Mahrus Amin: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah info di mengembangkan darunnajah |
mengedit paragraf dan kata |
||
Baris 45:
Setelah Belanda ditarik mundur, Mahrus dan keluarga kembali ke Kalibuntu. Perang membuat perekonomian terpuruk. Usaha persewaan delman orangtuanya sudah tak ada, karena delmannya direlakan untuk membawa keperluan mengangkut senjata dan logistik bagi para pejuang saat revolusi kemerdekaan.
Oleh kedua orangtuanya, Mahrus dimasukkan ke Madrasah Ibtidaiyyah di Losari, Brebes. Untuk mencapai sekolahnya, setiap hari ia berjalan kaki sejauh 7 kilometer, melintasi perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Madrasah tempat Mahrus menimba ilmu menerapkan sistem klasikal dengan menggabungkan pelajaran umum dan pelajaran agama. Pengajarnya merupakan alumni dari perguruan tinggi di [[Mesir]] yang mendopsi sistem pendidikan di negara tersebut.
Karena bercita-cita menjadi guru, tentu saja [[SGB]] (Sekolah Guru Bantu) dan SGA (Sekolah Guru Atas) menjadi tujuan Mahrus. Namun saat Orde Baru, sekolah-sekolah ini dihapus. Orangtuanya pun menyarankan Mahrus agar mendaftar ke Pondok Modern [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]] di Ponorogo. Bersama 7 temannya Mahrus berangkat ke Gontor untuk mengikuti jenjang KMI (Kuliyatul Mualimin Al-Islamiyah) selama 6 tahun. KMI menggabungkan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah dalam 1 paket. Namun dari 7 orang, hanya Mahrus yang berhasil menyelesaikan jenjang KMI.▼
Tahun 1953, Mahrus lulus dari madrasah. Ia diminta orangtuanya untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi untuk meneruskan tradisi keluarga, menjadi guru dan panutan bagi masyarakat.
▲Karena bercita-cita menjadi guru, tentu saja [[SGB]] (Sekolah Guru Bantu) dan SGA (Sekolah Guru Atas) menjadi tujuan Mahrus. Namun saat Orde Baru, sekolah-sekolah ini dihapus. Orangtuanya pun menyarankan Mahrus agar mendaftar ke Pondok Modern [[Gontor, Mlarak, Ponorogo|Gontor]] di Ponorogo.
Bersama 7 temannya Mahrus berangkat ke Gontor untuk mengikuti jenjang KMI (Kuliyatul Mualimin Al-Islamiyah) selama 6 tahun. KMI menggabungkan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah dalam 1 paket. Namun dari 7 orang, hanya Mahrus yang berhasil menyelesaikan jenjang KMI.
== Kehidupan Semasa Mondok ==
Masa-masa Mahrus menjadi santri diwarnai oleh besarnya pengaruh [[Partai Komunis Indonesia|PKI]] di Ponorogo. Stereotipe santri sebagai kaum sarungan bersama sentimen politik yang berkembang saat itu, membuat para santri acap “berhadap-hadapan” langsung dengan massa pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) melalui anak organisasinya BTI (Barisan Tani Indonesia).
Baik PKI maupun BTI kerap menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kaum santri. Di antaranya dengan upaya pembakaran pagar Ponpes Gontor tahun 1956 dan upaya pembunuhan terhadap Kiai Zuhri, Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi yang dapat digagalkan setelah kehadiran pasukan Siliwangi. Saat menjadi santri, Mahrus memperoleh tugas mengurus penerangan listrik dan alat-alat pengeras suara yang masih mengandalkan aki (accu) sebagai sumber energi. Untuk mengisi ulang daya aki, Mahrus harus bersepeda ke Kota Ponorogo seorang diri. Kondisi yang mencekam, membuat Mahrus merasa kuatir akan keselamatan dirinya. Bersyukur ia berhasil melalui masa-masa tersebut dengan selamat.
Mahrus menyukai aktivitas dalam organisasi santri. Ia adalah pengurus santri konsulat Jawa Barat. Namun dari semua aktivitas, Mahrus paling menyukai kegiatan kepanduan (Pramuka). Kecintaannya pada kegiatan kepanduan telah hadir sejak ia duduk di bangku SR saat mengikuti kepanduan Hizbul Waton. Kelak kegiatan ini dilanjutkan Mahrus saat mendirikan dan memimpin Ponpes Darunnajah.
