Perang Padri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
The cinnamon (bicara | kontrib)
k Pranala luar
The cinnamon (bicara | kontrib)
k Menambahkan referensi rujukan
Tag: halaman dengan galat kutipan Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 19:
|casualties2 =
}}
'''Perang Padri''' berlangsung di [[Sumatra Barat]] dan sekitarnya terutama di kawasan [[Kerajaan Pagaruyung]] dari tahun 1803 hingga 1838.<ref>{{cite book|first=Jeanne|last=Cuisinier|year=1959|title=Archives de Sociologie des Religions|chapter=La Guerre des Padri (1803-1838-1845)|publisher=Centre National de la Recherche Scientifique}}</ref> Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah adatagama Islam dan Adat minangkabau sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai [[Kaum Padri]] terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut [[Kaum Adat]] [[Minangkabau]] di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti [[perjudian]], [[Sabung ayam|penyabungan ayam]], [[Opium|penggunaan madat]], [[minuman keras]], [[tembakau]] tercuali [[sirih]], dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama [[Islam]].<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803<ref>{{Cite web|last=Prinada|first=Yuda|title=Kronologi Sejarah Perang Padri: Tokoh, Latar Belakang, & Akhir|url=https://tirto.id/kronologi-sejarah-perang-padri-tokoh-latar-belakang-akhir-f7Kg|website=tirto.id|language=id|access-date=2021-09-26}}</ref>.
 
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai [[Kaum Padri]] terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut [[Kaum Adat]] [[Minangkabau]] di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud seperti [[perjudian]], [[Sabung ayam|penyabungan ayam]], [[Opium|penggunaan madat]], [[minuman keras]], [[tembakau]] tercuali [[sirih]], dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama [[Islam]].<ref name="Yudhi">{{cite book|title=Sejarah|publisher=Yudhistira Ghalia Indonesia|ISBN=978-979-746-801-9}}</ref> Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
 
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai [[perang saudara]] yang melibatkan sesama [[Orang Minang]]kabau dan [[Suku Mandailing]]. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh [[Harimau Nan Salapan]] sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] waktu itu [[Sultan Arifin Muningsyah]]. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada [[Belanda]] pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan oleh Belanda.
Baris 30 ⟶ 28:
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang [[Haji]] dari [[Mekkah]] sekitar tahun 1803, yaitu [[Haji Miskin]], [[Haji Sumanik]] dan [[Haji Piobang]] yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat [[Minangkabau]].<ref>Azra, Azyumardi (2004). ''The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries''. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-2848-8.</ref> Mengetahui hal tersebut, [[Tuanku Nan Renceh]] sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.<ref>Ampera Salim, Zulkifli (2005). ''Minangkabau Dalam Catatan Sejarah yang Tercecer''. Citra Budaya Indonesia. ISBN 979-3458-03-8.</ref>
 
Harimau Nan Salapan kemudian meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa [[nagari]] dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]]. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan.<ref name="Aboe">Nain, Sjafnir Aboe (2004). ''Memorie Tuanku Imam Bonjol''. Padang: PPIM.</ref> Dari catatan [[Stamford Raffles|Raffles]] yang pernah mengunjungi [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa [[Istano Basa|Istana Kerajaan Pagaruyung]] yang sudah terbakar.<ref>Raffles, Sophia (1830). ''Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles''. London: J. Murray.<ref>{{Cite web|title=Latar belakang perang padri - Brainly.co.id|url=https://brainly.co.id/tugas/13534|website=brainly.co.id|language=id|access-date=2021-09-26}}</ref>
 
== Keterlibatan Belanda ==
Baris 43 ⟶ 41:
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.<ref name="Dobbin">Dobbin, C.E. (1983). ''Islamic revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784-1847''. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9.</ref> Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami [[demam|demam tinggi]].<ref>P. C. Molhuysen en P.J. Blok (1911). ''Nieuw Nederlands Biografisch Woordenboek''. Deel 2, Bladzijde 1148.</ref>
 
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan [[Frans Laemlin|Mayor Frans Laemlin]] telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya [[Koto Tuo, IV Koto, Agam|Koto Tuo]] dan [[Ampang Gadang, IV Angkek, Agam|Ampang Gadang]]. Kemudian mereka juga telah menduduki [[Biaro Gadang, IV Angkek, Agam|Biaro]] dan [[Kapau, Tilatang Kamang, Agam|Kapau]], tetapi karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.<ref>Nederlandse Staatscourant (10 Juni 1825).<ref>{{Cite journal|last=Santi|first=Maria|last2=Sukardi|first2=Sukardi|last3=Ermarita|first3=Nelly|date=2016-06-24|title=PERANAN BELANDA DALAM PERANG SAUDARA ANTARA KAUM PADRI DAN KAUM ADAT DI MINANGKABAU PADA ABAD KE-19|url=https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/Kalpa/article/view/536|journal=Kalpataru: Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah|language=en|volume=1|issue=2|doi=10.31851/kalpataru.v1i2.536|issn=2621-7058}}</ref>
 
== Gencatan senjata ==
Baris 53 ⟶ 51:
[[Berkas:Portret van Tuanku Imam Bonjol.jpg|jmpl|kiri|170px|[[Tuanku Imam Bonjol]], salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|de Stuers]] pada tahun [[1820]].]]
{{utama|Tuanku Imam Bonjol}}
[[Tuanku Imam Bonjol]] yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Munasifah (2007). ''Ayo Mengenal Indonesia: Sumatra 1''. Jakarta: CV. Pamularsih. hlm. 51. ISBN 978-979-1494-31-1</ref> Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.<ref>Mardjani Martamin (1984). ''Tuanku Imam Bonjol''. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.<ref>{{Cite web|last=atj|title=Tuanku Imam Bonjol dan Kisah Perjuangannya di Perang Padri|url=https://www.detik.com/edu/seleksi-masuk-pt/d-5689334/tuanku-imam-bonjol-dan-kisah-perjuangannya-di-perang-padri|website=detikedu|language=id-ID|access-date=2021-09-26}}</ref>
 
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan keliru yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi lain [[fanatisme]] tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah air.<ref name="Aboe"/>