Peutron Aneuk: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>") |
||
Baris 9:
Namun seiring masuknya [[Islam di Indonesia|Ajaran Islam]] ke bumi Serambi Mekah, Peutron Aneuk dalam pelaksanaan dan maknanya kini disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Implikasinya, segala upacara adat orang Aceh pasti dimulai dengan [[Basmalah|bismillah]]. Ada doa selamat dan lantunan [[Selawat|Shalawat]] kepada [[Muhammad|Nabi Muhammad SAW]]{{Sfn|Altas|(2017)|p=4 : “Namun masuknya islam ke Serambi Mekah upacara/ kepercayaan tersebut telah disesuaikan dengan nuansa keislaman. Segala sesuatu pekerjaan dimulai dengan bismillah dan doa selamat serta shalawat nabi ..."}}.
Upacara adat Peutron Anuek dipercaya Orang Aceh dilakukan turun-temurun sejak zaman pertengahan abad ke-13 Masehi, atau dimasa [[Kesultanan Samudera Pasai|Kesultanan Pasai]] (Kerajaan Islam Samudera Pasai) berkuasa. Diteruskan oleh [[Kesultanan Aceh|Kerajaan Aceh Darussalam]] (1496 - 1903), dan terus berlanjut hingga saat ini. Menurut catatan, [[Sultan Mansur Syah]]-Putri Raja Indra Bangsa pun turut melaksanan Patreun Aneuk, yakni ketika menyambut kelahiran bayi mereka yang dinamai [[Iskandar Muda dari Aceh|Sultan Iskandar Muda]] yang lahir pada tahun 1593 Masehi. Tentu saja upacara dilaksanakan dengan megah dan meriah. Prosesi tersebut lalu menginspirasi Orang Aceh sampai sekarang. Pada zaman itu jika bayinya laki-laki, biasanya meriam dibunyikan dnegan bersahut-sahutan. Para pendekar memotong tiga batang pisang dengan pedang. Aksi pendekar itu merupakan harapan agar si anak kelak menjadi orang yang pemberani, khususnya ketika berlaga di medan perang dan memiliki jiwa yang ksatria.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://news.okezone.com/read/2014/11/02/340/1060117/tradisi-peutroen-aneuk-ada-sejak-kerajaan-samudera-pasai|title=Tradisi Peutroen Aneuk Ada Sejak Kerajaan Samudera Pasai|last=Mardira|first=Salman|date=2 November 2014|website=okezone|publisher=|access-date=22 Maret 2019}}</ref>
== Usia Bayi & Jenis Kelamin ==
Mengenai berapa usia bayi yang boleh mengikuti prosesi ini juga berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya pada hari ke-7 setelah lahir, ketika usia bayi sudah mencapai umur 44 hari, dan ada juga yang melangsungkannya setelah bayi berusia lebih dari setahun. Mengenai mengapa dilakukan saat bayi berumur 7 hari, hal ini mengikuti [[Syariat Islam]] dan Sunnah Rasul, termasuk Aqiqah dan pemberian nama.<ref name=":0" />
Bahkan untuk wilayah tertentu tradisi ini disepakati bersama dituangkan secara tertulis dalam hukum adat di daerah tersebut. Contoh untuk wilayah Kemukiman Cot [[Jeumpa, Bireuen|Jeumpa]] {{Sfn|Majelis Duek Pakat Kemukiman Cot Jeumpa & Imuem Mukim Cot Jeumpa|(2009)|p=26 : “Kenduri peutron aneuk: a. peutron aneuk sekalian syukuran; b. dilaksanakan saat usia anak tiga bulan atau lima bulan; c. boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan; ..."}} di Kabupaten Pidie, Kemukiman Glee Bruek{{Sfn|Majelis Duek Pakat Kemukiman Glee Bruek & Imuem Mukim Glee Bruek|(2009)|p=27 : “b. dilaksanakan saat usia anak tiga bulan atau lima bulan; c. boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan; ..."}} atau di Mukim Lhoong{{Sfn|Majelis Duek Pakat Kemukiman Lhoong & Imuem Mukim Lhoong|(2009)|p=30 : “a. peutron aneuk sekalian syukuran; b. dilaksanakan saat usia anak tiga bulan atau lima bulan; c. boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan; ..."}} tradisi ini dilakukan ketika bayi sudah berusia tiga bulan, lima bulan dan boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan. Pada [[Blang Me, Simpang Ulim, Aceh Timur|Kemukiman Blang Me]] ketentuan usia sama dengan Kemukiman (Gampong) Cot Jeumpa, bedanya Peutron Aneuk berlaku hanya untuk anak pertama saja{{Sfn|Majelis Duek Pakat Kemukiman Blang Me & Imuem Mukim Blang Me|(20XX)|p=40 : “Kenduri peutron aneuk: a. dilaksanakan saat usia anak tiga bulan atau lima bulan; b. boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan; c. dilakukan dengan membawa si anak turun dari rumah ke suatu tempat yang dianggap suci; d. peutron aneuk atau pengenalan dunia luar wajib dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan hanya berlaku pada anak pertama; ..."}}.