Baris 58 ⟶ 68:
Mahrus mengakui pengaruh tiga serangkai, Kiai Ahmad Sahal, Kiai Imam Zarkasyi dan Kiai Fanani amat membekas dalam pembentukan karaternya. Kiai Ahmad Sahal menanamkan nilai-nilai perjuangan. Bahwa ia tidak perlu takut menghadapi tantangan-tantangan hidup karena pada dasarnya hidup adalah perjuangan. Mahrus mengamini hal ini, sejak menjadi santri hingga kelak ia mendirikan dan memimpin Darunnajah, tantangan datang silih berganti.
Sementara dari Kiai Imam Zarkasyi, Mahrus memperoleh teladan langsung berupa nilai keikhlasan, kemandirian, persaudaraan, kesederhanaan dan kebebasan. Nilai-nilai inilah yang dikemudian hari diterapkan oleh Mahrus di Ponpes Darunnajah.
Adapun dari Kiai Fanani yang saat itu bertugas di Departemen Sosial, Mahrus merasa dibuka wawasannya tentang kehidupan bermasyarakat. Kiai Fanani berpesan agar ia peduli pada masyarakat dan terlibat aktif mengatasi masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Sampai akhir masa belajar di Gontor, Mahrus belum memiliki kemantapan hati untuk mengabdikan ilmu dengan membangun pesantren. Namun suatu hari di tahun 1960, saat kunjungan Rektor [[Universitas Al-Azhar|Universitas Al Azhar]] Mesir, Syeikh Mahmud Saltut ke Indonesia, Mahrus seperti mendapatkan momentum untuk memantapkan hati untuk membangun pesantren. Saat itu Syeikh Saltut menginap di Sarangan, Madiun. Para kiai menemui beliau dan pulang membawa amanat untuk para santri untuk membangun seribu pondok modern seperti Gontor di seluruh Indonesia.▼
▲Sampai akhir masa belajar di Gontor, Mahrus belum memiliki kemantapan hati untuk mengabdikan ilmu dengan membangun pesantren. Namun suatu hari di tahun 1960, saat kunjungan Rektor [[Universitas Al-Azhar|Universitas Al Azhar]] Mesir, Syeikh Mahmud Saltut ke Indonesia, Mahrus seperti mendapatkan momentum untuk memantapkan hati untuk membangun pesantren.
Saat itu Syeikh Saltut menginap di Sarangan, Madiun. Para kiai menemui beliau dan pulang membawa amanat untuk para santri agar membangun seribu pondok modern seperti Gontor di seluruh Indonesia.
Amanah itu demikian memberi pengaruh luar biasa ke dalam diri Mahrus. Sejak saat itu, ia bertekad untuk berusaha sekuat tenaga mengisi umur dengan berdakwah lewat dunia pendidikan khususnya pondok pesantren. Semangat itu tak pernah padam yang di kemudian hari melatari ikhtiar Mahrus untuk membangun 1000 pesantren Nusantara.
== Hijrah ke Ibukota ==
Selepas lulus dari Gontor, atas saran pamannya, '''Prof. Tohir Abdul Muin''', Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga, pada 2 Februari 1961 Mahrus melabuhkan kehidupannya di Jakarta. Di ibukota, Mahrus tinggal di kantor PB Makmur milik '''H. Abdul Manaf Mukhayyar''' yang berlokasi di Palmerah, Jakarta Barat. Mahrus mengenal PB Makmur dari '''Hasim Munif,''' rekannya sesama alumni Gontor yang bekerja di PB Makmur.
Semasa tinggal di PB Makmur, Mahrus memperoleh informasi bila Raudhatul Athfal, sebuah lembaga pendidikan pimpinan Ustad Abdillah Amin di bilangan Petukangan membutuhkan tenaga pengajar. Mahrus mendapat tawaran mengajar sejak 1 April 1961 di lembaga tersebut. Inilah awal Mahrus mengabdikan ilmu yang diperolehnya selama di Gontor.
Raudhatul Athfal berada di bawah Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI). Yayasan ini dibentuk pada 30 Desember 1960. Tepatnya setelah hadir keinginan untuk membangun pondok pesantren di bilangan Ulujami yang tanahnya merupakan wakaf dari H. Abdul Manaf Mukhayyar.
