Hukuman mati dan hak asasi manusia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 68:
 
* '''Protokol No. 13 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia terkait Penghapusan Pidana Mati dalam Semua Situasi''', disahkan pada tahun 2002 oleh [[Dewan Eropa]]. Isi dalam perjanjian ini yaitu penghapusan hukuman mati dalam semua keadaan. Hal ini juga berlaku dalam penghapusan hukuman mati dalam masa perang. '''Negara pihak:''' [[Albania]], [[Andora]], [[Austria]], [[Belgia]], [[Bosnia dan Herzegovina]], [[Bulgaria]], [[Kroasia]], [[Siprus]], [[Ceko]], [[Denmark]], [[Estonia]], [[Finlandia]], [[Prancis]], [[Georgia]], [[Jerman]], [[Yunani]], [[Hongaria|Hungaria]], [[Islandia]], [[Republik Irlandia|Irlandia]], [[Italia]], [[Latvia]], [[Liechtenstein]], [[Lituania|Lithuania]], [[Luksemburg|Luksembourg]], [[Makedonia Utara|Macedonia]], [[Malta]], [[Moldova]], [[Monako]], [[Montenegro]], [[Belanda]], [[Norwegia]], [[Polandia]], [[Portugal]], [[Rumania]], [[San Marino]], [[Serbia]], [[Slowakia|Slovakia]], [[Slovenia]], [[Spanyol]], [[Swedia]], [[Swiss]], [[Turki]], [[Ukraina|Ukrania]], dan [[Inggris]]. [[Negara]] yang menandatangani tapi belum [[Ratifikasi|meratifikasi]], [[Armenia]].<ref name=":2" />
 
== Perkembangan di Indonesia ==
Eksekusi hukuman mati pertama di Indonesia yang tercatat oleh data [[Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan]] (KontraS) dijatuhi kepada Oesin, yang merupakan pedanga kambing dan tukang jagal di [[Kota Mojokerto|Mojokerto]]. Ia dieksekusi mati karena melakukan pembunuhan terhadap enam rekan bisnisnya pada tahun 1964. Oesin dieksekusi mati pada 14 September 1979.<ref>{{Cite web|date=2015-01-18|title=3 Penjahat legendaris ini dieksekusi mati pertama kali di Indonesia|url=https://www.merdeka.com/peristiwa/3-penjahat-legendaris-ini-dieksekusi-mati-pertama-kali-di-indonesia.html|website=merdeka.com|language=en|access-date=2021-07-30}}</ref> Berdasarkan data dari ''[[Institute for Criminal Justice Reform]]'' atau disingkat ICJR menyebutkan bahwa jumlah kasus hukuman mati hingga Oktober 2020 mencapai 173 kasus, dengan total 210 terdakwa. Data ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, di Oktober 2018 hingga Oktober 2019 tercatat 126 kasus, dengan total 135 jumlah terdakwa. Kasus-kasus tersebut dibagi dalam beberapa rincian yaitu: 1) kasus narkotika dengan jumlah kasus 149 (86%); 2) kasus pembunuhan yang direncanakan 23 kasus (13%); dan kasus terorisme memiliki jumlah kasus sebanyak 1 kasus (1%).<ref name=":15">{{Cite book|last=Andre Budiman Adighama|first=dkk|date=2020|url=https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2020/10/Final-Laporan-Pidana-Mati-2020-ICJR.pdf|title=Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2020: Mencabut Nyawa di Masa Pandemi|location=Jakarta|publisher=Institute for Criminal Justice Reform|isbn=9786026909763|pages=1-42|url-status=live}}</ref> Di Indonesia untuk menentukan sanksi terhadap sebuah kejahatan dan pelanggaran diatur dalam hukum pidana. Tujuan dari hukum pidana tersebut yaitu agar seseorang yang berbuat kejahatan mendapat hukuman yang adil, dan berharap agar pelaku kejahatan tersebut tidak mengulangi kejahatannya kembali.<ref name=":3">{{Cite web|last=Nugraha|first=Jevi|date=2020-10-13|title=Mengenal Tujuan Hukum Pidana Beserta Fungsinya, Perlu Dipahami|url=https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-tujuan-hukum-pidana-beserta-fungsinya-perlu-dipahami-kln.html|website=merdeka.com|language=en|access-date=2021-06-24}}</ref> Salah satu hukum pidana juga mengatur menganai tentang hukuman mati di dalamnya. Hukuman mati termasuk ke dalam hukuman pokok, apabila dilihat dari jenis hukum positif di Indonesia. Jenis-jenis kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati di Indonesia di antaranya:
 
=== Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ===
* Pasal 104 KUHP, berisi tentang kepada siapa saja yang ingin menyatakan makar (pengkhianatan), dan bertujuan untuk merampas dan menjatuhkan [[presiden]] atau [[wakil presiden]], orang tersebut akan dijatuhkan dengan pidana mati atau [[hukuman penjara seumur hidup]], atau kurungan penjara paling lama 20 tahun.<ref>{{Cite web|last=Media|first=Kompas Cyber|date=2019-05-20|title=Sejumlah Tokoh Terjerat Pasal Makar, Begini Pandangan Ahli Hukum... Halaman all|url=https://megapolitan.kompas.com/read/2019/05/21/06003541/sejumlah-tokoh-terjerat-pasal-makar-begini-pandangan-ahli-hukum|website=KOMPAS.com|language=id|access-date=2021-06-24}}</ref>
* Pasal 124 ayat (3) KUHP, berisi tentang hukuman mati bagi siapa saja yang menghancurkan tempat alat perhubungan, gudang persenjataan untuk perang, atau menyerahkannya kepada musuh. Selain itu, hukuman mati juga diberikan kepada pembuat huru-hara dan pemberontakan dari [[Angkatan perang|Angkatan Perang]].<ref name=":5">{{Cite web|last=Human Rights Papua|first=Media|date=25 Februari 2016|title=Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP|url=https://humanrightspapua.org/resources/nlaw/174-kitab-undang-undang-hukum-pidana-kuhp|website=humanrightspapua.org|access-date=2021-06-24}}</ref>
* Pasal 140 ayat (3) KUHP, hukuman yang diberikan kepada seseorang yang melakukan pembunuhan tapi direncakan dahulu sebelumnya. Hukuman terberatnya yaitu hukuman mati. Selain itu, bisa juga dijatuhi hukuman kurungan penjara seumur hidup.<ref name=":7">{{Cite journal|last=Yan David Bonitua*|first=Pujiyono|date=2017-02-09|title=SIKAP DAN PANDANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP EKSISTENSI SANKSI PIDANA MATI DI INDONESIA|url=https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/15537|journal=Diponegoro Law Journal|language=id|volume=6|issue=1|pages=1–18|doi=}}</ref>
* Pasal 365 ayat (4) KUHP, berisi tentang hukuman berat bagi seseorang atau kelompok yang melakukan pencurian disertai dengan kekerasan hingga korban tersebut mati. Hukuman berat di sini bisa sampai dengan hukuman mati.<ref>{{Cite web|last=Yani|first=Ahmad|date=2020|title=ANALISIS YURIDIS PASAL 365 KUHP TERHADAP KEJAHATAN PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (STUDI KASUS DI PERUMAHAN CITRA RAYA KABUPATEN TANGERANG)|url=http://ejournal.unis.ac.id/index.php/PROSIDING/article/download/1020/773|website=ejournal.unis.ac.id|access-date=2021-07-22}}</ref>
* Pasal 444 KUHP, pemberian hukuman mati kepada orang yang perompakan di [[laut]], [[pesisir]], dan [[sungai]] serta menyebabkan kematian bagi korban.<ref>{{Cite journal|last=Wardani|first=Koko Arianto|last2=Wahyuningsih|first2=Sri Endah|date=2017-12-10|title=Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia|url=http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/2571|journal=Jurnal Hukum Khaira Ummah|language=en-US|volume=12|issue=4|pages=951–958|doi=10.14710/lr.v10i1.12458}}</ref>
*Pasal 124 bis KUHP, pemberian hukuman berat kepada orang atau kelompok yang menyebabkan kekacauan dan pemberontakan kepada lembaga pertahanan negara.<ref>{{Cite journal|last=Tombi|first=Mikha|date=2017-03-15|title=TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN HUKUMAN MATI MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA|url=https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/15281|journal=LEX PRIVATUM|language=en|volume=5|issue=2|pages=115-122|doi=10.22437/jssh.v4i2.10999|issn=2337-4942}}</ref>
* Pasal 368 ayat (2) KUHP, pemberian hukuman berat kepada orang atau kelompok yang melakukan ancaman kekerasan, pemaksaan, hingga pencurian.<ref>{{Cite web|last=Jam'an Kurnia|first=Abi|date=16 Agustus 2018|title=Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman|url=http://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2025/ancaman/|website=Hukumonline.com|language=Indonesia|access-date=2021-06-25}}</ref>
 