Hal berbeda soal umur berlaku pada Masyarakat Gampong Sawang. Mereka melakukannya dikala bayi berumur 44 hari{{Sfn|Maulida|(2017)|p=62 : “Dari hasil penelitian bahwa, “proses adat peutreun aneuk di Gampong Sawang diadakan setelah bayi berumur 44 hari dimana acara ini merupakan adat kebiasaan masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu menjadi teadisi bagi para orang tua untuk mengenal anak tercintanya kepada seluruh masyarakat sekelilingnya ..."}}, Ketentuan tersebut berlaku juga untuk Gampong Kunyet{{Sfn|Majelis Duek Pakat Kemukiman Kunyet & Imuem Mukim Kunyet|(2013)|p=36 : “Kenduri peutron aneuk; a. Dilaksanakan saat usia anak 44 hari ..."}}. Sedangkan pada [[Suku Gayo|Masyarakat Gayo]], Peutron Aneuk dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi lahir, berbarengan dengan tradisi Cuko’ok, Geuboh Nan dan Aqiqah. Dahulu bahkan dilaksanakan saat bayi berusia satu sampai dua tahun, apalagi jika bayi adalah anak sulung. Hal ini karena upacara Peutron Aneuk untuk anak pertama pasti lebih besar.<ref name=":7">{{Cite web|url=http://www.netralnews.com/news/rsn/read/113722/upacara-kelahiran-bayi-adat-aceh-sungguh-unik-tak-ada-bandingan|title=Upacara Kelahiran Bayi Adat Aceh, Sungguh Unik, Tak Ada Bandingan|last=Koten|first=Thomas|date=14 November 2017|website=netralnews|publisher=|access-date=25 Maret 2019}}</ref>
Penerapan prosesi berbeda pada saat dituruntanahkan bergantung pula pada jenis kelamin. Jika bayi itu perempuan, para anggota keluarga menyapu dan menampi beras sebagai simbol dari kerajinan. DIharapkan kelak sang bayi perempuan itu menjadi anak yang rajin. Sebaliknya, jika bayi berjenis kelamin laki-laki, maka akan dilakukan prosesi mencangkul tanah dan mencincang batang pisang, keladi atau batang tebu. Harapannya agar kelak si anak menjadi seorang lelaki yang senantiasa bekerja keras dan berjiwa ksatria.<ref name=":0" />
== Persiapan ==
Sebelum Peutron Aneuk dimulai harus dilakukan persiapan yang matang. Pertama, keluarga yang punya hajatan mesti berembuk terlebih dahulu untuk menentukan kapan hari pelaksanaannya dan menentukan siapa saja yang diundang (''jak meuroeh''). Mereka lalu mempersiapkan bahan-bahan yang nanti digunakan saat prosesi Peutron Aneuk, [[Peusijuek|Peusijuk]] Cuko’ok Geuboh Nan, [[Peucicap]] seperti kelapa, batang pisang, tebu, pohon pinang dan juga pedang{{Sfn|Ervina|(2017)|p=44 : “Sebelum proses ritual peutron aneuk dilaksanakan, ada beberapa persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Gampong Tokoh ..."}}. Hal lain yang perlu disiapkan adalah berbagai hidangan untuk disantap para undangan setelah acara inti selesai Bagi orang Aceh kebahagiaan orang tua bayi perlu turut dirasakan juga oleh para tamu yang hadir.<ref name=":0" />
