Bahauddin al-Bukhari an-Naqsyabandi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Typo dalam penulisan nama
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Riznaldo (bicara | kontrib)
merapikan dan menambah literatur yang mudah dipahami
Baris 76:
 
== Masa Awal ==
Syeikh Baha-ud-Din dilahirkan pada tahun [[1318]] di desa Qasr-i-Hinduvan (yang kemudian bernama Qasr-i Arifan) di dekat [[Bukhara]], yang juga merupakan tempat di mana ia wafat pada tahun [[1389]]. Sebagian besar masa hidupnya dihabiskan di Bukhara, [[Uzbekistan]] serta daerah di dekatnya, [[Transoxiana]]. IniDikenal dilakukandengan untuknama menjaga prinsip "melakukan perjalanan di dalamSyah negeri"Naqsyaband, yangdan merupakannama salahaslinya satuadalah bentukMuhammad Baha''"laku"''uddin sepertian-Naqsyabandi yangal-Uwaisy ditulisal-Bukhari. oleh [[Omar Ali-Shah]]Disebut dalam bukunyakitab "Ajaran''ath-Thariqah atauan-Naqsyabandiyah Rahasiawa dariA’lamuha'' Tariqat(TNWA, Naqsyabandi".18-19), Perjalanannamanya jauhdikenal yangdengan dilakukannyasebutan hanyaSyah padaNaqsyaband. waktu ia menjalankan ibadah haji dua kali.
 
== Mempelajari Tarekat ==
Beliau belajar ilmu-ulmu syariah kepada Khawaja [[Muhammad Baba As-Samasi]], yang dimakamkan di desa Samas, dekat Bukhara. Pada umur 18 tahun, dia mengambil tarekat dari Syekhnya, Syekh Baba Samasi dan belajar ketenangan, ''khusu''', dan ''tadharru’''. Akan tetapi, silsilah sanad tarekatnya beliau menyambungkan kepada murid Baba Samasi, yang juga gurunya, yaitu Sayyid Amir Kullal.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan ''Khwajagan'', yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu [[:en:Amir Kulal|Amir Kulal]], yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
 
Sumber-sumber yang menyebut biografinya, menjelaskan bahwa Syah Naqsyaband memiliki tiga guru yang yang banyak berpengaruh kepada pembentukan karakter dan perkembangan spiritualnya. Tiga orang itu, disebut oleh Jaudah Muhammad Abul Yazid al-Mahdi dalam Biharul Wilayah al-Muhammadiyah (BWM, 1998: 545-547) yaitu: Khawaja [[Abdul Khaliq Ghajadwani]], [[Muhammad Baba As-Samasi]], dan Sayyid [[Amir Kulal]].
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh [[Abdul Khaliq Ghajadwani]] (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktikkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
 
Melalui Khawaja Abdul Kholiq al-Ghuzdawani, Syekh Muhamamd Bahaudin Naqsyabandi disebut memperoleh tarbiyah Uwaisyiah secara ruhani, ''bil madad ar-Ruhil A’zham''. Sementara dengan Baba Samasi, disebut, ketika Syekh Muhammad Baha'uddin Naqsyabandi memperoleh ''tarbiyah Uwaisyah'' di dalam batin dari Khawaja Abdul Kholiq al-Ghuzdawani, beliau memperoleh ''tarbiyah ruhiyah'' pula di alam ''dhahir'' dari Baba Samasi dan Sayyid Amir Kullal.
 
Peran Syekh Baba Samasi, di antaranya disebut oleh Jaudah Ahmad Abul Yazid al-Mahdi (BWM, 1998: ), berdasarkan kesaksian Syah Naqsyabandi sendiri, begini: “Kakekku mengirimku, dan umurku kira-kira 18 tahun, ke Samas untuk berkhidmah kepada al-Arif, al-Kabir, mursyid asy-Syahir, Syekh Baba Samasi, dengan memohon doa kepadanya untukku. Tatkala aku memperoleh hasil, tidak sampai waktu ''ghurub'', kecuali aku telah mendapatkan barakahnya, diriku dalam keadaan tenang, khusyu’, dan tadharu’. Kemudian aku berdiri pada waktu sahur, lalu berwudhu dan ke masjid yang di dalamnya ada para sahabat, maka aku takbiratul ihram menunaikan shalat. Tatkala aku sujud, aku berdoa kepada Allah dan aku merendahkan diri dengan banyak, maka lewatlah melalui lisanku, pujian atas doaku:
 