Tanah wakaf yang diberikan adalah tanah yang dibeli dari hasil gusuran Madrasah Al-Islam Petunduhan (sekarang kelurahan Gelora) pimpinan H. Abdul Manaf. Madrasah tersebut terkena gusuran bagi proyek pembangunan arena olahraga Asian Games IV tahun 1962, dengan nilai Rp. 150.000,00. Setelah mendengar saran dari '''Drs. H. Kamaruzzaman,''' tokoh pemuda Palmerah yang sedang kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, H. Abdul Manaf setuju membeli tanah di pinggiran Jakarta untuk dibangun pesantren.
Untuk mewujudkan cita-cita membangun ponpes, YKMI dibentuk dengan susunan pengurus sebagai berikut: '''H. Moh. Kosim (Ketua), Drs. H. Kamaruzzaman (Sekretaris) dan H. Abdul Manaf Mukhayyar (Bendahara).''' Kehadiran yayasan ini memperoleh respons positif dari tokoh masyarakat di Ulujami dan Petukangan seperti: '''H. Abdillah Amin, H. Satiri (Ulujami), H. Sidik Makmun, H, Sidik, H. Satiri (Petukangan), Abbas''' dan lain sebagainya. Salahsatu bentuk dukungan tersebut ditujukan oleh H. Abdillah Amin dengan menyerahkan Raudhatul Athfal di Petukangan untuk bergabung di YKMI.
Baris 80 ⟶ 98:
Pada 1 Agustus 1961, Mahrus mendapat amanah untuk mengurus bidang pendidikan di Balai Pendidikan Darunnajah di Petukangan. Bersama teman-temannya, '''A. Hafizd Dasuki, Ridho Masduki''' dan '''A. Rahim Hidayat''', Mahrus mengembangkan madrasah ini menjadi pesat. Tidak hanya membuka jenjang TK tapi juga membuka Sekolah Dasar dan SLTP.
Pada tahun 1964, H. Muhammad Kosim meninggal dunia yang membuat aktivitas YKMI sempat mengalami kevakuman. Meski pengurus baru ditunjuk, namun sebagian besarnya adalah orang-orang sibuk yang bekerja di pemerintahan atau masih kuliah. Dampaknya
Ketidakaktifan pengurus YKMI dirasakan oleh lembaga pendidikan yang dinaunginya. Para pengajar kurang mendapat perhatian dari yayasan. Hal tersebut mendorong Mahrus selaku pemimpin Darunnajah Petukangan melakukan upaya agar cita-cita pendirian Ponpes tetap terjaga. Di antaranya, dengan melakukan koordinasi secara intens dengan '''H. Abdul Manaf''' di Palmerah, '''Ustad Abdillah Amin''' di Petukangan dan '''H. Kamaruzzaman''' di Kemandoran serta merintis pendirian Ponpes.
Baris 96 ⟶ 114:
Pada kurun waktu 1960-1970, lembaga pendidikan swasta masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga Darunnajah membiayai kegiatan pendidikannya secara mandiri. Untuk mencukupi kebutuhan rutinnya, Darunnajah mengandalkan iuran wali murid dan dukungan finansial dari donator seperti '''Arsyad Siagian''' (bagian keuangan Pemda DKI), '''H. Satiri, H. Abdul Manaf,''' Majelis Taklim Ibu-ibu Petukangan dan masyarakat Petukangan.
Masih di tahun yang sama dengan ikrar pendirian Ponpes, Darunnajah Petukangan membangun panti asuhan yatim piatu. Pembiayaan pembangunan ini dilakukan secara mandiri yaitu dengan membebaskan tanah seluas 1000 meter persegi milik '''H. Hasbullah''', salah seorang pengurus YKMI.
Oleh Mahrus, tanah itu dilelang sehingga terjual dengan harga Rp. 250 per meter persegi atau senilai total Rp. 250.000,00. Tetapi dana tersebut tidak mencukupi. Akhirnya dengan dukungan dana dari keluarga, majelis taklim dan para donator, kekurangannya dapat dipenuhi. Setahun kemudian, panti asuhan tersebut sudah mulai menampung anak-anak yatim piatu. Ustad Abdillah Amin yang dulu memimpin Raudhatul Athfal dipercaya memimpin panti asuhan. Maka sejak tahun 1970, Darunnajah Petukangan menaungi madrasah dan panti asuhan. Untuk mengurus segala keperluannya, dibentuklah '''Yayasan Annajah'''. Ustad Abdillah Amin menjadi ketua, didampingi Mahrus sebagai wakil.
