'''Kampung Pitu''' merupakan sebuah kampungperkampungan yang terletak di Kelurahan Nglanggeran, Kecamatan Patuk, [[Kabupaten Gunungkidul]], [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Daerah Istimewa Yogyakarta.]] Kampung tersebut berada di sekitar puncak [[Gunung Nglanggeran|Gunung Api Purba Nglanggeran]].<ref name=":0">{{Cite news|last=Yuwono|first=Markus|date=25 Maret 2021|title=Kampung Pitu, Desa di Gunungkidul yang Hanya Dihuni 7 Keluarga|url=https://regional.kompas.com/read/2021/03/25/163724078/kampung-pitu-desa-di-gunungkidul-yang-hanya-dihuni-7-keluarga?page=all|work=Kompas.com|access-date=02 Agustus 2021}}</ref> Kampung Pitu dikenal dengankarena ciri khas masyarakatnya yang mempertahankan tradisi leluhur mereka denganyang membatasi jumlah kepala keluarga sejumlahsebanyak tujuh orang. Pada awalnya, kampung tersebut bernama Kampung Tlogo. Nama tersebut diambil dari sebuah telaga bernama ''Tlogo Guyangan'' yang memiliki arti tempat pemandian [[Kuda Sembrani|kuda sembrani]] atau kuda gaib yang dipercaya sebagai tunggangan atau kendaraan para bidadari. Namun pada tahun 2015, nama tersebut diganti oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) menjadi Kampung Pitu sebagai upaya untuk mempromosikan tempatKampung tersebutPitu menjadi salah satu objek wisata unggulan di [[Kabupaten Gunungkidul|Kabupaten Gunungkidul.]] Dengan nama tersebut, Kampung Pitu berhasil meraih penghargaan dari [[Gubernur]] [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] dengan kategori Pelestari Kebudayaan. Pada tahun 2019, Kampung Pitu juga ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional dalam kategori Organisasi Masyarakat Berbasis Budaya.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Purwana|first=Bambang H. Suta|date=22 Juli 2020|title=KOMODIFIKASI BUDAYA TRADISIONAL KOMUNITAS KAMPUNG PITU DI GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA|url=https://jurnalpuslitjakdikbud.kemdikbud.go.id/index.php/kebudayaan/article/view/341/159|journal=Jurnal Puslitjakdikbud Kemdikbud|volume=15|issue=1/2020|pages=53-66|doi=10.24832/jk.v15i1.341}}</ref>
== Sejarah ==
Kampung Pitu merupakan sebuah perkampungan yang hanya dapat dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Aturan tersebut tidak boleh dilanggar oleh masyarakatpenduduk di sana karena diyakini dapat mendatangkan sebuah bencana.<ref name=":0" /> Sejarah Kampung Pitu diawali dengan ditemukannya sebuah pusaka yang menempel pada pohon ''Kinah Gadung Wulung'' di puncak [[Gunung Nglanggeran|Gunung Nglenggeran]] oleh seorang abdi Keraton Yogyakarta bernama Eyang Iro Dikromo melalui sebuah sayembara.<ref name=":2">{{Cite news|last=AW|first=Titah|date=19 Juni 2019|title=Mengunjungi Kampung Pitu, Desa Berbahaya yang Cuma Bisa Dihuni Tujuh Keluarga|url=https://www.vice.com/id/article/zmpkxe/kampung-pitu-nglanggeran-gunung-kidul-berbahaya|work=vice.com|access-date=02 Agustus 2021}}</ref> Sebagai hadiah, Eyang Iro Dikromo mendapatkan tanah yang cukup untuk anak danserta keturunannya dari pihak Keraton Yogyakarta. Kemudian, ia mengajak teman-temannya untuk menempati lahan dekat pohon ''Kinah Gadung Wulung'' dan membuat peraturan-peraturan sebagai berikut:
# kepala keluarga yang menempati daerah sekitar pohon ''Kinah Gadung Wulung'' hanya boleh berjumlah tujuh;
# jika ingin tetap tinggal, sementara kepala keluarga sudah ada tujuh, maka keluarga mereka harus menginduk pada satu di antara tujuh kepala keluarga yang ada.
Peraturan-peraturan di atas merupakan wasiat (''pepundhen'') dari leluhur masyarakat Kampung Pitu yang ditujukan kepada keturunannya agar wilayah tersebut hanya dapat dihuni oleh ''Empu Pitu'' atau tujuh kepala keluarga saja. Sampai saat ini, peraturan-peraturan tersebut masih diyakini dan ditaati oleh penduduk di Kampung Pitu.<ref name=":1" />
== Tradisi ==
Masyarakat Kampung Pitu pantang menggelarmenyelenggarakan pertunjukkanpertunjukan [[wayang]]. Hal initersebut disebabkan karena gunung di sekitar desa tersebut diberi nama gunung wayang. Oleh sebab itu, penduduk di sana percaya untuk tidak menggelar pertunjukkanpertunjukan wayang.<ref name=":0" /> Semua pendudukmasyarakat diKampung sanaPitu menganut agama [[Islam]] dengan [[sinkretisme]] ajaran [[Suku Jawa|Jawa]].<ref name=":2" /> Mereka selalu menyelenggarakan ''[[slametan]]'' untuk berbagai upacara keagamaan yang berkaitan dengan tahapan hidup manusia, seperti perkawinan, kelahiran, dan kematian. Meskipun masyarakat di sana meyakinimempercayai aturan kepala keluarga yang harus berjumlah tujuh, perkawinan yang ada di Kampung Pitu tidak memiliki aturan dalam memilih pasangan. Setiap warga di sana dapat menikah dengan siapa saja, baik warga Kampung Pitu ataupun warga luar lainnya. Namun, warga yang telah menikah dilarang tinggal di Kampung Pitu dan harus meninggalkan kampung tersebut. Apabila mereka tetap tinggal di sana, mereka tidak diizinkan membuat kartu keluarga sendiri, melainkan harus ikut dalam kartu keluarga orang tuanya.<ref name=":1" />
== Referensi ==
|