Ayat-Ayat Setan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Nasr7 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Nasr7 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 20:
{{Quote|''Mereka adalah burung-burung bangau yang terbang tinggi; syafaat dari mereka sungguh sangat diharapkan.''}}
 
BeberapaPada saatmalam kemudianharinya, [[Malaikat Jibril]] pun datang dan mengabari Sang Nabi, bahwa Setan telah menyelipkan kata-katanya ke dalam firman Allah yang telah beliau sampaikan. Mengetahui hal tersebut, Nabi pun merasa sedih. Namun beberapa saat kemudian kesedihan beliau pun sirna setelah Allah meyakinkan ridho-nya kepada beliau dengan me-[[Nasakh (tafsir)|nasakh]] (membatalkan) ayat dari setan tersebut serta menguatkan ayat-ayat-Nya.
 
{{Quote|''Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana,''|[https://quran.com/22/52 QS 22:52]}}
== Berbagai penerimaan umat muslim terhadap riwayat ini ==
== Pendapat berlawanan ==
Beberapa cendekiawan Muslim menolak keabsahan sejarah dari insiden ini, berdasarkan argumen bahwa kisah ini mempunyai ''[[isnad]]'' (rantai penyampaian) yang lemah (''dha'īf''), serta berpegang pada doktrin ''[[isma]]'' dalam teologi Islam; yaitu Ketidakbersalahan Nabi; perlindungan Illahiah bahwa Allah melindungi Nabi Muhammad agar terhindar dari melakukan segala perbuatan salah.<ref name="Ahmed" /> Sekalipun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir menganggap sahih, tetapi [[Al-Baihaqi]] mengatakan bahwa kisah ini tidak tetap (''tsabit'') dari sisi penukilan (pengutipan) di isnadnya." Qadhi 'Iyadh<ref>Lihat {{aut|[[Qadhi 'Iyadh|'Iyadh, Qadhi]]}}, ''Asy-Syifā'', jilid 2, halaman 116.</ref> menganggap serupa; karena hampir semunanya lemah dan sangat lemah. Tidak pernah hadits ini dikeluarkan seorangpun yang konsisten dalam hadits-hadits ''shahīh'', juga tiada yang meriwayatkannya oleh seorang ''tsiqah'' (tepercaya) dalam sanad yang baik dan ''marfū''. Anehnya, hadits ini disukai benar oleh ahli tarikh, dan para mufasir (ahli tafsir) dalam menghiasi kitab-kitab mereka dengan semua yang shahih dan dha'if. Adapun riwayat yang ''marfū'' (sampai sanadnya kepada Nabi {{saw}}) adalah dari Syu'bah, dari Abu Basyar, dari [[Sa'id bin Jubair]], dari Ibnu Abbas - dalam keraguan menyambungkan hadits. Walau demikian, yang memarfu'kan sanad ini cuma Umayyah bin Khalid — walaupun sebenarnya tidak begitu sanadnya. Al-Kalbi — seorang ''kadzdzāb'' (penipu ulung dalam ilmu hadits)- juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun sayang, Al-Kalbi adalah seorang penipu, yang tak boleh dipercaya hadits-haditsnya. [[Ibnu Khuzaimah]] pernah mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa "kisah ini adalah karangan orang-orang zindik (orang yang menampakkan keIslamannya, tetapi menyembunyikan kekafirannya)". Prof. [[Muhammad Abu Syahbah|Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah]] menganggap cerita ini batil dan bertentangan dari sisi ''aqli'' dan ''naqli'', serta banyak sekali kerancuan riwayat mengenai kisah ini.<ref name="abusyahbah">{{aut|[[Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah|Syahbab, Muhammad bin Muhammad Abu]]}} (2014). ''Isrăǐliyyat & Hadits-Hadits Palsu Tafsir Al-Qur'an''. hal.448{{spaced ndash}}464. [[Depok]]:Keira Publishing. ISBN 978-602-1361-29-0.</ref>
 
