Mahrus Amin: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambahkan kisah kehidupan awal
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
menambah kehidupan semasa mondok
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler pranala ke halaman disambiguasi
Baris 28:
'''Awal Kehidupan'''
 
Mahrus Amin lahir di desa Kalibuntu, Ciledug (sekarang Kalimukti, Pebadilan) Cirebon pada 14 Februari 1940. Kedua orangtuanya asli [[Kota Cirebon|Cirebon]] dan [[Kabupaten Brebes|Brebes]]. Ayahnya, '''Casim Amin''' merupakan warga asli Kalimukti yang keturunan ''kuwu'' (setingkat lurah) dan masih memiliki hubungan darah dengan '''Wirasuta''', salasatu anak cucu ''waliyullah'' '''Syarief[[Sunan Gunung Jati|Syarif Hidayatullah]]'''. Sementara ibunya, '''Hj. Jamilah''' berasal dari Losari. Beliau adalah cucu dari KiaiKyai Idris, pemimpin Ponpes Lumpur, di Desa Lumpur, [[Losari, Brebes|Losari]], Brebes.
 
Nama Mahrus sendiri diambil dari nama guru sang ayah, '''KiaiKyai Mahrus Ali''' asal Gedongan, Cirebon. Kekaguman sang ayah pada gurunya tersebut, membuatnya bertekad, bila suatu ketika dikaruniai seorang anak laki-laki, maka dia akan memberinya nama Mahrus agar kelak menjadi orang yang bermanfaat dan memiliki pesantren seperti Kiai Mahrus Ali Gedongan.
 
Mahrus kecil hidup dalam kondisi yang amat sederhana. Orangtuanya memiliki usaha persewaan delman, namun begitu memasuki masa penjajahan jepangJepang, ekonomi keluarga menjadi lebih sulit. Masih diingat oleh Mahrus betapa tidak mudahnya memperoleh sandang dan pangan. Ia sering mengenakan pakaian yang dihinggapi kutu busuk, tak pelak rasa gatal menemani hari-harinya.
 
Usia penjajahan Jepang, Mahrus kecil kembali merasakan kecaman perang di masa revolusi kemerdekaan. Masa ini begitu membekas di benaknya. Di usia 8 tahun, sewaktu duduk di bangku kelas 3 [[Sekolah Rakyat]] Islam, ia terpaksa berhenti sekolah demi hidup di pengungsian. Bersama keluarganya, ia berpindah-pindah tempat, masuk-keluar hutan, bergaul dengan pejuang dan melihat mayat korban perang.
 
Sang ayah bergabung dalam Laskar Hizbullah yang membuatnya menjadi target pencarian Belanda. Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan semangatnyasemangat beliau untuk membela Tanah Air. Oleh ayahnya, Mahrus diberi misi khusus untuk menjadi mata-mata bagi pasukan Indonesia.
 
Bersama teman-teman sepermainannya, Mahrus membaur di tengah masyarakat dan menyusup ke wilayah manapun tanpa diperiksa tantara Belanda. Saat berhasil masuk ke suatu wilayah, ia diminta untuk menghitung korban dari rakyat dan para pejuang. Karena sering berpindah-pindah, ia kerap dicari ayah-ibunya yang khawatir akan keselamatannya.
 
Posisi daerah tempat pengungsiapengungsian Mahrus yang diapit dua bukit, membuat Belanda kesulitan untuk masuk ke wilayah tersebut. Namun Belanda tak kehabisan akal, dikirimnya bom-bom berdaya ledak tinggi dari Cileduk untuk menghancurkannya. Alhasil, berlindung dari hujanan bom dengan berpindah-pindah tempat dan bersembunyi di kolong jembatan adalah hal biasa.
 
Masih jelas dalam ingatan Mahrus, suatu ketika saat ia sedang bersembunyi bersama ibunya, di salahsatu rumah di Cikansas, tiba-tiba saja KiaiKyai Haji Mansyur meminta Mahrus bersama belasan pengungsi lainnya segera keluar dan mengungsi ke tempat lain. Benar saja, hanya berselang 5 menit, bom meledakkan rumah tersebut.
 
Setelah Belanda ditarik mundur, Mahrus dan keluarga kembali ke Kalibuntu. Perang membuat perekonomian terpuruk. Usaha persewaan delman orangtuanya sudah tak ada, karena delmannya direlakan untuk membawa keperluan mengangkut senjata dan logistik bagi para pejuang saat revolusi kemerdekaan.
 
Mahrus kembali bersekolah. Oleh kedua orangtuanya, iaMahrus dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyyah di Losari, Brebes. Untuk mencapai sekolahnya, setiap hari ia berjalan kaki sejauh 7 kilometer, melintasi perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Madrasah tempat Mahrus menimba ilmu menerapkan sistem klasikal dengan menggabungkan pelajaran umum dan pelajaran agama. Pengajarnya merupakan alumni dari perguruan tinggi di [[Mesir]] yang mendopsi sistem pendidikan di negara tersebut. Tahun 1953, Mahrus lulus dari madrasah. Ia diminta orangtuanya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk meneruskan tradisi keluarga, menjadi guru dan panutan bagi masyarakat.
 
Karena bercita-cita menjadi guru, tentu saja [[SGB]] (Sekolah Guru Bantu) dan SGA (Sekolah Guru Atas) menjadi tujuan Mahrus. Namun saat Orde Baru, sekolah-sekolah ini dihapus. Orangtuanya pun menyarankan Mahrus agar mendaftar ke Pondok Modern [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]] di Ponorogo. Bersama 7 temannya Mahrus berangkat ke Gontor untuk mengikuti jenjang KMI (Kuliyatul Mualimin Al-Islamiyah) selama 6 tahun. KMI menggabungkan tingkat tsanawiyahTsanawiyah dan Aliyah dalam 1 paket.  Namun dari 7 orang, hanya Mahrus yang berhasil menyelesaikan jenjang KMI.
 