Selanjutnya adalah mengundang kerabat dekat, tokoh-tokoh adat-agama, serta tetangga dan warga lainnya. Bisa juga diundang kerabat jauh bila memungkinkan, namun yang terpenting adalah kehadiran tua-tua adat. Hal ini mengingat mereka inilah yang nanti memimpin upacara Peutron Aneuk. Tetua Adat yang dimaksud biasanya merangkap sebagai pemuka agama Islam. Tetua Adat dipilih agar kelak si anak bisa mengikuti jejak-nya, bijak dan memahami Agama Islam.<ref name=":0" />
Untuk diperhatikan biaya upacara atau kenduri Peutron Aneuk bisa mahal, bisa juga berbiaya murah. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi kemampuan ekonomi orang tua yang bersangkutan{{Sfn|Hoesein|(1970)|p=74 : “Pada hari peutron itu diadakan kenduri, sesuai dengan tenaga keuangan dari fihak jang bersangkutan. ..."}}. Biasanya jika yang punya hajat adalah orang berada dan bayinya itu merupakan anak pertama, maka dipotonglah kerbau atau lembu{{Sfn|Ervina|(2017)|p=22 : “Bagi orang yang mampu biasanya jika yang di turun tanahkan anak pertama, maka biasanya diadakan upacara yang cukup besar dengan menyembelih kerbau atau lembu ..."}}. Jika keluarga bayi dengan kemampuan ekonomi biasa saja maka cukup dengan memotong kambing. Hewan yang dikurbankan ini berjenis kelamin laki-laki. Hewan-hewan itu disembelih, lalu dimasak bersama-sama dan dinikmati bersama-sama dengan para undangan saat acara kendurian{{Sfn|Gardjito, dkk|(2018)|p=144 : “Upacara Hakikah dilakukan dengan memotong kerbau atau kambing bagi orang yang mampu, sedang bagi yang kurang mampu memotong kambing saja ..."}}.
Baris 29:
== Prosesi ==
Makna Peutron Aneuk secara luas adalah media untuk membangun tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembang si bayi.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://news.okezone.com/read/2014/11/02/340/1060103/makna-di-balik-peutroen-anuek-puecicap|title=Makna di Balik Peutroen Anuek & Puecicap|last=Mardira|first=Salman|date=2 November 2014|website=okezone|publisher=|access-date=21 Maret 2019}}</ref>
Jika berjenis kelamin laki-laki maka yang menggendongnya adalah Teungku Agam (Teungku laki-laki). Sebaliknya jika dia perempuan, yang menggendong adalah Teungku Inong (Teungku wanita). Sambil digendong bayi dipayungi oleh orang yang telah ditentukan sebelumnya. Saat melangkah di anak tangga pertama, yang berdiri di dekat Teungku Agam, membelah kelapa di atas payung. Belahan kelapa dilemparkan ke halaman sebelah kiri dan kanan. Setelah kelapa dibelah Teungku turun ke halaman rumah dengan lebih cepat. Ia pun mencincang dengan pedang pohon pisang dan pohon tebu yang sudah ditanam sebelumnya. Untuk anak perempuan prosesi mencincang tidak berlaku, makanya saat menggendong bayi Teungku Inong tidak memegang pedang{{Sfn|Samad|(2015)|p=121 : “Tujuan lebih lanjut dari upacara ini merupakan simbolisasi untuk memperkenalkan lingkungan masyarakat kepada anak ..."}}. Tidak berapa lama Teungku lalu menurunkan bayi di atas tanah. Saat kaki sang bayi menyentuh tanah diucapkan pula ''lagee tanoh nyoe teutap, beumeunankeuh teutap hate gata,'' selanjutnya bayi ditahtehkan (diajak berjalan) di atas tanah.<ref>{{Cite web|url=https://maa.acehprov.go.id/news/detail/anak-dalam-asuhan-adat|title=Anak Dalam Asuhan Adat|last=Zainun|first=Asnawi|date=|website=acehprov|publisher=|access-date=23 Maret 2019|archive-date=2019-03-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20190326040500/https://maa.acehprov.go.id/news/detail/anak-dalam-asuhan-adat|dead-url=yes}}</ref>
