bagus sekali
== Mahyudin Kutai Timur Kaltim ==
SIAPA yang tak iri dengan Mahyudin? Muda, gagah, lumayan kaya, berkuasa pula? Pada tahun 2003, saat usianya baru 33 tahun, ia dilantik jadi Bupati Kutai Timur. Saat itu, pria kelahiran Tanjung, Kalsel, 8 Juni 1970 ini termasuk salah satu bupati termuda di Indonesia. Sudah begitu, saat dia baru naik ke Singgasana Bupati Kutai Timur, punya warisan uang yang jumlahnya bisa berkarung-karung. Bayangkan : Rp. 635 milyar. Tapi sayang disayang, segunung warisan itu berupa utang. Ya, utang yang ditinggalkan bupati sebelumnya, Awang Farouk Ishak, yang harus dipikul Mahyudin. Mungkin banyak yang tidak tahu, dari mana dan untuk apa utang sebanyak itu, apalagi untuk ukuran kabupaten yang tergolong masih bayi. Kisahnya agak panjang.
Pada tahun 2001, ketika Pemerintah Kabupaten Kutai Timur sudah memiliki otoritas untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), muncul semacam surat pemberitahuan dari Departemen Keuangan di Jakarta yang ditujukan kepada daerah-daerah penghasil minyak dan gas. Dalam surat yang diniatkan sebagai bahan acuan penyusunan APBD itu, disebutkan adanya “uang jatah bagi hasil” minyak dan gas untuk Kutai Timur. Jumlahnya sekitar Rp. 600 milyar.
Disurat yang sama, Kabupaten Kutai Kartanegara, yang terkenal banyak ladang minyak dan gas seperti di Muara Badak dan Muara Jawa, ternyata hanya mendapatkan jatah bagi hasil kedua jenis bahan tambang itu di bawah perolehan Kutai Timur. “Rezeki nomplok” bagi Kutai Timur itu dikuatkan dengan adanya nota keuangan yang diterbitkan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur.
Karena itu tidak heran bila saat menyusun rancangan APBD tahun 2002, Bupati Awang Farouk Ishak berbunga-bunga. Perhitungan saat itu, dengan uang hasil bagi hasil minyak dan gas Rp600 milyar, jika ditambah pos pendapatan lain seperti dana alokasi khusus (DAK) Rp26,43 milyar, bagi hasil dana reboisasi (DR), dan pendapatan asli daerah (PAD) lainnya, total jenderal mencapai sekitar satu triliun rupiah. Menggiurkan bukan?
Dengan angka-angka seperti itu, maka Bupati Awang Faroek bersama DPRD Kutai Timur menyusun rancangan APBD untuk pembiayaan pembangunan yang fantastis. Kantor kabupaten megah, rumah jabatan bupati gagah, gedung dewan mentereng. Kantor-kantor dinas pun hebat.
Itu belum cukup. Pembangunan kantor-kantor instansi vertikal yang lazim didanai dari dompet pemerintahan pusat, ditanggung pula oleh Pemda Kutai Timur. Taruhlah markas Pangkalan Angkatan Laut (Lanal), kantor pengadilan, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), markas kepolisian, semua-muanya dibangun dari kantong Pemda Kutai Timur. Saat itu banyak yang angkat topi dengan “gebrakan” Awang Faroek. Makanya saat pencalonan Gubernur Kaltim 2003, nama Awang Faroek masih berkibar-kibar.
Nah, pada saat bersamaan, Bupati Kutai Kartanegara waktu itu, Syaukani HR, terheran-heran dengan surat Jakarta yang menyebutkan perolehan bagi hasil minyak dan gas bumi untuk daerahnya jauh di bawah Kutai Timur. “Apa minyak dan gas dari perut bumi Kutai Kertanegara dialirkan ke Kutai Timur oleh jin,” begitu Syaukani dulu menyindir ke mana-mana. Ya ke Awang Faroek, ke kantor gubernur dan Jakarta. Syaukani teramat gerah dengan skema bagi hasil minyak dan gas versi Jakarta. Namanya Syaukani, dengan data-data di tangannya, ia langsung menggebrak Jakarta.
