Nirwan Dewanto: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
Baris 14:
|alma_mater = [[Institut Teknologi Bandung]]
}}
'''Nirwan Dewanto''' ({{lahirmati|[[Surabaya]], [[Jawa Timur]], Indonesia|28|9|1961}}) adalah seorang pengamat [[seni rupa]], [[penyair]], dan [[aktor]] berkebangsaan [[Indonesia]]. Dia
Dewanto adalah redaktur sastra untuk [[Koran Tempo]] selama 14 tahun sejak mula media itu terbit tahun 2001; media cetak ini menghentikan penerbitannya dengan edisi terakhir pada 31 Desember 2020, mengacu pada perubahan perilaku pembaca surat kabar serta meningkatnya jumlah pelanggan ''Koran Tempo'' versi digital.<ref>{{cite web|last1=Aji|first1=Rosseno|last2=Paskalis|first2=Yohanes|year=2020|title=Transformasi dari Kertas ke Layar|url=https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/461242/transformasi-dari-kertas-ke-layar|website=Koran Tempo|access-date=5 January 2021|last3=Efri R.}}</ref>. Dua buku mutakhirnya, ''Buku Merah'' (2017) dan ''Buku Jingga'' (2018), adalah karya fiksi—bisa disebut sebagai puisi-prosa—yang mengolah secara “dekonstruktif” aneka karakter dan motif dari [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]]—dua epik [[Jawa]]-[[Agama Hindu|Hindu]]. ''Buku Jingga'' terpilih sebagai fiksi terbaik 2018 oleh [[Tempo (majalah Indonesia)|majalah Tempo]]. Saat ini, ia aktif di [[Komunitas Salihara]], yang didirikannya bersama jurnalis pendiri [[Tempo (majalah Indonesia)|majalah mingguan Tempo]] dan sastrawan [[Goenawan Mohamad|Goenawan Mohammad]], jurnalis dan novelis [[Ayu Utami]], musisi [[Tony Prabowo]], dan lain-lain.
Nirwan dilahirkan di [[Surabaya]], [[Jawa Timur]], pada tanggal [[28]] [[September]] [[1961]]. Saat masih di [[SMA]] dia sudah menulis [[puisi]]; karya-karyanya diterbitkan di majalah antara lain ''Kuncung'' dan ''[[Kartini (majalah)|Kartini]]''. Nirwan kuliah di [[Institut Teknologi Bandung]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]], dari tahun [[1980]] sampai 1987. Setelah meraih gelar [[Sarjana]] [[Geologi]], kemudian dia berpindah ke [[Jakarta]].{{sfn|Eneste|2001|p=165}}{{sfn|Kompas 2012, Nirwan Dewanto}}▼
== Latar Belakang Pendidikan ==
▲Nirwan dilahirkan di [[Surabaya]], [[Jawa Timur]], pada tanggal [[28]] [[September]] [[1961]]. Saat masih di [[SMA]] dia sudah menulis [[puisi]]; karya-karyanya diterbitkan di majalah antara lain ''Kuncung'' dan ''[[Kartini (majalah)|Kartini]]''. Nirwan kuliah di [[Institut Teknologi Bandung]] di [[Bandung]], [[Jawa Barat]], dari tahun [[1980]] sampai 1987, dan aktif memimpin Gerakan Apresiasi Sastra (GAS) ITB tahun 1985, sebelum komunitas tersebut dipimpin oleh [[Fadjroel Rachman|Fadjroel Rahman]] (1986) dan [[Kurnia Effendi]] (1987). Setelah meraih gelar [[Sarjana]] [[Geologi]], kemudian dia berpindah ke [[Jakarta]].{{sfn|Eneste|2001|p=165}}{{sfn|Kompas 2012, Nirwan Dewanto}}
== Kiprah Kesenian ==
Pada tahun [[1991]] Nirwan menjadi pembicara di Konferensi Budaya Nasional. Dia kemudian lebih dikenal untuk banyak membicarakan soal budaya.{{sfn|Kompas 2012, Nirwan Dewanto}} Nirwan pernah menjadi satu redaktur majalah sastra ''Horison'' periode tahun 1990-an'','' saat susunan dewan redaksi diketuai oleh sastrawan [[Goenawan Mohamad]]. Nirwan menjadi redaktur majalah ''Kalam'' saat diluncurkan pada bulan [[Februari]] [[1994]], bersama [[sastrawan]] [[Goenawan Mohamad]].{{sfn|Tempo 1994, Jurnal Angker}} Pada tahun [[1996]] Nirwan menerbitkan koleksi [[esai]] yang diberi judul ''Senjakala Kebudayaan''.{{sfn|Eneste|2001|p=165}} Dua dekade sejak dikemukakan, kelemahan ''Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991'' dibongkar oleh Putri Karyani, blogger [[Kompasiana]], yang menolak premis [[Pascamodernisme|pascamodernis]] Nirwan mengenai posisi sains dalam kebudayaan.<ref><!-- Pernyataan-pernyataan tersebut seakan-akan ilmu sains di-Judge negatif disini. Apakah kita tidak menyadari bahwa sebenarnya ilmu budaya sendiri adalah dasar dari segala ilmu? Budaya – termasuk bahasa – sangat memilikiperan penting dalam hal ini. Bayangkan, tanpa adanya bahasa, bagaimana kita bisa mengolah berbagai macam ilmu pengetahuan? Tentu tanpa adanya bahasa, kita menjadi bisu dan buta. Jadi, mengapa sains di-judge seperti itu? Tiada yang menekan maupun ditekan dalam hal ini. Justru harusnya hal semacam ini dapat melebarkan peran budaya, sehingga bisa menjadi ilmu sains yang berbudaya. Setiap cabang ilmu pengetahuan saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain, dan tentunya memiliki peran tersendiri dalam kehidupan manusia, bahkan dalam hal terkecil sekalipun. Jadi, sebaiknya kita bisa mengambil sisi positif dari itu semua. -->[http://www.kompasiana.com/putrii Putri Karyani] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20140929024352/http://www.kompasiana.com/putrii |date=2014-09-29 }}, Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Budaya: Memberi Tanggapan atas Tulisan Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, [http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/26/tugas-mata-kuliah-pengantar-ilmu-budaya-memberi-tanggapan-atas-tulisan-nirwan-dewanto-%E2%80%9Ckebudayaan-indonesia-pandangan-1991%E2%80%9D-490352.html edukasi.kompasiana.com]{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}, 26 Desember 2012</ref>
Baris 27 ⟶ 30:
Pada tahun 2012, Nirwan berperan sebagai [[Uskup Agung]] Semarang, [[Albertus Soegijapranata]], dalam film biopik ''[[Soegija]]'' yang disutradarai [[Garin Nugroho]].{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}} Garin menyatakan bahwa dia pilih Nirwan sebab penyair itu mirip Soegijapranata secara fisik, biarpun Nirwan bukan orang Katolik.{{sfn|Siregar 2012, 'Soegija'}} Sementara, Nirwan menyatakan bahwa dia "dipaksa" untuk main film.{{sfn|Tribun 2012, Aktor Romo Soegija}} Indah Setiawati, yang menulis dalam ''[[The Jakarta Post]]'', menyatakan bahwa peran Nirwan cukup bagus, biarpun ia tampak merasa kurang nyaman memerankan perannya dalam beberapa adegan.{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}
== Buku ==
Baris 37 ⟶ 38:
* ''Satu Setengah Mata-Mata'' (2016)
* ''Buku Merah'' (2017)
*Buku Jingga (2018)
== Filmografi ==
=== Film ===
|