=== Sekala Brak, Asal Muasal ===
Bumi [[Sekala Brak]] (baca: Sekara Beghak),ini kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannyaperadaban Adat serta Budaya nya. Sekala berasal dari nama tumbuhan yang disebut Sekala, Sekala artinya titisan, Sedangkan Brak berasal dari nama sebuah Batu yang berada di tengkuk gunung pesagi Hanibung yang di sebut [[Batu Brak]]., Brak artinya Dewa sedangkan Sekala Brak adalah Titisan Dewa Sebuah [[Kerajaan]] yang berdiri di tanah [[Lampung]] sejak tanggal 24 Agustus 1289 Masehi. Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak jaman sejarah mepaksian sekala brak kuno sampai masa prasejarah saat ini. Situs Megalithikum Batu-batu menhir, tumbuhan Sekala peninggalan Negeri Sekala Brak yang berada di sejumlah titik di '''Kabupaten Lampung Barat'''. Peninggalan ini membuktikan, ada tanda kehidupan pada abad ke-3 yang bermula dari unit masyarakat yang disebut suku tumi yang beragamakan bercorak hindu dan menganut animisme karakteristik tersebut bertahan hingga abad ke-12 Masehi.
Ada pula sebuah batu prasasti termuda di Bunuk Tenuar desa harakuning perkampungan disekitaran kaki [[Gunung Pesagi]], Liwa berangka tahun 966 Saka "1 Tahun Saka" ialahdiperkirakan 79ditemukan Tahunpada Masehi"abad ke-15, menunjukkan ada jejak animisme di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman animisme. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai Ibu Kota Kecamatan, adalah bekas kerajaan trah majapahit bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L. C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tetapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454–464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesia, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri sebuah [[Kerajaan]] yang memiliki Empat titik Kebesaran Istana Gedung, untuk Kepaksian Pernong Sekala Brak disebut [[Istana Gedung Dalom]], Paksi Buay Nyerupa disebut Gedung Pakuon, Paksi Buay Bejalan Diway disebut Lamban Dalom, Paksi Buay Belunguh disebut Lamban Gedung. Ada sebagian pula masyarakat penyimbang (Pepadun) mengklaim menyebut keberadaan daripada kerajaan yang ada di [[Tulang Bawang]] namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan dan tidak akan pernah bisa Terbuktikan karena kerajaan tersebut tidak pernah berdiri darisejak dahulu kala. Sedang keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah [[Sumatra Selatan]], menyebutkan Kerajaan Sekara BeghakBrak (Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak)., Pendapat ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar [[Saibatin]] di [[Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak]] saat ini, hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara, dan seni tradisi yang masih terjaga., Masih banyak bukti lain, namun mungkin perlu pembahasan terpisah tentang [[Istana Gedung Dalom]], Gedung Pakuon, Lamban Dalom, Lamban Gedung.
Kalau membaca peta Provinsi [[Lampung]] sekarang, kisaran lokasi pusat Kepaksian Sekala Brak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan [[Komering]] Ulu, Provinsi Sumatra Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng [[Gunung Pesagi]] di daerah [[Liwa]], seputar Kecamatan [[Batu Brak]], Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau, dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Brak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keberadaannya turun-temurun diwarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Brak dalam gelaran peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Brak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Kepaksian Sekala Brak kuno setelah dalam pengaruhkedatangan “Empat Umpu” Putra-Putra dari pada Al-Mujahid Sultan Ratu penyebar agama Islam dan lahirnya Kepaksian Sekala Brak masyarakat adat SaiBatinSaibatin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian masyarakat pendukungnyamasyarakatnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan Sai BatinSaibatin di [[Lampung]], memperlihatkan kedudukan dan posisi penting Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Keberadaan Sekala Brak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan Sai BatinSaibatin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat Lampung. Bahkan, telah diakui, Kepaksian Sekala Brak sebagai cikal bakal atau asal muasal tertua leluhur “suku-suku Lampung”. Bahkan keberadaan Sekala Brak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari penganut kepercayaan bercorak Hindu dan menganut animisme ke [[Islam]].
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Kepaksian Sekala Brak tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur masyarakat. Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala Brak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak, [[Lampung]] ([[Sumatra Selatan]]), [[Jawa]], [[Sunda]], [[Bali]], dan [[Bugis]]. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan ter unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol kemajuan peradaban bangsa. ▼
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11 Desember 2006:36), pada abad 13 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung Sumatra Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga kelompok lainnya berasal dari Sekala Brak. Tiga kelompok orang-orang Sekala Brak itu adalah Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok yang lainnya Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyerupa) bertempat. Sementara kelompok yang dipimpin oleh Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau.
Ketiga kelompok dari Sekala Brak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding Agung mengaku keturunan [[Sekala Brak]] ([[Kepaksian Sekala Brak]]). Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Brak, sebagaimana ditulis dalam Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja Ngandum, dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang diberikan kepada Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas jasa-jasanya, dan banyak suku-suku di Sekala Brak yang mendirikan Negeri baru ke sana.
▲Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Brak tidak hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur masyarakat. Sekala Brak hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala Brak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak, [[Lampung]] ([[Sumatra Selatan]]), [[Jawa]], [[Sunda]], [[Bali]], dan [[Bugis]]. Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan ter unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol kemajuan peradaban bangsa.
Semua aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India dan Asia Tenggara. Di Nusantara, bahasa ini mengalami penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa: Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat Batak, Lampung, Sumatra Selatan (Kaganga), dan Bugis.
|