Mungkin sebagian masyarakat Kaltim masih ingat betapa pada tahun 2002 antara Syaukani dan Awang Faroek terlibat polemik panjang di media massa soal asumsi penerimaan minyak dan gas bagi daerah masing-masing. Akhirnya, data Syaukani lumayan sahih.
Kantor Gubernur Kaltim dan Jakarta mengubah asumsi perhitungan bagi hasil minyak untuk Kutai Timur. Surat yang lama ternyata salah. Giliran Kutai Timur yang kecewa. Kabupaten yang kaya batubara ini mendapatkan jatah dengan angka yang jauh lebih kecil dari bilangan Rp600 milyar dari pos minyak dan gas (MIGAS). Dan Awang Faroek jadi kalang-kabut. Si “rambut perak” itu lantas giat menebar lobi ke berbagai penjuru angin. Ya ke kantor gubernur, ya ke Kutai Kertanegara.
Dari kedua pemerintah daerah yang terakhir itu, Bupati Faroek mendapatkan janji berupa semacam subsidi atau apalah namanya, masing-masing sebesar Rp100 milyar. Dipikir-pikir, uang Rp200 milyar lumayan untuk menambal dompet APBD Kutai Timur. Repotnya, janji Rp. 200 milyar dari Kutai Kertanegara selaku kabupaten induk Kutai Timur dan Propinsi Kalimantan Timur, masih digantungkan asumsi nilai tukar rupiah. Artinya, kalau nilai tukar rupiah yang diasumsikan dalam neraca APBD Kutai Kertanegara dan Pemprov Kaltim saat itu tidak meleset, maka gubernur Suwarna dan bupati Syaukani akan merogoh kocek APBD-nya, masing-masing Rp. 100 milyar ke APBD Kutai Timur.
Persoalan baru meletus saat tahun anggaran sudah berjalan. Asumsi-asumsi yang dipakai sebagai standar perhitungan dalam penyusunan APBD Kutai Kertanegara dan Propinsi Kalimantan Timur ternyata meleset, khususnya menyangkut standar nilai tukar rupiah. Singkat cerita, “angin surga” dari Kutai Kertanegara dan kantor gubernur soal Rp. 200 milyar untuk Kutai Timur, bernasib sama dengan surat Departement Keuangan sebelumnya. Tidak terealisasi.
Kutai Timur tentu gigit jari. Padahal, bupati Awang Faroek sudah gencar menagih uang yang diistilahkan kompensasi lifting migas. Dia melayangkan empat surat secara serentak pada tanggal 16 juli 2002. Surat bernomor 428 / 541 / Bup-KUTIM / 2002, itu dikirim ke gubernur Suwarna, DPRD Kaltim, bupati Syaukani dan DPRD Kutai Kartanegara. Tapi tetap nihil. Uang Rp. 165,86 milyar pun lepas dari genggaman.
Akibatnya gawat. Penerimaan APBD Kutai Timur pada tahun 2002 mengalami defisit lebih dari Rp200 milyar. Dari Rp. 837,71 milyar dalam APBD yang ditetapkan sebelumnya, terealisasi hanya Rp.628,13 milyar. Terpaksa APBD Kutai Timur 2002 dirombak. Padahal kegiatan perencanaan pembagunan gedung-gedung megah tadi sudah berjalan, bahkan sebagian sudah dilaksanakan pengerjaan fisiknya. Lalu dari mana sumber dananya? Utang.
Dari sinilah awal munculnya utang yang diwarisi bupati Mahyudin. Seperti yang telah disebutkan, jumlah utang mencapai Rp. 635 milyar berdasarkan hasil audit tahun 2003, sebelum Mahyudin betul-betul memegang kendali pembangunan di Kutai Timur.
Dari uraian yang terungkap tadi, kini ada beberapa hal yang patut dipertanyakan, setidaknya untuk dijadikan bahan pelajaran atau sekadar untuk berkaca. Pertama, apakah timbulnya utang gede semata mata kesalahan surat Jakarta dan mangkirnya janji gubernur Suwarna serta bupati Syaukani HR?
Selanjutnya, bukankah bupati Kutai Timur beserta DPRD saat itu ikut teledor karena menyusun rencana belanja pembangunan atas dasar asumsi-asumsi yang belum akurat? Mengapa Kutai Timur sudah membangun secara serentak gedung-gedung kantor yang mewah-mewah? Saat disodori pertanyaan seperti itu, Mahyudin seperti tak enak hati untuk memberikan komentar terhadap “kebijakan masa lalu”.
