Daftar khalifah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gosminkagawa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: kemungkinan perlu dirapikan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Gosminkagawa (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Baris 2:
 
== DALIL-DALIL ==
 
== Dalil al-Qur'an ==
 
Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berfaedah negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat yang beriman memiliki kepengurusan ulil amri perkara agama dan wajibnya memainkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
 
* Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian yang beriman. (Qs. An-Nisaa` [4]: 59).
 
Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Hakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha, berfaedah perintah pula untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri itu, jikalau Ulil Amri itu tidak telah tersedia, sebab tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak telah tersedia. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.
 
Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu cara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk mentaati ulil amri, berfaedah Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab telah tersedianya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajipan menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, karena sekiranya tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya cara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’iy).
 
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berlandaskan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:
 
* Maka putuskanlah cara di sela di sela mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Qs. Al-Maa’idah [5]: 48).
 
* Dan putuskanlah cara di sela di sela mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu (Qs. Al-Maa’idah [5]: 49).
 
Dalam kaidah usul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khitab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak telah tersedia dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khitabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak telah tersedia dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.
 
Oleh karenanya, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berjalan pula untuk umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai ciri utama lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as-Sulthan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah Jamaah untuk menjalankan semua hukum Islam, iaitu kepemimpinan Khilafah Al Jamaah.
 
* Padahal Allah memerintahkan kita untuk mati dalam keadaan Islam.
 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
 
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". (QS. Ali Imran : 102).
 
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
 
Artinya: "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?". (QS. Al Maidah ayat 50).
 
=== Dalil as-Sunnah tentang Khalifah ====
 
* Abdullah bin Umar meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa argumen. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak telah tersedia bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati dalam kondisi mati jahiliyah." [HR. Muslim].
 
* Nabi SAW mewajibkan telah tersedianya bai’at pada leher setiap muslim dan menyifati orang yang mati dalam kondisi tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Dari hadist ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru telah tersedia di leher kaum muslimin sekiranya telah tersedia Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.
 
* Rasulullah SAW bersabda: "Bahwasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangannya umat bertempur dan dengannya umat berlindung." [HR. Muslim]
 
* Rasulullah SAW bersabda: "Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak telah tersedia lagi nabi setelahku. Akan telah tersedia para Khalifah dan banyaknya akan banyak. Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan berkeinginan pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka." [HR. Muslim].
 
* Rasulullah SAW bersabda: "Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu beliau mati, maka matinya adalah mati jahiliyah." [HR. Muslim].
 
Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahawa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahawa akan telah tersedia penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang telah tersedianya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk memainkan afal (thalab al fi’li). Dan sekiranya pelaksanaan afal yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika dibiarkan lepas mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan afal itu bererti bersifat pasti (fardlu). Aci hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.
 
Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berfaedah keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab sekiranya tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahwa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan untuk kaum muslimin statusnya adalah wajib.
 
* Rasulullah SAW bersabda pula : "Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah beliau mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain berhasrat mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu." [HR. Muslim].
 
Keimaman melanjutkan tugas seperti para Nabi meramut, membimbing, mengatur, mengurus, dan mendampingi UMAT, seperti dijelaskan dalil berikut:
 
* "Bani Isra'il, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan lagi Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku. Yang ada adalah para Khalifah yang banyak jumlahnya". (HR. Muslim).
 
 
Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berfaedah perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, iaitu Imam atau Khalifah. Sebab sekiranya tidak wajib, nescaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, iaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.
 
 
Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah untuk kaum muslimin.
 
=== Dalil Ijma’ Sahabat ===
 
* "Abu Bakar Asshidiq radiyallaah anhu, berkata: Tersimpulnya hidayah Islam sesudah kalimat syahadat adalah mendengar dan taat kepada seseorang yang Allah menjadikannya sebagai wali perkara kalian yang beriman/ulil amri minkum".
 
* Dari Umar, “Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan berJama’ah, dan tidak ada Jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ditaati, maka barangsiapa yang kaum itu mengangkatnya sebagai pimpinan atas dasar kefahaman, maka hidup baginya dan bagi kaum tersebut tetapi barangsiapa yang kaum itu mengangkatnya bukan atas dasar kefahaman, maka kerusakan baginya dan bagi mereka.” (HR. Ad-Darimi Sunan Ad-Darimi dalam bab Dzihabul ‘Ilmi : I/79)
 
 
Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Sisa dari pembakaran Bakar, Umar bin Khathtab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ridlwanullah ‘alaihim.
 
Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan dan [[baiat]] Khalifah, nampak jelas dalam perihal nya bahawa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan dan pem[[baiat]]an seorang Khalifah pengganti dia. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk memainkan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di selanya justru semakin mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat dan [[baiat]] Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat dan [[baiat]] Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka dapat mengingkari hal ini dan dapat mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan telah tersedianya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat dan [[baiat]] Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat dan [[baiat]] seorang Khalifah adalah semakin wajib daripada menguburkan jenazah.
 
Demikian pula bahwa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat tentang kewajiban mengangkat dan [[baiat]] Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan argumen tentang siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih argumen sedikit pun tentang wajibnya mengangkat dan [[baiat]] seorang Khalifah, sepatutnya ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh karenanya Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat tentang kewajiban mengangkat Khalifah.
 
=== Dalil Dari Kaidah Syar’iyah ===
Ditilik dari analisis usul fiqh, mengangkat dan [[baiat]] Khalifah juga wajib. Dalam usul fikih dikenal kaidah syar’iyah yang disepakati para ulama:
 
"Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali telah tersedianya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya." Memainkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala bidangnya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa telah tersedianya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berlandaskan kaidah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.
 
Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajipan dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.
 
Argumen Para Ulama
Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416:
 
"Para imam mazhab (Sisa dari pembakaran Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib telah tersedianya, dan bahawa ummat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah,) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya..."
Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah (termasuk Khawarij dan Mu’tazilah) tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Sekiranya pun telah tersedia segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka argumennya itu tidak perlu diasumsikan, karena bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.
 
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: "Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’." Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: "Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, tentang wajibnya Imamah (Khilafah)."
 
Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib (bukan haram lebih-lebih bid’ah) dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja referensi yang menunjukkan kewajiban Khilafah: Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5, Sisa dari pembakaran Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19, Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161, Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62, Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97, Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167, Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17, Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176, Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205, Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99, Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26, Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124, Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248, Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75, Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61, dan masih banyak lagi yang lainnya.
 
== Khalifah utama ==