Kesultanan Bulungan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Sub |
Kasuaribiru (bicara | kontrib) |
||
Baris 49:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De sultan van Bulungan en zijn echtgenote Borneo TMnr 10001599.jpg|210px|ka|jmpl|[[Muhammad Maulana Jalaluddin|Sultan Jalaluddin]] bersama permaisuri (tahun [[1940]]).]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Roeiwedstrijden met prauwen op de rivier bij het schip waarmee bestuursambtenaren zijn gearriveerd voor een bezoek aan de Sultan van Boeloengan TMnr 60041533.jpg|jmpl|ka|210px|Atraksi ''Mendayung'' saat kedatangan pejabat kolonial ke Kesultanan Bulungan (hingga 1930).]]
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan ''folk history'' (sejarah kolektif). '''Kuwanyi''', adalah nama seorang pemimpin suku bangsa [[Dayak Hupan]] (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir [[Sungai Kayan]], mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi [[Sungai Payang]], cabang [[Sungai Pujungan]]. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama [[Sungai Kayan]].
Suatu hari '''Kuwanyi''' pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama '''Jauwiru''' untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama '''Lemlai Suri'''. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah ''Jauwiru'' dan ''Lemlai Suri'' kini diabadikan dengan didirikannya sebuah ''Monumen Telor Pecah''. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, [[Tanjung Selor, Bulungan|Kota Tanjung Selor]], yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
'''Bulungan''', berasal dari perkataan ''Bulu Tengon'' ([[Bahasa Bulungan]]), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama ''Jauwiru''. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama '''Paran Anyi'''.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama ''Lahai Bara'' yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama ''Wan Paren'', yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan ''Lahai Bara'' dan ''Wan Paren'' lahir seorang putera bernama '''Si Barau''' dan seorang puteri bernama '''Simun Luwan'''. Pada masa akhir hidupnya, ''Lahai Bara'' mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “''Lungun''” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu [[ani-ani]] (''kerkapan''). ''Kedabang'', sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (''bersairuk''). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, '''Simun Luwan'''. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. ''Tanjung hanyut itu'' sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan ''Busang Mayun'', artinya ''Pulau Hanyut''.
Kepergian '''Simun Luwan''' disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari [[Kota Tanjung Selor]], ibu kota [[Kabupaten Bulungan]] sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung [[Tanjung Palas Barat, Bulungan|Long Mara]], [[Antutan, Tanjung Palas, Bulungan|Antutan]] dan [[Pimping, Tanjung Palas Utara, Bulungan|Pimping]]. ''Simun Luwan'' mempunyai suami bernama ''Sadang'', dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama ''Asung Luwan''. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari [[Brunei]], yaitu '''Datuk Mencang'''.
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret met Maulana Mohamad Djalaloeddin Sultan van Boeloengan op zijn troon TMnr 60041528.jpg|jmpl|ka|210px|Para kerabat Kesultanan▼
▲[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Groepsportret met Maulana Mohamad Djalaloeddin Sultan van Boeloengan op zijn troon TMnr 60041528.jpg|jmpl|ka|210px|Para kerabat Kesultanan Bulungan]]
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya '''kerajaan Bulungan'''. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di [[Kalimantan Utara]] yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan ''Datuk Tantalani'' menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan maskawin berupa kepala ''Sumbang Lawing'', pembunuh '''Sadang''', kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah ''Asung Luwan'' menikah dengan ''datuk Mencang'' ([[1555]]-[[1594]]), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak ''Datuk Mencang'' memimpin daerah [[Bulungan]], pemimpinnya disebut sebagai ''Kesatria/Wira''.
== Sultan Bulungan ==
|