=== Kitab Undang-Undang Hukum Militer ===
 
* Pasal 64, berisi tentang pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada militer yang membantu musuh atau menimbulkan kerugian bagi [[negara]].<ref name=":13">{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014|title=CITA POLITIK HUKUM PIDANA MATI DI INDONESIA|url=https://jih.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/2787|journal=Jurnal Ilmu Hukum|volume=4|issue=2|pages=161-179|doi=10.30652/jih.v4i2.2787}}</ref>
* Pasal 65, berisi tentang pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada militer yang melakukan [[pemberontakan]].<ref name=":13" />
* Pasal 67, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun karena menjadi mata-mata. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).<ref name=":13" />
* Pasal 68, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada yang mengkhianati janji ketika perang dan mengadakan perencanaan yang jahat. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).<ref name=":13" />
* Pasal 73, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada anggota militer yang dengan sengaja menyerahkan diri kepada musuh. (Direvisi dengan UU No. 39 tahun 1947).<ref name=":13" />
* Pasal 74, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada orang yang sengaja menyerah ketika perang tanpa pemberian perintah yang tegas, serta melenyepkan semangat juang dan mengacaukan masyarakat [[militer]].<ref name=":13" />
* Pasal 76, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun apabila melakukan kejahatan ketika dirinya diberi amanah sebagai pemegang komando, atau pengurus, atau pengawas dari [[Angkatan darat|Angkatan Darat (AD)]], [[Angkatan laut|Angkatan Laut (AL)]], atau [[Angkatan udara|angkatan Udara (AU)]].<ref name=":13" />
* Pasal 82, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada perusak perjanjian dan bertentangan dengan hukum serta memihak musuh.<ref name=":13" />
* Pasal 89, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun karena melakukan pengingkaran jabatan ([[desersi]]) ketika perang.<ref name=":13" />
* Pasal 133, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada pelaku [[pemberontakan]] dalam suasana damai, pengingkaran jabatan (desersi), serta mengabaikan pencegahan terjadinya perang atau kejahatan.<ref name=":13" />  
* Pasal 137, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada Angkatan Perang yang melakukan kekerasan dengan sengaja kepada seseorang atau kelompok.<ref name=":13" />
* Pasal 138, pemberian hukuman mati, atau kurungan penjara seumur hidup, atau kurungan penjara sementara paling lama dua puluh tahun kepada orang yang melakukan kekerasan kepada orang yang sudah mati, orang sakit, atau yang terluka akibat peperangan.<ref name=":13" />
 
