis Universitas Airlangga}}</ref>
Baris 89 ⟶ 87:
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) tahun 1919, mengintruksikan kepada negara-negara anggota untuk berkolaborasi menekan perdagangan anak-anak dan perempuan untuk dieksploitasi secara seksual.<ref name=":0" /> Perbedaan perbudakan seksual dengan prostitusi ada tiga. Yang pertama, tidak adanya keuntungan finansial yang didapatkan oleh para budak tersebut. Yang kedua, perbudakan seksual melibatkan kontrol atau penguasaan absolut oleh seseorang terhadap orang lainnya. Yang terakhir, adanya ancaman kekerasan yang ditujukan kepada korban. Perbudakan seksual seringkali terjadi dalam konflik bersenjata atau ketika pendudukan suatu negara ke negara lain.<ref name=":0" />
Penggunaan budak-budak seks ketika waktu perang terjadi dalam bentuk ''camp'' pemerkosaan, ''comfort station'' (mirip rumah pelacuran) yang dilakukan oleh tentara Jepang pada masa [[Perang Dunia II|Perang Dunia II,]] dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lainnya. Tindakan tersebut tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 melarang pihak-pihak yang berkonflik untuk melakukan ''
==== Pernikahan Paksa ====
Baris 106 ⟶ 104:
Larangan perbudakan juga tertuang dalam instrumen utama HAM internasional, yaitu ''Universal Declaration of Human Rights'' Tahun 1948 (UDHR)'', International Covenant on Civil and Political Rights'' Tahun 1966 (ICCPR)'','' dan ''International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights T''ahun 1966 (ICESCR). Dalam UDHR, larangan terhadap perbudakan terdapat dalam Pasal 4 yang berbunyi ''“No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms”''. Sedangkan dalam ICCPR terutama dalam Pasal 8 Ayat 2 disebutkan bahwa “''No one shall be required to perform forced or compulsory labour”.'' Ayat tersebut secara tidak langsung membahas tentang kerja paksa, eksploitasi dan perdagangan manusia dengan menekankan hak pekerja untuk mendapatkan remunerasi yang adil.<ref name=":25">Justice, S., Esegbona, S., Arif, Z., & Scullion, J. (2011). Modern slavery. ''Open Learn,'' 22(4), 28–29.</ref> ICCPR juga menyebut larangan perbudakan dan segala praktik yang berkaitan dengannya adalah hak ''non- derogable,'' yang berarti hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Civil and Political Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref> Instrumen HAM internasional selanjutnya yang secara implisit melarang praktik perbudakan adalah ICESCR, terutama dalam Pasal 7 yang berbunyi ''“The State Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work which ensure, in particular: (a) Remuneration... ;(b) Safe and healthy working condition; (c) Equal opportunity... ; (d)... reasonable limitation of working hours”''.<ref>{{Cite web|title=OHCHR {{!}} International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights|url=https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/cescr.aspx|website=www.ohchr.org|access-date=2021-07-31}}</ref>
Perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa juga diatur dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' atau secara singkat disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dimaksudkan untuk melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (Bahasa Inggris: ''United Nations Convention against Transnational Organized Crime).'' Dalam Protokol Palermo Pasal 3 disebutkan keterkaitan antara kerja paksa dengan perdagangan manusia,<blockquote>“'Perdagangan orang'
ILO sebagai organisasi yang berfokus pada isu-isu ketenagakerjaan, telah mengadopsi beberapa konvensi (terbuka untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara) yang membahas tentang kerja paksa dan bentuk-bentuk eksploitasi manusia lainnya. Konvensi ILO tersebut antara lain: ''International Labour Organisation Forced Labour Convention 1930 (No 29); International Labour Organisation Abolition of Forced Labour Convention 1957 (No 105; Equal Remuneration Convention; Discrimination (Employment and Occupation) Convention; Employement Policy Convention; Convention concerning Occupational Safety and the Working Environment;'' dan ''Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families).''<ref>University of Minnesota Human Rights Library. (tanpa tahun). ''Ratification of International Human Rights Treaties - Thailand,'' dari <nowiki>http://hrlibrary.umn.edu/research/ratification-</nowiki> thailand.html</ref> Pada tahun 2014, ILO mengadopsi Protokol Tambahan yang berkaitan dengan ''Forced Labour Convention, 1930 (No. 29).'' Protokol tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerangka hukum internasional dalam menghapuskan kerja paksa dengan menciptakan kewajiban baru bagi negara untuk mencegah terjadinya kerja paksa, melindungi korban dan untuk menyediakan akses ''remedy'' atau pemulihan, seperti kompensasi atas kerugian material dan fisik.<ref name=":25" />
|