Sementara itu tanah di Ulujami hingga tahun 1972, tak kunjung terjual. Maka di tahun ini pula, rencana pembangunan Ponpes Darunnajah Petukangan diurungkan, dan ikhtiar mendirikan Ponpes di Ulujami kembali digiatkan.
Di masa mendatang, perkembangan Darunnajah Ulujami memberi dampak positif bagi perkembangan Madrasah Darunnajah Petukangan. Layaknya saudara kandung, Darunnajah Petukangan semakin populer di masyarakat berkat kurikulumnya yang memadukan pengetahuan agama dan umum. Pada perkembangannya, di tahun 2005, Madrasah Darunnajah Petukangan berganti nama menjadi '''Madrasah Annajah'''. == Merintis Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami ''' ''' ==
Berbekal restu dari H. Abdul Manaf yang di tahun 1972, telah menjadi mertuanya, Mahrus mulai menyeriusi ikhtiarnya membangun Ponpes di Ulujami. Di awal, ikhtiar ini berkendala, karena masyarakat Petukangan tidak ingin wilayahnya kehilangan kesempatan untuk memiliki Ponpes.
Namun selepas musyawarah guru di Cibodas, Mahrus bersama istri secara diam-diam mulai menetap di perkebunan Ulujami untuk memulai pembangunan Ponpes Darunnajah Ulujami. Mengikuti langkah Rasulullah Saw yang membangun masjid saat hijrah ke Madinah, Mahrus pun mengawali pembangunan di Ponpes Darunnajah dengan mendirikan masjid di tahun 1973. Desain masjid dibuat oleh '''Ir. Ery Chayaridipura'''. Bahan materialnya diperoleh dengan melakukan pembuatan swadaya batu bata yang dikoordinir oleh sang ayah, Casim Amin.
Tentu saja tidak cukup dengan batu bata semata. Untuk memenuhi kebutuhan bangunan lainnya dan keperluan pendirian pesantren secara umum, di awal-awal menggunakan harta H. Abdul Manaf.
Bersamaan dengan itu, Mahrus juga membuka toko bahan bangunan di Kali Raya dan membuat usaha percetakan dan sablon, juga berjualan ayam dan memasoknya di sekitar restoran Jakarta. Tahun 1974, masjid pusaka dengan ukuran 11 x 11 meter rampung dibangun. Bangunan ini terdiri dari 3 bagian. Sisi sayap kanan dan kiri dipakai untuk kelas, kamar depan untuk guru dan karyawan serta ruang tengah untuk pembinaan santri dan salat berjemaah. Pada 1 April 1974, Ponpes Darunnajah Ulujami memulai kegiatan belajar-mengajar dengan 3 orang santri mukim. Untuk menyemarakkan kegiatan pendidikan, Madrasah Tsanawiyyah Darunnajah Petukangan dipindahkan ke Ulujami.
Pertumbuhan jumlah santri yang cukup besar, membuat Mahrus berupaya mengembangkan bangunan fisik. Melalui perantara Ir. Ery Chayanadipura, pada tahun 1976 Darunnajah memperoleh bantuan 3 gedung sekolah dari '''Gubernur DKI Jakarta, [[Ali Sadikin]]'''[[Ali Sadikin|.]] Setiap gedung memuat 8 lokal ruang kelas. Dalam waktu 3 tahun sejak berdiri, Darunnajah telah memiliki 24 ruang kelas untuk level SD, SLTP dan SLTA.
Baris 116 ⟶ 146:
== Meraih Dukungan Masyarakat ==
Awal pendirian Ponpes Darunnajah, berbagai rintangan tidaklah terelakkan. Salahsatunya dari masyarakat sekitar yang melihat kehadiran Ponpes sebagai ancaman. Mereka kuatir Mahrus yang bukan berasal dari masyarakat setempat, membawa ajaran Islam dan kultur yang berbeda dengan yang mereka jalani.