Hal ini merupakan simbol perkenalan bayi dengan tanah dan lingkungan sekaligus harapan agar si bayi memiliki pendirian teguh dan iman yang kekal, sebagaimana sifat tanah, kekal. Teungku atau orang yang menjejakkan kaki bayi ke tanah biasanya akan mengucapkan secara lisan, diawali hitungan dari satu sampai tujuh. Ada juga yang sekadar meniatkan saja dalam hati sambil menyentuhkan kaki bayi ke bumi.<ref name=":4" />
== Prosesi Terkait ==
Baris 42:
'''Geuboh Nan.''' Atau disebut juga Tradisi Boh Nan. Dilaksanakan serentak dengan upacara petron aneuk, juga aqīqah. Upacara ini dilangsungkan pada bulan kedua atau ketiga umur bayi dan biasanya bertempat di rumah nenek si bayi. Boh nan merupakan tradisi memberikan nama kepada si bayi. Seusai upacara peutron aneuk, nenek bayi mempersiapkan bahan-bahannya, dan ada kaitannya dengan upacara Peutron Aneuk dan upacara Aqīqah.
Nama yang diberikan biasanya bernuansa nama-nama yang Islami. Dengan nama islami tersebut diharapkan akan membawa keberkahan buat si anak. Dengan nama itu juga si bayi akan selalu dipanggil dengan doa yang baik. Menurut [[Abu Zakaria Muhyuddin an-Nawawi|Imam An Nawawi]] dalam Shahih Muslim nama-nama yang dianjurkan untuk nama bayi adalah Abdullah, Ibrahim, atau nama nabi-nabi lainnya. Boleh juga memberinya nama Abd al-Rahmān, atau nama-nama yang semakna dengan nama-nama tadi'''.''' Menurut Nabi Muhammad SAW, Allah SWT menyukai nama-nama tersebut.<ref>{{Cite web|url=http://portalsatu.com/read/oase/fiqh-kelahiran-i-pentingnya-tahnik-peucicap-bayi-dalam-islam-38570|title=Fiqh Kelahiran (I): Pentingnya Tahnik (Peucicap) Bayi dalam Islam|last=El-Langkawi|first=Helmi Abu Bakar|date=|website=portalsatu|publisher=|access-date=25 Maret 2019|archive-date=2019-03-26|archive-url=https://web.archive.org/web/20190326054458/http://portalsatu.com/read/oase/fiqh-kelahiran-i-pentingnya-tahnik-peucicap-bayi-dalam-islam-38570|dead-url=yes}}</ref>
'''Aqiqah'''. Masyarakat Aceh menganggap bahwa upacara Aqīqah (hakikah dalam bahasa Aceh) terkait dengan ajaran Agama Islam yang mereka anut. Acara ini disesuaikan kemampuan ekonomi keluarga. Jika kurang mampu, maka dipotonglah seekor kambing. Daging Aqiqah harus habis dimakan pada hari yang sama upacara dilangsungkan. Jika bersisa maka wajib dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga. Hal demikian sesuai dengan hadist Nabi{{Sfn|Samad|(2015)|p=120 : “Bahan-bahan seperti ketan dan ayam panggang, akan dibagi-bagikan kepada tetangga, sebagai pemberitahuan bahwa bayi sudah dicukur rambutnya ..."}}.
|