Pakuan Pajajaran: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wikifikasi
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Membenarkan "di" yang dipisah dan "di" yang dirangkai, menambahkan pranala dalam, membenahi beberapa kata yang salah ketik (typo), menambahkan tanda hubung (--), dan menambahkan beberapa kata pada beberapa kalimat yang kurang lengkap.
Baris 91:
Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
 
Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas ''"Dalem Kitha"'' (Jero kuta) dan ''"Jawi Kitha"'' (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
 
Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton berada di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni [[Angkatan darat|Angkatan Darat]]. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa ''"Leuwi Sipatahunan"'' yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam [[Kebun Raya Bogor]].
 
Menurut kisah klasik, ''leuwi'' (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "[[Resimen Tjakrabirawa|Cakrabirawa]]" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.
 
Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya[[topografi]]<nowiki/>nya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
 
Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah ''hoff'' (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "''porte brisee, bewaakte in-en uitgang"'' (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
 
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi [[benteng]].
Penelitian lanjutan membuktikan bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "''porte brisee, bewaakte in-en uitgang"'' (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.
 
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - -Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.
 
Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
 
Di Kampung Lawanggintung, benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
Baris 111 ⟶ 109:
== Kehancuran ==
[[Berkas:Palangka Sriman Sriwacana (foto dokumen bogorheritage.net).jpg|jmpl|300px|kanan|[[Palangka Sriman Sriwacana]]]]
Atas politik adu domba yang dilakukan Portugis kepada kerajaan-kerajaan di nusantara, terjadi perebutan wilayah kekuasaan kerajan Sunda (Padjajaran) oleh [[Kesultanan Cirebon]] (Wilayah Padjajaran yang dipimpin oleh cucu Prabu Siliwangi) yang mendapat dukungan dari [[Demak]] diantaranyadi antaranya Banten dan Sunda Kelapa. Pakuan Pajajaran hancur pada tahun [[1579]] akibat serangan [[Kesultanan Banten]]. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya ''[[Palangka Sriman Sriwacana]]'' (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke [[Keraton Surosowan]] di [[Banten]] oleh pasukan [[Maulana Yusuf]].
 
Batu itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri [[Sri Baduga Maharaja]], raja Kerajaan Sunda.
 
Batu itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteriputri [[Sri Baduga Maharaja]], raja Kerajaan Sunda.
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas [[Keraton Surosowan]] di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya ''Watu Gilang'', berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
 
Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas [[Keraton Surosowan]] di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya ''Watu Gilang'', yang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah [[Kabupaten Lebak|Lebak]]. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai [[Urang Kanekes|orang Baduy]].
 
== Raja-raja yang pernah memerintah ==