Menghadapi hal ini, Mahrus memunculkan ide cemerlang untuk merangkul masyarakat dengan membentuk koperasi serba usaha yang mengakomodir kebutuhan ''home industry'' masyarakat perajin peci/songkok.<ref>{{Cite book|last=Lutfi, MM.|first=Muhaemin, KH., Drs., Ustadz|date=2010|title=Sosok Manusia Unik, Antik dan Menarik dalam "Kyai Entrepreneur: 70 Tahun KH. Mahrus Amin"|location=Jakarta|publisher=Panitia Tasyakuran 70 Tahun KH. Mahrus Amin|pages=285+xvii|url-status=live}}</ref>
Mahrus juga mendirikan SDI Darunnajah untuk menampung anak-anak usia sekolah. Kurikulum SDI Darunnajah di tahun 1973 sudah lebih maju dibandingkan madrasah lainnya. Kegiatan belajar-mengajar tidak hanya di kelas semata tapi juga merambah ke kegiatan ekstakurikuler seperti kesenian, qasidah dan sepakbola. Pada tahun 1978, Darunnajah telah menggelar kompetisi sepakbola tingkat SD se-DKI Jakarta bernama Darunnajah Cup. ▼
Mahrus juga mendirikan SDI Darunnajah untuk menampung anak-anak usia sekolah. Kurikulum SDI Darunnajah di tahun 1973 sudah lebih maju dibandingkan madrasah lainnya.
SDI Darunnajah juga aktif dalam kegiatan Pramuka. Salahsatu aktivitas yang rutin dilakukan adalah lomba menanam pohon pepaya, pohon pisang serta menebar bibit tanaman hias yang melibatkan masyarakat. Hal-hal tersebut membuat banyak orangtua dari masyarakat sekitar percaya menitipkan anaknya di SDI Darunnajah. Dari merekalah kemudian informasi mengenai Darunnajah menyebar ke masyarakat. ▼
▲
▲SDI Darunnajah juga aktif dalam kegiatan Pramuka. Salahsatu aktivitas yang rutin dilakukan adalah lomba menanam pohon pepaya, pohon pisang serta menebar bibit tanaman hias yang melibatkan masyarakat.
Hal-hal tersebut membuat banyak orangtua dari masyarakat sekitar percaya menitipkan anaknya di SDI Darunnajah. Dari merekalah kemudian informasi mengenai Darunnajah menyebar ke masyarakat.
Di samping itu, Mahrus menerima pasokan makanan (jajanan) dari ibu-ibu majelis taklim sekitar untuk dijual di kantin Darunnajah. Secara rutin Mahrus juga membina majelis taklim untuk masyarakat Ulujami dan sekitar, para pemasok makanan dan ustadzah serta ibu-ibu karyawan Darunnajah. Taklim ini ditujukan untuk memperat silaturahim antara warga Ponpes dengan masyarakat sekitar.<ref>{{Cite book|last=Maziyah, S.Ag.|first=Emah, Hj.|date=2010|title=Perjalanan Bersama Sang Ayah dalam "Kyai Entrepreneur: 70 Tahun KH. Mahrus Amin"|location=Jakarta|publisher=Panitia Tasyakuran 70 Tahun KH. Mahrus Amin|pages=285+xvii|url-status=live}}</ref>
Mahrus memberi materi Al-Qur’an dan terjemahannya serta membahas kitab ''Riyadusshalihiin'' dan ''Durratunnasihiin.'' Majelis Taklim ini berjalan hingga kini, setiap tahunnya menyalurkan zakat fitrah dan melakukan distribusi daging kurban dari Darunnajah ke masyarakat sekitar.
Dengan izin Allah, upaya-upaya yang dilakukan mampu merebut hati masyarakat. Mereka mendukung kehadiran Darunnajah. Bahkan mereka mengapresiasi segenap upaya yang dilakukan Mahrus dan segenap pengelola Ponpes. Hal ini ditujukan dengan semakin banyaknya anak-anak dari masyarakat sekitar yang bersekolah di Ponpes. Berbekal kepercayaan di masyarakat, di tahun 1978, Darunnajah memperkaya jenjang pendidikan yang dimilikinya dengan membuka TKI (Taman Kanak-Kanak Islam). Pendirian TKI dimaksudkan untuk menyediakan pendidikan usia dini bagi anak-anak guru di kalangan keluarga Ponpes dan masyarakat Ulujami sekitarnya.