=== Islam Awal ===
Selain itu, [[Ibnu Katsir]], Abubakr al-Bazzar, penafsir Imam Fakhr ar-Razi, juga menolak hal ini, sebagaimana dikutipkan oleh [[Buya Hamka]] dalam ''Tafsir al-Azhar''-nya.<ref name=hamka1>Hamka (tanpa tahun), hlm.191{{spaced ndash}}94</ref> Penafsir-penafsir Quran kontemporer seperti Syaikh [[Muhammad Abduh]] juga menolak ini, berdasar pada pemakaian kaidah kebahasaan yang dangkal pada kisah ini.<ref name=hamka2>Hamka (tanpa tahun), hlm.195</ref> ''Gharānīq'' berasal daripada kata ''al-ghurnūq'', sebangsa burung air, yang warnanya hitam atau putih. Ada pula ''ghurnīq'' yang bermakna pujian kepada anak muda yang putih, cantik, dan lembut sifatnya. Ada pula ''gharānīqah'', yang bisa berarti rambut yang halus, dan kilat kerna disisir baik-baik. Ia juga bermakna sesuatu yang lemah gemulai karena ditiup angin. Sebab itu, tak ada satupun yang jadi suatu yang bersifat dituhankan atau diberhalakan.<ref name=hamka2/>
Menurut Ibnu Taymiyyah "Para Ulama Islam awal ([[Salaf]]) sepakat mengatakan bahwa ayat-ayat burung bangau sesuai dengan Al-Qur'an. Dan ulama-ulama yang datang selanjutnya (Khalaf), yang mengikuti ulama-ulama Salaf, mereka berkata bahwa riwayat-riwayat ini telah direkam dengan ''[[isnad]]'' (rantai penyampaian) yang shahih dan mustahil untuk menolaknya, bahkan Quran sendiri menjadi bukti atasnya."<ref>{{cite book|last1=Ibn Taymiyyah|url=http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=611&start=&idfrom=1015&idto=1019&bookid=22&Hashiya=5|title=Majmu' al-Fatawa|access-date=13 June 2018|archive-url=https://web.archive.org/web/20180613111810/http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=611&start=&idfrom=1015&idto=1019&bookid=22&Hashiya=5|archive-date=13 June 2018|url-status=dead}}</ref> [[Biografi]] terawal mengenai Nabi Muhammad yang ditulis oleh [[Ibnu Ishaq]] (761–767) telah hilang tapi koleksi dari catatan-catatannya secara umum selamat di dalam dua sumber yaitu pada kitab [[Ibnu Hisyam|Ibnu HIsyam]] (833) dan [[Ibnu Jarir ath-Thabari|ath-Thabari]] (915). Di dalam kitab Thabari, Ibnu Ishaq adalah salah satu perawi dari riwayat ini, namun ini tidak ditemukan di dalam catatan Ibnu Hisyam, yang mengakui bahwa dirinya tidak memasukkan bagian-bagian yang dapat "membuat gelisah orang-orang tertentu."<ref>{{cite book|last1=Holland|first1=Tom|date=2012|url=https://books.google.com/books?id=1f_BR2DulRIC&q=%22matters+which+would+distress+certain+people%22&pg=PT51|title=In the Shadow of the Sword|publisher=Doubleday|isbn=9780385531368|pages=42}}</ref> Ibnu Sa'ad dan Al-Waqidi, dua penulis awal biografi Nabi Muhammad lainnya juga mencatatkan kisah ayat-ayat setan ini.<ref>{{Cite book|last=Al-Waqidi|first=|url=https://archive.org/details/in.ernet.dli.2015.217622/page/n167/mode/2up|title=The Life Of Mahomet Vol 2|pages=150 - 152|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Ibn Sa'd|url=https://books.google.co.id/books/about/Kitab_Al_tabaqat_Al_kabir.html?id=Ni7vzAEACAAJ&redir_esc=y|title=Kitab al Tabaqat al Kabir|publisher=Pakistan Historical Society|pages=236 - 239|url-status=live}}</ref>
 