“Ya Tuhaku, kuatkan aku dalam membawa (''ahwal'') untuk menaggung ''bala''’, dan ''minhahnya mahabbah.”'' Kemudian aku sholat fajar bersama Syekh Baba Samasi, ''qoddasalah sirrahu''. Tatkala aku sudah selesai shalat, kemudian Syekh Baba menemuiku dan mengingatkanku, setiap apa yang terjadi (padaku) dari jalan ''kasyaf'', kemudian berkata kepadaku: “Hai anakku, sebaiknya engkau berdoa begini: “Ya Tuhanku, berilah hambamu yang lemah ini ridhamu, sesungguhnya Allah ta`ala itu tidak ridha hamba-Nya di dalam menanggung bala. Apabila kekasihnya diuji berdasarkan tuntunan hikmah dia diberi kekuatan untuk membawa bala’ dan memunculkan hikmah. Maka tidak patut seorang hamba untuk memilih memperoleh bala’, karena sesungguhnya hal itu menghilangkan ''maqam'' adab.”
 
Setelah wafatnya Syekh Baba Samasi, Muhammad Baha'uddin Naqsyabandi diambil kakeknya untuk diajak pergi Samarkand, berziarah dan bertemu dengan para ''shalihin'', para ''quthub'' untuk memperoleh ''barakah'' mereka. Setelah itu, beliau datang ke Bukhara dan dinikahkan, menekuni ibadah menjalankan syariat dan menekuni hakikat (BWM, 547). Syah Naqsyaband kemudian juga bersahabat dan belajar kepada Sayyid Amir Kullal yang memiliki kemuliaan dalam men-''tarbiyah'' murid, yang juga murid dan menggantikan kedudukan Baba Samasi.
 
Pada saat bersama Sayyid Amir Kullal ini, Syah Naqsyaband juga mengalami ''jadzbah'' dan mendengar ''hatif''. Dari ''jadzbah'' ini kemudian dibangun dasar-dasar tarekat Naqsyabandi. Para murid Sayyid Amir Kullal al-Bukhari berdzikir dengan dzikir ''jahr'', bila bersama-sama, dan bila sendiri dengan dzikir ''khafi''. Syah Naqsyabandi kemudian memilih dzikir ''khafi,'' dan dzikir ''khafi'' disebutnya sebagai: “''aula wa aqwa''” (TNWA, 1987: 18). Setelah itu, dzikir Naqsyabandi, dari Syah Naqsyabandi mengunakan metode dzikir ''khafi''. Tentang jawaban Syayid Amir Kullal ketika ditanya salah satu muridnya, soal dzikir ''khafi'' dari Syah Naqsyaband telah dikutip di bagian Sayyid Amirt Kullal, dan tidak diulang lagi di sini.
 
Setelah datang kepada Sayyid Amir Kullal, Syah Naqsyabandi berziarah kepada orang-orang shalih dan belajar dari ahwal mereka. Dan, setelah berhaji 3 kali, Syah Naqsyaband berdiam di Merwa, kemudian Bukhara, dan kembali ke daerahnya di Qashrul Arifan dan mendidik para murid. Sejak masa Syah Nasyabandi, tarekat yang dulu sering dinamai Thaifuriyah atau `Isyqiyah, kemudian dikenal sebagai tarekat para Khojagan (Kwajagan), maka tarekat ini kemudian dinisbahkan kepadanya, menjadi Nasyabandi (Martin, hlm. 50). Syah Naqsyaband meninggalkan beberapa risalah dan kitab yang diberi judul: ''al-Aurad al-Baha’iyah,'' dan diberi ''syarah'' oleh para muridnya diberi judul ''Manbaul Asrar; Tanbihul Ghafilin, Sulukul Anwar,'' dan ''Hidayatus Salikin wa Tuhfatuth Thalibin.''
 
Syah Naqsyaband, menambahkan 8 asas yang telah diletakkan oleh Khawaja Abdul Khaliq al-Ghuzdawani di dalam bahasa Persia, dengan 3 asas lagi, yaitu: ''wuquf-izamani, wuquf-i adadi, wuquf-iqalbi''. Sejak masa beliau ini, silsilah Khawajagan kemudian dikenal dengan Naqsyabandiyah.
 
== Tarekat Naqsyabandiyah ==
Baris 88 ⟶ 102:
 
== Wafat ==
Beliau wafat pada bulan Rabiul Awwal tahun 791 H. (1388 M.), dan ketika sakit menjelang wafat, para muridnya membacakan surat Yasin sampai sempurna kewafatannya. Beliau dimakamkan di kebunnya sendiri, sebagaimana wasiatnya, dan di kuburannya itu oleh para murid dan pengikutnya, dibangun sebuah ''qubbah''.
Syeikh Baha-ud-Din Naqshband wafat dan dimakamkan di desa asalnya pada tahun [[1389]]. Makamnya merupakan tempat yang banyak dikunjungi peziarah di Bukhara.
 
{{lifetime|1318|1389|}}