== Mengembangkan Darunnajah ==
Baris 135 ⟶ 175:
Di kemudian hari berubah menjadi STISDA (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Darunnajah) dan kini menjadi STAIDA (Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah) dengan program studi S1 tarbiyah dan syariah, juga PGSD/MI (Pendidikan Guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyyah) dan PGTK/RA (Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal).
Langkah berikutnya yang diambil
Khusus yang bekerjasama dengan pihak lain, bila model pengasuhan dan kurikulum serta manajemen diserahkan pengelolaannya ke Yayasan Darunnajah maka dikelompokkan ke dalam Ponpes cabang. Sementara bila hanya menyerahkan model pengasuhan dan kurikulum untuk dikelola ke Yayasan Darunnajah maka dikategorikan sebagai Ponpes filial. Pengembangan ini diawali dengan '''Ponpes Darul Muttaqien''' di Jabon Mekar, Parung, Bogor. Ponpes ini berdiri pada 8 Agustus 1986 di atas tanah wakaf dari '''H. Muhammad Nahar''', wartawan senior Antara. Pada mulanya, Ponpes ini diharapkan dipimpin oleh Z. Muttaqien, namun karena beberapa kendala, pada akhirnya pembangunan Ponpes diserahkan ke Darunnajah. Oleh Mahrus, Ponpes ini diberi nama Darul Muttaqien.
Tahun 1989, '''KH. Abdul Manaf''' bersama dua sahabatnya, '''KH. Sadeli''' dan '''H. Hadidi,''' membangun '''Ponpes Al-Hidayah''' di Ciomas, Serang. Dipimpin oleh KH. Sadeli, Ponpes ini menggunakan model pengasuhan dan kurikulum Ponpes Darunnajah.
Masih di tahun 1989, '''Ponpes Annajah''' di Desa Kertasari, Kecamatan Pebayuran, Bekasi berdiri di atas tanah wakaf seluas 9 hektar dari '''H. Muhammad Yasin.''' Ponpes ini merupakan Ponpes pertama yang menerima limpahan santri sebanyak 150 orang yang tidak tertampung di Darunnajah Ulujami pada 1 Agustus 1989.
Pengembangan Ponpes cabang juga dilakukan hingga ke luar Pulau Jawa. Tahun 1989, Mahrus diundang keluarga pengusaha '''Dr. Th. M. Gobel,''' pendiri PT. Panasonic Gobel yang mewakafkan tanahnya seluar 9 hektar di daerah kelahirannya, Gorontalo.
▲Tahun 1989, '''KH. Abdul Manaf''' bersama dua sahabatnya, '''KH. Sadeli''' dan '''H. Hadidi,''' membangun '''Ponpes Al-Hidayah''' di Ciomas, Serang. Dipimpin oleh KH. Sadeli, Ponpes ini menggunakan model pengasuhan dan kurikulum Ponpes Darunnajah. Masih di tahun yang sama, '''Ponpes Annajah''' di Desa Kertasari, Kecamatan Pebayuran, Bekasi berdiri di atas tanah wakaf seluas 9 hektar dari '''H. Muhammad Yasin.''' Ponpes ini merupakan Ponpes pertama yang menerima limpahan santri sebanyak 150 orang yang tidak tertampung di Darunnajah Ulujami pada 1 Agustus 1989. ''' '''
Selang dua tahun kemudian, pada 1991, '''Darunnajah III''' dibuka. Berlokasi di Pabuaran, Serang, Banten, Darunnajah III diberi nama '''Ponpes Al-Mansur''' yang merupakan gabungan nama pasutri '''KH. Abdul Manaf''' dan '''Ibunda Hj. Surayah Manaf'''. Ponpes ini dibangun untuk mengenang perjuangan KH. Abdul Manaf saat mengusir penjajah Belanda sekaligus mengenang desa tempat Ibunda Surayah berasal.
Ingin mengikuti jejak KH. Abdul Manaf, Mahrus juga membangun Ponpes di daerah asalnya, Kalimukti, Ciledug, Cirebon. Bernama '''Madinatunnajah''', Ponpes ini merupakan Ponpes binaan Darunnajah. Semula Ponpes ini hanya berukuran 300 meter persegi, namun seiring waktu, luasnya menjadi 2 hektar. Ponpes ini menampung santri cilik dari anak-anak yatim.
|