=== Periode Abad Pertengahan Kemudian ===
Ibnu Hazm dalam ''al-Milal wan-Nihal'' mengatakan cerita ini bohong dan palsu. Karena kalau ditilik dari sumberpun, tidak ada sumbernya, dari yang memang sesuatu yang tak ada.<ref name=hamka3>Hamka (tanpa tahun), hlm.196</ref> [[Sayyid Quthb]] juga turut mengatakan, meskipun ulama-ulama telah jauh mengatakan bahwa kisah palsu ini bikinan orang-orang zindiq dan mulhid (menyeleweng), kaum [[orientalisme|orientalis]] selalu memperbaharui kisah ini, dan membangkitkannya terus.<ref name=hamka3/>
Referensi dan tafsir mengenai ayat-ayat ini tampak dalam bagian awal periode.<ref>{{Citation|last2=Ibn Hishām|first2=ʻAbd al-Malik|last1=ibn Isḥāq ibn Yasār|first1=Muḥammad|author-link=Ibn Ishaq|title=Sīrat Rasūl Allāh}}</ref><ref>{{Citation|last=Ṭabarī|first=Ṭabarī|author-link=Muhammad ibn Jarir al-Tabari|title=Tārīkh ar-Rusul wal-Mulūk}}</ref><ref>{{Citation|last=Ṭabarānī|first=Sulaymān ibn Aḥmad|title=al-Mu'jam al-Kabīr}}</ref> Selain terdapat pada tafsir Ath-Thabari, kisah ini juga terdapat pada tafsir dari [[:en:Muqatil_ibn_Sulayman|Muqatil]], [[:en:ʽAbd_al-Razzaq_al-Sanʽani|Abdur Razzaq as- San'ani]], [[Ibnu Katsir]] dan juga kitab [[Nasakh (tafsir)|naskh]]-nya Abu Ja‘far an-Nahhās, kitab [[Asbabunnuzul|Asbabun Nuzul]] dari Wahidi, dan bahkan di dalam kompilasi ''al-Durr al-Manthūr fil-Tafsīr bil-Mathūr'' tulisan [[as-Suyuti]] dari abad pertengahan akhir.
 
Penolakan terhadap insiden ini memuka pada awal dari abad ke-4 [[Kalender Hijriyah|Hijriah]], seperti di dalam buku karangannya an-Nahhās yang mana terus diangkat oleh beberapa ulama seperti Abu Bakar bin al-Arabi (w. 1157), Fakhr ad-Din Razi (1220) begitupula al-Qurtubi (1285). Argumen penolakan paling komprehensif mengenai faktualitas insiden ini datang di dalam buku karangan Qadi Iyad, ''ash-Shifa‘.''<ref name="EoQ">{{Citation|last=Ahmed|first=Shahab|year=2008|publication-date=14 August 2008|contribution=Satanic Verses|contribution-url=http://www.brillonline.nl/subscriber/entry?entry=q3_SIM-00372|editor-last=Dammen McAuliffe|editor-first=Jane|title=Encyclopaedia of the Qurʾān|location=Georgetown University, Washington DC|publisher=Brill}}</ref> Penolakannya terdiri atas dua basis. Pertama, bahwa kisah itu bertentangan dengan doktrin ''isma','' yang mengklaim bahwa Nabi selalu mendapat perlindungan dari Allah dari kesalahan. Yang kedua adalah dia menganggap deskripsi dari rantai sanadnya tidak shahih. Ibnu Katsir berkata pada kitab tafsirnya bahwa berbagai semua isnad yang tersedia untuknya hampir semua rantai sanadnya mursal, atau tanpa Sahabat Nabi, walaupun menurut Imam Syafi'i ini tidak masalah kalau yang memursalkan adalah termasuk tabi'in tua. Uri Rubin menekankan bahwa terdapat versi-versi isnad yang lengkap sampai ke Ibnu Abbas, tapi ini hanya selamat dalam beberapa sumber, namun dihapus supaya kejadian ini tidak dianggap memiliki isnad yang shahih dan didiskreditkan.<ref name="EoB-256">{{Citation|last=Rubin|first=Uri|publication-date=1995|year=1997|title=The eye of the beholder: the life of Muḥammad as viewed by the early Muslims: a textual analysis|location=Princeton, NJ|publisher=Darwin Press|page=256|isbn=0-87850-110-X}}</ref>
 
=== Ulama-ulama Islam Modern ===
Walaupun para penulis tafsir pada dua abad pertama Hijriah menganggap riwayat ini tidak merugikan citra Nabi Muhammad, akan tetapi riwayat ini tampak mulai ditolak secara universal setidaknya sejak abad ke-13, dan kebanyakan ulama modern menganggap riwayat ini problematis, dalam artian bahwa riwayat ini dianggap sebagai "sangat [[sesat]] karena, dengan mengizinkan syafaat dari ketiga Dewi Kaum Musyrik, riwayat-riwayat tersebut telah mengikis otoritas dan kemaha-kuasaan Allah SWT. Selain itu riwayat-riwayat itu membawa implikasi yang sangat merusak untuk firman-firman Allah secara keseluruhan, karena ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad seakan-akan berdasarkan keinginannya untuk melunakkan ancaman terhadap Dewa-Dewi Musyrikin."<ref>{{Citation|title=Islam and Postcolonial Narrative|author=John D. Erickson|publisher=Cambridge University Press|location=Cambridge, UK|year=1998}}</ref>
 
== Lihat juga ==