Krisis HKBP 1992-1998: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k penggabungan referensi duplikat |
k penggabungan referensi duplikat |
||
Baris 41:
== Awal mula ==
Kericuhan diawali 1,5 tahun sejak Pdt. [[S.A.E. Nababan|S.A.E Nababan]] dilantik sebagai Ephorus. Pada tanggal 24 Mei 1988 terbit buku yang berjudul “Parmaraan di HKBP” (Bahaya di HKBP). Konon buku ini disebarkan ke 2.300 gereja HKBP di seluruh Indonesia. Sampul buku ini menarik perhatian umat karena terdapat gambar [[salib]] yang hampir ambruk yang bertuliskan quo vadis HKBP. buku ini disusun oleh Pdt. [[Domine PM Sihombing]] mantan Sekjen HKBP sebelum periode Nababan. Isinya antara lain menuduh Nababan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan HKBP. Salah satunya adalah gerakan [[evangelisasi]] yang dikoordinasikan sejak Oktober 1987. gerakan ini sendiri merupakan gerakan internal mengkristenkan kembali orang [[Kristen]] yang bermula di antara warga HKBP dari Jakarta.<ref name="
Keberatan 38 pendeta yang menulis buku itu antara lain, tim evangelisasi itu beranggotakan juga sejumlah [[pendeta]] yang ditahbiskan gereja. Disebutkan adanya tuduhan [[Baptisan|pembaptisan]] yang dilakukan di permandian sambil telanjang dan adanya penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh anggota tim dengan jenis kelamin laki-laki atas pasien wanita yang berduaan di dalam kamar. Dalam sinode Godang HKBP ke-49 diputuskan kelompok Sihombing tidak dapat memberikan bukti dari buku tersebut karena itu mereka dianggap telah menyebarkan fitnah. Selanjutnya kedelapan pendeta pengikut Sihombing itu pun dipecat dari jabatannya. Akan tetapi belakangan diketahui bahwa Sihombing tidak pernah dimintai bukti dan tidak pernah diundang dalam Sinode Godang. Karena itu Sihombing dan pengikutnya mengadu ke [[Menaker]] saat itu [[Cosmas Batubara]]. Cosmas Batubara kemudian menyurati Ephorus pada tanggal 16 Mei 1990 dan menyebutkan bahwa pemecatan tersebut batal demi hukum.<ref name="
Ada yang menyebutkan bahwa isu tersebut dilontarkan karena Sihombing dikalahkan oleh Nababan pada pemilihan Ephorus sebelumnya. Sihombing membantahnya.
Baris 52:
== Tim damai ==
Atas permintaan Menteri Agama RI, No: MA/132/1990 pada tanggal 6 September 1990, lahirlah Tim Damai yang dipimpin oleh Jend. TNI Purn. [[Maraden Panggabean]].<ref name="Obor"/> Dalam tim ini ikut serta [[Arsenius Elias Manihuruk|A.E. Manihuruk]] bekas kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Tim ini mengadakan kunjungan ke berbagai Gereja HKBP di wilayah [[Sumatra Utara]] dan [[Jabotabek]] dan diterima dengan baik.<ref name="
Akan tetapi banyak juga pihak yang tidak setuju dengan tim damai ini. Ephorus Nababan yang pada masa itu berada di [[Swiss]] menilainya sebagai campur tangan pihak luar dan tidak dikenal di HKBP. Ada pula yang beranggapan tim ini mendukung mantan Sekjen sebelumnya Pdt. PM Sihombing sehingga dianggap tidak dapat mendamaikan HKBP.<ref>{{Cite web|title=HKBP Berduka, SAE Nababan dan PWT Simanjuntak Sempat Konflik Perebutan Jabatan Ephorus|url=https://medan.tribunnews.com/2021/05/30/hkbp-berduka-sae-nababan-dan-pwt-simanjuntak-sempat-konflik-perebutan-jabatan-ephorus|website=Tribun Medan|language=id-ID|access-date=2021-07-28}}</ref>
Baris 59:
Akibatnya konflik yang cukup serius terjadi pada bulan November 1990 di mana ratusan warga [[Siborongborong, Tapanuli Utara|Siborong-borong]], yang sebagian besar merupakan perempuan, berjalan berbaris menuju kantor pusat HKBP [[Pearaja]]. Mereka menduduki kantor pusat selama beberapa jam. Akibatnya Ephorus dan sejumlah pendeta dan [[karyawan]] yang pada saat itu tengah mengadakan rapat menyingkir. Aksi pun bubar setelah Muspida setempat membubarkan massa.