“Yang jelas, pak Awang saat itu ‘kan mendapatkan penghargaan dari mana-mana,“ begitu saja komentar Mahyudin kepada penulis.
Dia justru menyerahkan kepada masyarakat luas untuk menilainya, dengan seobjektif dan sekritis mungkin. Mahyudin hanya mengakui, untuk ukuran kabupaten yang berusia muda, kebijakan pembangunan gedung-gedung mewah tersebut “terlalu cepat”. Dia beristilah: mercusuar!
”Kalau yang normal, seperti Bontang saja, sampai sekarang pun belum bisa membangun gedung DPRD,” Mahyudin mencoba memberikan ilustrasi terhadap kondisi keuangan bagi Pemda baru hasil pemekaran. Sekadar mengingatkan, Bontang dan Kutai Timur, bersama Kutai Barat, merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai pada tahun 1999.
Lalu dimana peran Mahyudin saat dia menjabat wakil bupati? Apakah sebagai orang kedua di Kutai Timur tidak bisa mengerem kebijakan membangun yang bersifat mercusuar, yang bertumpu pada manajemen usang : besar pasak dari tiang?
Apakah saat bupati dan DPRD mengobral duit APBD yang belum sangat mendesak dari aspek prioritas, sebagai wakil bupati dia Cuma cuek bebek? “apa yang bisa diperbuat dari posisi seorang wwkil bupati untuk urusan kebijakan APBD, Bung? “mahyudin balik bertanya.
Terlepas dari siapa salah siapa benar, terlepas pula dari apa faktor penyebab sesungguhnya, warisan utang Kabupaten Kutai Timur yang mau tak mau selanjutnya menjadi tanggung jawab Mahyudin karena jabatannya yng melekat, berdampak kurang bagus untuk pembagunan selanjutnya. Sejarah kelam yang menimpa sekujur negeri ini pada tahun 1997 yang ditandai krisis ekonomi, antara lain akibat kebijakan membangun atas dasar utang dan utang. Begitu tercekik utang dalam bentuk dollar, ketika nilai tukar uang rupiah loyo, maka beban pengembalian utang menjadi segede gunung anakan. Rakyat yang sengsara.
Karena apa-apa jadi mahal, sementara fasilitas umum macam jalan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain tak bisa dibangun pemerintah. Jadi yang mengutang, rakyat yang harus membayarnya dalam bentuk pajak atau kewajiban lain terhadap negara. Haruskah tragedi masa lalu di tingkat nasional itu terulang di Kutai Timur? “Saya tidak mau. Harus segera keluar dari masalah ini. Saya butuh waktu dua sampai tiga tahun lagi untuk mencicil utang. Setelah itu, kalau saya dipercaya masyarakat Kutai Timur, maka akan saya kejar pembangunan yang tertinggal,” ujar Mahyudin.
Secara terus terang, ia mengakui, selagi APBD Kutai Timur dibebani cicilan untuk membayar utang yang tiap tahun mencapai sekitar Rp. 200 milyar, praktis dana belanja untuk membangun tersisa Rp. 100 milyar, stetelah dipotong pos belanja rutin sebesar Rp. 230 milyar. Artinya, ia tidak bisa berbuat terlalu banyak. Soalnya, dana orang awam, uang Rp. 100 milyar tentu teramat besar. Tapi untuk ukuran kabupetn baru yang harus menanggung semua kebutuhan fasilitas umum, yang mencakup 120 desa/kelurahan, uang Rp. 100 milyar pertahun tentu membutuhkan kelihaian manajemen tersendiri untuk menggunakannya agar berdaya guna dan berhasil guna.
Dan itu semua menjadi ujian bagi seorang Mahyudin. Bila ia bisa keluar dalam kemelut warisan utang ini, maka rakyat mungkin tidak menutup mata terhadap sepak terjangnya. Meskipun untuk membangun wilayah yang luasnya hampir mencapai 36 ribu kilo meter persegi ini hanya bermodalkan Rp. 100 milyar/tahun.*
|