'''Kehidupan Semasa Mondok'''
 
Masa-masa Mahrus menjadi santri diwarnai oleh besarnya pengaruh [[Partai Komunis Indonesia|PKI]] di Ponorogo. Stereotipe santisantri sebagai kaum sarungan bersama sentimen politik yang berkembang saat itu, membuat para santri acap “berhadap-hadapan” langsung dengan massa pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui anak organisasinya BTI (Barisan Tani Indonesia). Baik PKI maupun BTI kerap menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kaum santri. Di antaranya dengan upaya pembakaran pagar Ponpes Gontor tahun 1956 dan upaya pembunuhan terhadap Kyai Zuhri, Kyai Ahmad Sahal dan Kyai Imam Zarkasyi yang dapat digagalkan setelah kehadiran pasukan Siliwangi.
 
Saat menjadi santri, Mahrus memperoleh tugas mengurus penerangan listrik dan alat-alat pengeras suara yang masih mengandalkan aki (accu) sebagai sumber energi. Untuk mengisi ulang daya aki, Mahrus harus bersepeda ke Kota Ponorogo seorang diri. Kondisi yang mencekam, membuat Mahrus merasa kuatir akan keselamatan dirinya setiap kali melakukan hal ini. Bersyukur ia berhasil melalui masa-masa tersebut dengan selamat. Di samping tugas tersebut, Mahrus juga diberi tugas oleh Kyai Ahmad Sahal untuk mengajarkan cucunya, Hasan, Aljabar. Sementara oleh Kyai Imam Zarkasyi, ia dipercaya untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas administrasi, salahsatunya mengisi formulir bantuan dari Departemen Sosial.  
Baik PKI maupun BTI kerap menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kaum santri. Di antaranya dengan upaya pembakaran pagar Ponpes Gontor tahun 1956 dan upaya pembunuhan terhadap Kiai Zuhri, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Zarkasyi yang dapat digagalkan setelah kehadiran pasukan Siliwangi.
 
Mahrus menyukai aktivitas dalam organisasi santri. Ia adalah pengurus santri konsulat Jawa Barat. Namun dari semua aktivitas, Mahrus paling menyukai kegiatan kepanduan (Pramuka). Kecintaannya pada kegiatan kepanduan telah hadir sejak ia duduk di bangku SR saat mengikuti kepanduan Hizbul Waton. Kelak kegiatan ini dilanjutkan Mahrus saat mendirikan dan memimpin Ponpes Darunnajah.
Saat menjadi santri, Mahrus memperoleh tugas mengurus penerangan listrik dan alat-alat pengeras suara yang masih mengandalkan aki (accu) sebagai sumber energi. Untuk mengisi ulang daya aki, Mahrus harus bersepeda ke Kota Ponorogo seorang diri. Kondisi yang mencekam, membuat Mahrus merasa kuatir akan keselamatan dirinya setiap kali melakukan hal ini. Bersyukur ia berhasil melalui masa-masa tersebut dengan selamat.
 
Mahrus mengakui pengaruh tiga serangkai, Kyai Ahmad Sahal, Kyai Imam Zarkasyi dan Kyai Fanani amat membekas dalam pembentukan karaternya. Kyai Ahmad Sahal menanamkan nilai-nilai perjuangan. Bahwa ia tidak perlu takut menghadapi tantangan-tantangan hidup karena pada dasarnya hidup adalah perjuangan. Mahrus mengamini hal ini, sejak menjadi santri hingga kelak ia mendirikan dan memimpin Darunnajah, tantangan datang silih berganti.
 
Sementara dari Kyai Imam Zarkasyi, Mahrus memperoleh teladan langsung berupa nilai keikhlasan, kemandirian, persaudaraan, kesederhanaan dan kebebasan. Nilai-nilai inilah yang dikemudian hari diterapkan oleh Mahrus di Ponpes Darunnajah. Adapun dari Kyai Fanani yang saat itu bertugas di Departemen Sosial, Mahrus merasa dibuka wawasannya tentang kehidupan bermasyarakat. Kiai Fanani berpesan agar ia peduli pada masyarakat dan terlibat aktif mengatasi masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
 
Sampai akhir masa belajar di Gontor, Mahrus belum memiliki kemantapan hati untuk mengabdikan ilmu dengan membangun pesantren. Namun suatu hari di tahun 1960, saat kunjungan Rektor [[Universitas Al-Azhar|Universitas Al Azhar]] Mesir, Syeikh Mahmud Saltut ke Indonesia, Mahrus seperti mendapatkan momentum untuk memantapkan hati untuk membangun pesantren. Saat itu Syeikh Saltut menginap di Sarangan, Madiun. Para kyai menemui beliau dan pulang membawa amanat untuk para santri untuk membangun seribu pondok modern seperti Gontor di seluruh Indonesia.
 
Amanah itu demikian memberi pengaruh luar biasa ke dalam diri Mahrus. Sejak saat itu, ia bertekad untuk berusaha sekuat tenaga mengisi umur dengan berdakwah lewat dunia pendidikan khususnya pondok pesantren. Semangat itu tak pernah padam yang di kemudian hari melatari ikhtiar Mahrus untuk membangun 1000 pesantren Nusantara.
 
Di samping tugas tersebut, Mahrus juga memberi kursus Aljabar kepada putra Kiai Ahmad Sahal yang bernama Hasan. Juga dipercaya oleh Kiai Zarkasyi untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas administrasi, salahsatunya mengisi formulir bantuan dari Departemen Sosial.  
 
==Riwayat Pendidikan==