Tahun 1948, penangkapan [[Amir Sjarifoeddin|Amir Sjarifuddin]] membuah gaduh dunia politik di Indonesia. Amir Sjarifuddin merupakan tokoh politik sekaligus mantan [[Menteri|menteri pertahanan]] dan [[perdana menteri]]. Dia ditangkap dengan alasan terlibat dalam [[Peristiwa Madiun]], yang melibatkan [[Partai Komunis Indonesia]] ([[Partai Komunis Indonesia|PKI]]). Di bulan Desember, Amir Syarifuddin [[Hukuman mati|dieksekusi mati]] di [[Ngaliyan, Semarang|Ngalihan]], [[Kota Surakarta|Solo]]. Tahun 1946, [[Tan Malaka]] ditangkap karena mengikuti pertemuan dengan pimpinan [[Persatuan Perjuangan|Pesatuan Perjuangan]]. Ketika Peristiwa Madiun terjadi, Tan Malaka dibebaskan. Bulan Februari, 1949 Tan Malaka menghilang. Lima puluh tahun dari kejadian tersebut, seorang peneliti bernama [[Harry Poeze]] mengungkapkan bahwa Tan Malaka dibunuh oleh seorang [[Letnan Dua]] bernana [[Sukutjo]] atas inisiatif pribadi.<ref name=":1">{{Cite book|last=Artiono Arba'i|first=Yon|date=2012|url=https://books.google.co.id/books?id=pihIDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=aku+menolak+hukuman+mati&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwimgYyuguTnAhWuzzgGHUlLCLgQ6AEIKDAA#v=onepage&q=aku%20menolak%20hukuman%20mati&f=false|title=Aku Menolak Hukuman Mati|location=Jakarta|publisher=KPG|isbn=978-9799104083|pages=89-102|url-status=live}}</ref>
 
Dua kejadian di atas menyimpulkan pada periode ini ada beberapa eksekusi mati yang dipraktikkan di [[Indonesia]] tanpa persidangan. Pemerintah pada saat itu belum solid, ketika pengambilan keputusan. Hasil penyelidikan yang panjang, melahirkan kesimpulan bahwa para eksekutor hukuman mati melakukannya atas inisiatif pribadi, dan didukung oleh kepentingan [[politik]]. Pada tahun 1973 – 1981, pemerintahan dipimpin oleh [[Soeharto]]. Saat itu [[Indonesia]] sedang fokus dalam pengembangan perekonomian. Namun, pada saat itu tingkat kriminalitas semakin tinggi. Salah satu kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus Sengkon dan Karta, di tahun 1974. Kasus ini bermula dari perampokan dan pembunuhan pasangan Sulaiman dan Siti di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai tersangka. Mereka memang tidak mengakui bahwa mereka yang telah melakukan perampokan dan pembunuhan tersebut. Namun, setelah polisi memberi tekanan terhadap mereka, akhirnya mereka mau untuk menandatangani berita acara penangkapan tersebut. Hal mengejutkan terjadi, ada seseorang yang bernama Genul yang mengaku telah membunuh Sulaiman dan Siti. Akhirnya, Genul dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan penjara. Hal yang menjadi aneh adalah, meskipun pelaku sebenarnya sudah ditangkap, Sengkon dan Karta tidak langsung dibebaskan dan tetap menjalankan kurungan penjara. Pada periode ini, pemerintah belum mampu menghadapi kasus kriminalitas yang terjadi. Oleh karena itu untuk menekan angka kriminalitas pemerintah membuat jalan pintas dengan cara [[Hukuman mati|eksekusi mati]] tanpa pengadilan.<ref name=":1" />
 
Kasus [[penembakan misterius]] (Petrus) dilakukan oleh aparat keamanan ditahun 1982-1985. Eksekusi mati ini dilakukan kepada mereka yang dituduh pelaku kriminal. Usaha ini menimbulkan beberapa ketidakjelasan dalam penentuan indetitas kriminal tersebut. Selain itu, ada beberapa yang menyebabkan kesalahan eksekusi. Pada tahun 2012 [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia]] ([[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|Komnas HAM]]) membentuk Tim Ad Hoc untuk melakukan penyelidikan untuk kasus penembakan misterius (Petrus) ini. Hasilnya, kegiatan Petrus ini tergolong dalam kasus [[pelanggaran hak asasi manusia]] tingkat berat.<ref name=":1" />
 
== Pandangan Masyarakat yang Kontra Penerapan Hukuman Mati ==