Pada April 1991 sinode Godang juga dilangsungkan tim damai pun membubarkan diri pada bulan itu. Akan tetapi karena masalah terus tidak pernah terselesaikan dengan baik masalah tetap berlanjut hingga pekan pertama Maret 1992 pada waktu itu terjadi Perkelahian antar Jemaat HKBP Helvetia [[Medan]] hingga pada 11 Maret sekelompok anti Nababan, memprotes tindakan pendeta ressort pada masa itu, Pdt. L. R. Manurung yang memberhentikan beberapa penatua Gereja yang sering mengkritik Nababan.<ref name="
== Batalnya sinode ==
Sinode Godang (Sinode Agung) HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menurut rencana akan diselenggarakan 23-25 Juni 1992 di Seminarium HKBP Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara. Sinode Agung ke-51 ini akan diikuti semua pendeta resort, utusan resort, anggota majelis pusat, praeses, pemimpin lembaga, dan peninjau. Acara pokoknya adalah membahas/mensahkan Aturan/ Peraturan HKBP periode 1992-2002. Menurut Siaran pers yang diterima Kompas, Kantor Pusat HKBP Redaksi Kompas pada tanggal 3 April 1992 menyebutkan rencana Sinode Agung khusus yang akan diselenggarakan pada 17-19 November 1992 untuk pemilihan fungsionaris HKBP. Surat ini ditandatangani oleh Pdt. [[Pintor T. Simanjuntak]], STh dan Pdt. [[Rahman Tua Munthe]], MTh, masing-masing sebagai Staf Biro Informasi, dan Kabiro Informasi Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung.<ref>{{Cite web|last=Nusantara|first=PT Kompas Media|title=KompasData|url=http://kompasdata.id/|website=KompasData|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Pada akhirnya Sinode tanggal 23-25 Juni tidak dapat dilangsungkan, diundur pada Sinode Godang Istimewa pada November 1992.<ref name="
== Sinode ke-51 ==
Baris 72:
== Permohonan majelis pusat ==
Majelis Pusat HKBP dikabarkan meminta bantuan pemerintah pusat Republik Indonesia melalui tiga keputusan penting, yakni:<ref name="
# Sinode Godang dinyatakan gagal
Baris 81:
Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara, yang pada saat itu diketuai oleh Mayjen [[R. Pramono]], mendapat surat pendelegasian wewenang dari [[Departemen Agama]], [[Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban#Bakorstanas|Bakorstanas]], [[Forum koordinasi pimpinan daerah|Muspida tingkat I]], dan [[Pemerintah daerah di Indonesia|Pemerintah Daerah]]. Pada tanggal 16 Desember 1992, Bakorstanasda mengundang eks anggota Majelis Pusat ke Kodam. Hanya 19 orang yang datang dari 23 orang yang diundang pada saat itu. Nababan termasuk orang yang tidak hadir dalam rapat tersebut. Bakorstanasda kemudian melemparkan kembali siapa orang yang hendak dipilih sebagai pejabat Ephorus sementara. Calon-calon yang muncul pada saat itu antara lain Pdt. Dr. [[Adelbert A. Sitompul]], Pdt. [[Wilmar Sihite]], Pdt. [[Sountilon M. Siahaan]]. Menurut Bakorstanasda nama-nama ini kemudian dipilih kembali oleh staf Bakorstanasda bersamaan dengan Pemda, Kanwil Departemen Agama, [[Kepolisian]], [[Kodam]], dan ahli masalah HKBP. Akan tetapi di kemudian hari diketahui pendeta Sitompul dan Sihite menolak menggantikan Pdt. SAE Nababan.
Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara kemudian menunjuk Pdt SM Siahaan sebagai pejabat Ephorus melalui Surat Keputusan (SKep) No. 3/Stada/XII/1992 pada tanggal 23 Desember 1992.<ref name=":2" /> Penunjukan ini diikuti oleh pelantikan SM Siahaan di Seminarium Sipoholon, 11 kilometer dari Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung.<ref name="
Penunjukan tersebut kemudian mengalami penolakan dari berbagai jemaat karena dianggap tidak sesuai dengan Aturan Peraturan (AP) HKBP. Jemaat tersinggung karena ada pihak di luar HKBP yang mengangkat Ephorus secara sepihak. Selain itu banyak jemaat yang menganggap SM Siahaan pernah dihukum akibat korupsi sehingga tidak pantas mendapat jabatan Ephorus. Alasan itu kemudian disangkal SM Siahaan karena sudah ada surat keputusan [[Mahkamah Agung Republik Indonesia|Mahkamah Agung]] yang membebaskannya dari segala tuntutan.
Baris 89:
Penunjukan pejabat Ephorus tersebut menimbulkan berbagai protes, salah satu diantaranya adalah Pdt. [[J.A.U. Doloksaribu]] dan jemaatnya dari gereja HKBP Sudirman melayangkan surat kepada [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatra Utara|DPRD Sumatera Utara]] akhir Desember 1992. isinya antara lain menentang penetapan pucuk pimpinan tanpa adanya upacara gereja. Pdt. JAU Doloksaribu kemudian ditahan oleh pihak yang berwajib usai memberkati sepasang pengantin di Gereja HKBP Medan pada Januari 1993.
Pendeta nababan yang pada masa itu sudah habis masa jabatannya pun mengadukan surat keputusan Bakorstanasda ke PTUN. Pada 11 Januari 1993 aduan tersebut kemudian diadili oleh Hakim [[Lintong Oloan Siahaan]], yang juga jemaat HKBP. Lintong memutuskan adanya penangguhan sementara pelaksanaan surat tersebut. Pada akhirnya tergugat pun melayangkan surat keberatan, karena menganggap Lintong bukan hakim yang independen, karena masih merupakan anggota jemaat HKBP. Lintong dianggap seharusnya mengundurkan diri sebelum melanjutkan perkara yang kemungkinan menyebabkan ia tidak dapat memutuskan dengan adil.<ref name="
Di sisi lain Lintong pun mengakui pada saat itu ia merupakan jemaat HKBP dan merupakan penatua gereja hingga pertengahan 80-an selama 2 tahun. Akan tetapi ia menyangkal telah berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara tersebut, karena ia memutuskan bersamaan dengan dua anggota majelis lainnya yang beragama [[Islam]].<ref name="
Pdt. [[Saut Hamonangan Sirait]] yang pada masa itu memimpin Departemen Pemuda di HKBP pada periode 1991-1996 memimpin perlawanan terhadap campur tangan pemerintah di bawah slogan Setia Sampai Akhir (SSA). Slogan ini diperkenalkan oleh [[Asmara Nababan]] (adik dari Pdt SAE Nababan) dan Pdt. Saut Sirait yang semula bernama “[[Setia Sampai Mati]]” ([[Wahyu 2|Why 2:10]]).<ref name=":2">{{Cite book|last=Nurcholish,Frangky|first=Ahmad|date=2016-05-25|url=https://books.google.com/books?id=IMdGDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Saut+Hamonangan+Sirait+antara+tuhan+peluru+dan+serdadu&hl=en|title=Pdt. Saut Hamonangan Sirait, M. Th: Antara Tuhan dan Peluru|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=978-602-03-2978-9|language=id}}</ref>
|